Amélie : Tentang Paresshia dan Being-For-Itself.

Saya menulis catatan ini dalam rangka menghabiskan waktu luang yang membosankan di sekitar Old Town White Coffee, Kuala Lumpur. Tetapi, harus saya akui, saya lebih membosankan daripada waktu bosan saya. Setelah menonton film Le fabuleux destin d’Amélie Poulain (2001), ada yang terngiang dan membingungkan di kepala saya tentang subjek seperti apakah Amélie itu? Dia mencoba membahagiakan semua orang di sekitarnya tetapi ia bermasalah dalam mengungkapkannya. Dia kadang sangat menjengkelkan. Jadi, saya rasa saya harus menulis tentangnya hanya untuk mengingat bahwa saya pernah merenungkan dirinya dan kehidupannya. Seperti pernyataan Derrida, asumsi pertama adalah ketakmenentuan (undecidacblé).

Saya cenderung menyorotnya sebagai subjek dan mempertanyakan eksistensinya sebagai ‘yang ada’. Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang ontologi atau ‘yang ada’, saya hanya memberikan kerangka pemahaman berdasarkan kategori subjek menurut para pemikir modern dan postmodern  Sartre (Being For Itself) dan Foucault (Parreshia).

Baiklah kita mulai mebahas tentang tokoh Amélie Poulain, khususnya dalam momen ketika jantungnya berdegup dan pikirannya kacau. Saya tak bisa menyangkal bahwa Amélie sangat unik. Film ini juga sangat populer di Perancis. Teman saya dari Perancis, Victor, juga mengakuinya. Supaya lebih produktif, saya harus memperbincangkannya dalam level lain. Analisis saya berkisar pada kompleksitas karakter Amélie ketika membantu orang-orang disekitarnya demi memuaskan dirinya sendiri. Saya tahu ini adalah perasaan subjektif seseorang, maka dari itu hal ini menantang saya untuk menguak makna yang lebih kaya. Jangan khawatir saya tidak akan membahas keseluruhan narasi film ini. Pemahaman saya tentang subjek di film ini, terpengaruh dari Foucault dan Sartre. Saya harap ada masukan kritis dari para pembaca.

Amélie adalah seorang gadis yang tumbuh dalam keluarga yang bermasalah. Dia menyukai barang-barang aneh. Dia tahu bagaimana membahagiakan dirinya, tetapi ada momen yang sangat berbeda ketika ia jatuh cinta dengan lelaki unik yang memulung foto-foto yang dibuang di photo-box. Dia kemudian berniat untuk melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki tersebut, Nino Quincampoix, dengan melakukan semacam permainan detektif untuk menemukan album foto Nino yang hilang.

Singkat cerita, Nino akhirnya bertemu Amélie di restoran tempat ia bekerja sebagai pelayan, tetapi Amélie menyangkal bahwa dirinyalah sebenarnya otak dari permainan petak-umpet tersebut. Rasa penasaran Nino membuatnya terus mencari siapa di balik pemainan ini, yang pada akhirnya mengarahkannya ke depan pintu rumah Amélie. Karena tidak tahu apa yang akan dilakukannya, Amélie tidak membuka pintu. Sampai kemudian ia mendapat saran dari Dufayel yang menyarankannya untuk merekam semua ekspresi keinginannya dengan taperecord. Baru kemudian Amélie membuka pintu dan mempersilahkan Nino masuk.

Dari poin ini, kita mendapatkan gambaran tentang kenapa subjek menjadi perhatian besar di dunia Barat. Dalam kerangka konseptual, saya akan mulai merujuk pada subjek parreshia dari Foucault yang tertuang dalam karyanya Fearless Speech in Parrhesia. Dalam paresshia, subjek penutur menggunakan kebebasannya dan memilih jujur, tidak berdasarkan pengaruh siapapun. Ia memilih kebenaran daripada kesalahan atau kebungkaman, memilih resiko kematian daripada hidup tenang dan aman, memilih kritis daripada rayuan gombal, serta memilih menjalankan tugas moral daripada kepentingan pribadi dan ketidakpedulian moral (Foucautl, 2001: 19-20).

Amélie sebagai subjek bukanlah parreshia. Pengakuannya pada Nino hanyalah rayuan gombal. Kata parreshia berarti ‘mengatakan apa adanya’. Parrhesiastes adalah seseorang yang mengatakan semua yang ada dalam pikirannya, meskipun hal itu bisa membahayakannya. Parrhesia dalam pengalaman subjek memberikan dua karakter kuat. Pertama, ada penegasan batas antara kebenaran yang dituturkan dengan bagaimana ia bertindak seperti harmoni Socratic tentang Laches (Foucault,2001:135). Amélie tak punya karakter pertama ini, dia menarik perhatian Nino dalam permainan petak-umpet di mana ia tak mengakuinya. Hanya sedikit karakter parreshia yang tampak padanya. Kedua yakni sifat permanen, konsisten, stabil dan mantap dari parrhesiastes sejati dan teman sejati, kaitannya dengan pilihan, pendapat dan pikirannya (Foucault:2001: 135). Amélie juga tak punya sifat permanen. Lalu, apa yang membuat Amélie seperti parrhesia?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin Sartre memiliki sudut pandang lain. Saya tahu pembahasan ini akan mundur, dari Foucault ke Sartre, tetapi mengetahui bahwa mereka hidup di era yang sama saya fikir masih relevan dengan pembahasan. Mereka, Foucault dan Sartre, adalah teman baik. Sartre dalam studi ontologi memfokuskan perhatian pada subjek sebagai being for itself (être-pour-soi) – sadar akan eksistensinya. Ide ‘sadar akan eksistensinya’ diartikan sebagai kesatuan antara tubuh, kesadaran dan kehendak. Unsur-unsur ini membentuk eksistensi subjek. Tubuh dan kesadaran berarti menyalurkan ide pada tindakan. Manusia dengan unsur-unsur ini tidak hanya menyadari eksistensi tubuhnya tetapi juga manusia bisa menyadari kehendak dan kesadarannya (Sartre, 2003:xl). Dalam posisi otentik subjek, Amélie tidak otonom, dia masih membutuhkan saran Dufayel dan akhirnya membuat keputusan memeluk Nino yang sudah lama bediri di depan pintu. Dalam hal ini, Sartre menyebutnya sebagai ‘kesadaran akan yang lain’. Amélie terasing dari dirinya sendiri, tidak sadar akan eksistensinya sendiri, ia membutuhkan penegasan dari orang lain untuk menyadari kehendaknya. Dia menjadi objek karena ia tidak lagi être-pour-soi.

Dalam tradisi Foucaldian, subjek selalu ditundukkan dan dalam Sartre, subjek hadir ketika eksistensi mendahului esensi. Ontologi tersebut berasal dari dua paradigma yakni modern (Sartre) dan postmodern (Foucault), yang gagal menyepakati Amélie sebagai subjek. Tetapi tak bisa dipungkiri, Amélie dan Nino, pada akhir cerita, berbagi kebahagiaan dengan bermain skuter mini.

Kesimpulanya, Amélie bukanlah subjek menurut kriteria Sartre dan Foucault. Dia bukan parreshia tetapi lebih pada seorang perayu karena tidak ada resiko yang didapat dari menceritakan kebenaran. Jika tak ada resiko, hanya ada kesenangan, maka ini adalah sebuah rayuan dan tipu daya (Foucault, 2001:125-126). Ketidakmampuan Amélie untuk berbicara kebenaran menegaskannya sebagai perayu. Bagi Sartre, Amélie ‘ada untuk yang lain’ dan terjebak dalam keyakinan semu, tetapi Amélie mampu mengatasinya. Bagaimanapun juga Amélie adalah Amélie, dia masih bocah (poulain). Bukti kebahagiaannya merupakan ejekan terhadap pemikiran subjek Foucault dan Sartre. Saya jujur masih belum puas meskipun saya mengakui Amélie bukan subjek. Bentuk kebahagiannnya mungkin adalah sesuatu yang lain. Apakah ini mesin hasrat seperti dalam pemikiran Deleuze. Oh tidak-tidak ini pasti akan melebar. Pada intinya baik Foucault maupun Sartre adalah butiran debu dihadapan Amélie yang bahagia. Bagaimanapun juga, saya tertarik dengan Amélie, dia adalah bocah yang bisa membuat permainan menuju ke rumahnya dan pada akhirnya asyik menikmati jalanan Paris dengan skuter. Betapa bahagianya dirimu Amélie.

Daftar rujukan.

Foucault,Michel.2001. Fearless Speech, .Semiotext: Los Angeles, United States of America

Sartre, Jean P. 1978. Being and Nothingness. Colorado: Pockets Books.

Sartre, Jean P. 2007. Existentialism is Humanism. London: Yale University Press.

https://www.youtube.com/watch?v=HE1… (accessed on 31st 2015, 2:18 am)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *