Menggantungkan Masa Depan di Era Kekeliruan Informasi

Revolusi digital berimplikasi besar terhadap kemunculan masyarakat informasi, masyarakat yang memiliki kapabilitas ekonomi, sosial, kultural, hingga militer yang berbasis pada informasi. Lalu-lalang transfer informasi ini didorong oleh kelas profesional dan kelas manajerial yang menjadikan dunia sebagai kota global yang terus-menerus berputar 24/7 tanpa henti.

David J. Helfand adalah seorang profesor dari Columbia University. Ia menulis buku dengan nada cemas, A Survival Guide to the Misinformation Age: Scientific Habits of Mind. Seperti judulnya, di tengah gempuran informasi, Helfand berpikir ulang secara kritis soal keabsahan, keakuratan, dan kebenaran informasi yang tersebar luas. Alih-alih bekerja ulang guna mencoba memverifikasi informasi, Helfand lebih menitikberatkan pada strategi terhindar dari informasi yang sifatnya tipu-tipu muslihat. Kritik tajamnya ialah pada ketidakberhentian pusat informasi (baca: jurnal) mereproduksi dan mendistribusikan informasi yang tak akurat tersebut kepada pembaca, khalayak luas di dan melalui internet.  Berikut transkripsi wawancara dengan David J. Helfand.

Banyak orang berpikir bahwa kita hidup di era informasi. Kenapa judul buku  anda malah sebaliknya, hidup di era kekeliruan informasi?

Memang benar bahwa sejumlah informasi yang kita sebar bersifat baru.  Internet bersifat demokratis, memudahkan kita mengakses informasi secara unik dalam sepanjang sejarah manusia. Sebut saja pada saat ini kita dapat menghasilkan sekitar 2,5 triliun byte data per hari secara global. Jika dicetak, ia sebanding dengan 450 ribu halaman teks per hari. Yang jelas, lebih dari 99,99% informasi yang beredar ini tidak diedit atau diperiksa kebenarannya. Dan celakanya, kita mengunduh informasi yang tidak disaring oleh pengunggahnya. Alhasil, kita mendapatkan informasi yang keliru (misinformation) dan menjadi individu atau kelompok yang berpotensi menyebarkan informasi yang keliru pula.

Tentu saja, kekeliruan informasi bukan hal baru. Orang-orang juga tidak bermaksud menyebarkan informasi yang keliru untuk kepentingan pribadi. Kenapa anda menganggap hal tersebut sebagai masalah besar hari ini?

Di zaman dahulu 97% spesies homo sapiens (sekarang manusia) telah menjelajahi bumi. Penyebaran informasi pada saat itu sangat terbatas. Akan tetapi, pada umumnya informasi yang disebarluaskan penting dan berkualitas. Misal, anggota suku pemburu yang membawa kelompoknya kepada singa lapar, malah bukan kepada zebra, akan diberi sanksi. Ia akan ditinggalkan atau dienyahkan dari kelompoknya. Hal yang sama terjadi jika ia mengumpulkan buah yang salah, buah yang beracun misalnya. Sumber informasi, dari seseorang atau dari klanmu, (hendaklah) nyata dan benar.

Pada saat ini sumber-sumber informasi bersifat anonim atau setidaknya anda belum mengenalnya. Maka, berkemungkinan kecil ia memberikan informasi yang akurat. Kondisi ini diikuti dengan tidak adanya sanksi bagi penyebar informasi yang keliru. Jadi, sangat memungkinkan jika informasi yang keliru atau salah tersebut digunakan untuk mendukung kepentingan seseorang. Entah digunakan demi uang, demi kekuasaan, ataupun untuk pencitraan identitas kelompok. Hal ini diperparah lagi dengan penyebaran yang masif di media sosial dan dengan mudah orang bisa mengakses secara cepat informasi yang keliru tadi lengkap dengan segala remeh-temeh yang menyertainya. Pada saat anda membayangkannya, pada saat itulah anda akan menganggap saya benar bahwa kita hari ini tengah hidup di era kekeliruan informasi.

Membenarkan hipotesa anda tentang momen kekeliruan informasi yang menyebar di internet, apakah ini benar-benar sebuah masalah besar? Atau apakah ada implikasi praktis dari persoalan atau fenomena ini?

Tentu saja ada. Implikasinya sangat mengerikan. Informasi yang tersebar itu biasanya digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh orang-orang tentang persoalan keuangan, kesehatan, hingga perumusan kebijakan publik. Saya mengutip beberapa contoh yang bersumber pada buku. Ambillah “mitos” yang mengatakan bahwa “imunisasi pada anak mengakibatkan autisme”.

Kajian ini, yang menjadi sumber klaim pembenaran atas “mitos” tersebut jelas-jelas menipu. Ini informasi yang salah dan digunakan untuk meraup keuntungan bagi si penulis. Artikel tentang kajian tersebut lalu ditarik dari jurnal yang menerbitkannya. Si penulis mendapat sanksi, dilarang melakukan praktik medis. Pada kajian-kajian berikutnya kemudian dijelaskan dan diklarifikasi secara terang benderang bahwa tidak ada hubungan antara imunisasi anak dengan autisme.

Akan tetapi, ada ratusan situs web yang tetap menyebarluaskan informasi kajian yang keliru tadi. Dan malangnya, ada banyak orang yang masih mempercayai “mitos” tersebut. Contoh kasusnya di California. Anak-anak TK diberi imunisasi tak sampai 30 persen. Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan kebebasan pilihan kepada orang tua untuk mengimunisasikan anaknya atau tidak.

Antara tahun 2001 hingga 2010, rata-rata ada sekitar 45 kasus penyakit cacar dalam setahun di Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka berasal dari negara bagian. Pada tahun 2011 jumlahnya meningkat drastis menjadi 220 kasus. Tak berselang lama, tiga tahun kemudian kasus serupa melonjak tiga kali lipat menjadi 667 kasus. Penyakit cacar ini sebagian besar diderita oleh anak-anak yang tidak mendapat imunisasi, yang paling banyak terjadi di California.

Contoh lain yaitu penyebaran informasi pemanasan global. Ketua Komite Senat Lingkungan menyatakan bahwa pemanasan global itu bohong belaka. Informasi ini menjadi bola panas dan liar di ruang senat. Ada ribuan atau paling tidak 10 ribu situs web yang menyebarkan informasi keliru tersebut. Dan jangan lupa, paling sedikit ada ribuan atau lebih yang bermaksud menggunakan isu ini untuk keuntungan finansial kelompok mereka.

Contoh-contoh ini mestinya cukup membuat anda percaya bahwa sekarang adalah era kekeliruan informasi.

Ya, tapi 97% ilmuwan meyakini adanya pemanasan global, buktinya angin topan semakin besar.

Nah, itu dia! Anda baru saja mengatakan dua berita bohong. Faktanya, 97% informasi tersebut berasal dari artikel dalam buku Enviromental Research Letter yang ditulis oleh Cook bersama teman-temannya pada tahun 2013. Tulisan J.L. Powell dalam jurnal The Skeptical Inquirer (Vol. 39, No.6) menunjukkan dengan jelas bahwa metodologi yang digunakan Cook dkk terlalu mengabaikan konvensi akademik.

Tinjauan lengkap dari semua tulisan yang diterbitkan dalam jurnal tersebut (tahun 2013 dan 2014) dengan judul atau abstrak “pemanasan global”, menunjukkan lima dari 24.210 menolak isu pemanasan global. Dua dari lima adalah penulis yang sama dan hanya satu dari lima penulis yang memiliki rujukan, itupun cuma satu rujukan. Yang lain bisa dikatakan hanya opini dan prasangka saja.

Melihat semua penulis paper tersebut, 4 dari 69.406 atau 0.0058% menolak isu pemanasan global. Jadi, jumlah persisnya lebih dari 99,99% ilmuwan sepakat. Bukan 97%.

Tentang angin topan, anda harus membaca detail bukunya. Dalam 40 tahun terakhir pemanasan bumi memang tinggi. Fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun angin topan atlantik kategori 3-5 sudah menurun jika dibandingakan 40 tahun sebelumnya. Hanya saja, karena ada ribuan situs web yang mengulang-ulang terus informasi statistik ini. Lalu anda mendengar informasi ini dan jumlah ini tetap diulang, didistribusikan oleh media sosial dan media cetak meskipun tidak menjamin kebenarannya. Itulah inti dari era kekeliruan informasi.

Lalu apa solusi anda tentang meluapnya informasi yang keliru ini?

Bacalah buku saya. Perubahan zaman berjalan begitu cepat. Dunia yang didominasi oleh teknologi yang kita tinggali sekarang ini bukanlah dunia hasil evolusi akal kita. Kecenderungan saat ini, kita kurang berhati-hati menyaring informasi yang melimpah ruah. Kurang kritis terhadap informasi yang beredar tapi begitu saja menggunakannya secara praktis.

Kita sebenarnya memiliki akal atau prosessor. Lapisan korteks di depan otak, mampu memilah hal secara rasional. Ia hanya membutuhkan aplikasi yang tepat untuk di-install. Itulah poin dari “pedoman hidup” yang saya tawarkan. Seperti yang dikatakan As Neil de Grasse Tyson dalam tinjauannya bahwa pendekatan tersebut sangatlah penting semenjak mengetahui dan memahami bahwa masa depan peradaban kita bergantung pada informasi.

Keterangan :
*Tulisan ini merupakan terjemahan dari wawancara dengan David J. Helfand di blog Columbia University. Diterjemahkan oleh Yongky Gigih Prasisko. Sumber : http://www.cupblog.org/?p=18457

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *