Metamorfosis Hasrat Kolonial dalam Black Night

Dua orang laki-laki tua berwajah mirip, dua orang anak memegang lentera, seorang anak perempuan tergeletak berdarah di atas es, panggung berlatar hujan salju, korden (layar panggung) terbuka dan tertutup, membuka film Black Night. Tak hanya di awal, sosok-sosok dan imaji itu pun berulang di sela-sela scene lain dalam film.

Hampir seluruh rangkaian scene bergerak lambat, diselingi extreme closeup detail beragam jenis serangga. Kecepatan film bak terinspirasi dari gerak serangga – pendek- pendek, lambat-lambat, patah-patah, tak runtut – yang memang tak bisa dilepaskan dari passion sang sutradara terhadap serangga. Berbeda dari film naratif pada umumnya, Black Night tak menyuguhkan narasi linear. Bahkan, seluruh film ini berjalan bak logika mimpi – tak berurutan, repetitif, penuh simbolisasi, imaji, dan minim kata. Di sini, mungkin, kita tak bisa dengan mudah mengenali kisahnya, namun akan selalu ingat akan imajinya.

Setting kisah ini pada hari yang tampak selalu malam. Matahari hanya muncul sekitar 15 detik tiap harinya. Oscar (Fabrice Rodriguez) bekerja sebagai entomologis (peneliti serangga) di Natural Science Museum yang didirikan ayahnya. Ia dihantui oleh rasa bersalah karena merasa telah membunuh saudara perempuannya di masa lalu. Dikisahkan bahwa ia menjalani suatu terapi karena depresi dan rasa bersalah yang akut itu. Menurut terapisnya, Oscar tak melakukan pembunuhan. Bahkan, ia diduga tak memiliki saudara perempuan.

Sepulang dari museum, Oscar menjumpai perempuan Afrika (Yves-Marina Gnahora) sedang berbaring di kamarnya. Perempuan itu telanjang. Tubuhnya berkeringat dan bergetar. Ia merupakan seorang pegawai di museum. Suatu hari, perempuan Afrika itu hamil, lalu mati, namun bayi di perutnya masih bergerak. Maka, oleh Oscar, tubuh perempuan itu diawetkan bak mumi, hingga berubah jadi kepompong (pupa). Dari sana keluarlah sosok lain, seorang perempuan kulit putih.

Jika dianalogikan dengan lukisan, Black Night, mungkin, bak lukisan klasik dengan olahan chiaroscuro (pencahayaan, gelap-terang) yang sempurna. Film ini juga penuh dengan ikon dan hiasan, yang bagi Smolders berkarakter barok (ciri tertentu yang dimiliki oleh tokoh drama tragedi) dan manerisme (gerak-gerik khas pada penderita skizofrenia sebagai simbol fantasi yang dialami).

Film drama-misteri ini dipengaruh oleh efek fotografi hitam-putih Ingmar Bergman – yang dipuji Smolders- dan imaji surealis dari film Eraserhead karya David Lynch. Agaknya, film ini mengingatkan pada karakter lukisan surealis Belgia, misalnya Paul Delvaux (1897-1994), dan Rene Magritte (1898-1967), dengan figur realis, namun komposisi dan ruangnya tampak tak realistis.

Di balik imaji sureal itu, Black Night, tak hanya muncul sebagai film yang memuja keindahan semata. Pun bukan pada narasi nonlinear yang membingungkan yang sekadar menggarap “the art of film”. Smolders, di sini, seakan menyuguhkan tema penting yaitu relasi antara Belgia dan Afrika (Belgium-Congo). Kongo pernah menjadi koloni dari Belgia pada era 1908–1960. Hubungan Belgia-Kongo adalah hubungan antara penjajah dengan terjajah, penguasaan negara Dunia Pertama terhadap negara Dunia Ketiga, hierarki kulit putih di atas kulit hitam, dan seterusnya.

Relasi tersebut memuat “misi pembudayaan (dan pemberadaban)” dari kulit putih terhadap kulit hitam. Afrika dianggap sebagai “benua hitam”, benua yang isinya “manusia primitif dan tak berbudaya”. Sehingga, mereka harus “dibudayakan dan diperadabkan” tentu saja oleh bangsa Eropa. Kisah ini pernah digambarkan dengan cukup jelas dalam komik Tintin in the Congo (1931).

Perempuan Afrika itu ingin dipanggil dengan sebutan Marie Neige. Nama itu merupakan nama dari saudara perempuan Oscar yang notabene, menurut ingatan Oscar, berkulit putih. “Nama itu cantik. Aku ingin disebut dengan nama itu,” ucap perempuan Afrika. Bahkan, sesaat sebelum mati ditembak oleh anak perempuan berkulit putih, ia memohon pada Oscar untuk menyatakan cinta padanya.

Sebagai film dengan latar kolonialisme, pengisahan hasrat ingin menjadi pada satu sisi dan hasrat menolak pada sisi lain tergambar dalam adegan-adegan film. Misal, hasrat kulit hitam ingin menjadi (bagian dari) kulit putih (desire to be white). Atau, ketakutan kulit putih terhadap kulit hitam yang dinilai dan dipersepsikan sebagai yang “tak berbudaya dan primitif”. Film ini kaya akan praktik-praktik oposisi biner: relasi hitam-putih, gelap-terang baik pada mise en scène maupun sinematografinya.

Uniknya, hasrat menjadi “yang lain” itu diungkapkan oleh Smolders menggunakan kosakata serangga. Misal pada metamorfosis, proses perempuan Afrika mengandung, menjadi larva, kepompong, lahir perempuan cantik, berkulit putih dan seakan wujud dari kupu-kupu. Agaknya, ini lah yang disimbolkan sebagai hasrat-menjadi-putih dan hasrat Oscar sendiri (simbol dari Smolders) yang dalam ketidaksadarannya menghasrati sesama putih dan merasa terancam akan yang hitam.

Meski tergolong tak produktif sebagai sineas film, Olivier Smolders menunjukkan kekuatan karakter surealisnya dalam Black Night -setelah Spiritual Excercises, kumpulan film pendek yang digarap pada 1984-1999. Akhir kata, Black Night layak dirujuk bagi penjelajah film non-Hollywood.

Judul               : Black Night (Nuit Noire)
Tahun              : 2005
Durasi              : 90 menit
Negara             : Belgia
Genre               : surealis, cult, drama, misteri
Sutradara       : Olivier Smolders

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *