Tubuh merupakan pusat dan lokus kekuasaan. Dia begitu lentur dan fleksibel dibentuk sesuai dengan rezim kekuasaan. Diskursus apapun berusaha mendisiplinkan tubuh demi terbentuknya afirmasi kekuasaan yang nyata. Dengan tema yang sama, Indonesia kini sibuk dengan persoalan tubuh dan otoritas diri. Pembagian hierarkis secara metafisik kembali diintrodusir ketika isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) dihembuskan.
Tubuh dalam isu LGBT seolah dikukuhkan stigmatisasinya sebagai tubuh yang kotor dan jauh dari tubuh yang sehat seperti kaum heteroseksual. Problematisasi tentang dikotomi dua tubuh yang kini sedang asyik dipertarungkan melambungkan pada pertanyaan: sejauh mana kita mengenal dan menerima otoritas tubuh kita dalam kerangka orientasi seksual?
Sementara itu, pola hierarki metafisik yang membentuk tubuh yang diterima dan tidak ditangguhkan ini bukanlah isu lama. Pola yang sama pernah menghinggapi benak masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Pada masa itu kuasa akan tubuh menjadi sangat lemah dan nuansa inferior muncul pada diri terjajah. Tubuh diskursif ini akhirnya membentuk realitas yaitu pesona untuk mendambakan ras kolonial dan mental (tubuh) terjajah yang terus diinternalisasi hingga kini.
Konfigurasi Sosial dan Tubuh Borjuis
Tubuh borjuis dapat diartikan sebagai praktik politik dengan mencitrakan tubuh kolonial sebagai tubuh yang kuat, sehat, dan produktif. Konsep ini dimunculkan oleh Ann Stoler dalam Race and Education of The Desire (1995) untuk menjelaskan bahwa wacana seksualitas ikut berpengaruh dalam menghadirkan keterpesonaan pada tubuh barat serta afirmasi distribusi kekuasaan. Tubuh penjajah digambarkan seolah tubuh yang ideal, kuat, dan sehat maka tidak seharusnya terjadi persilangan ras yang mengganggu klasifikasi jenis mereka.
Praktik politik diskursif ini dilanjutkan pada sensus perkawinan dan ras guna menjaga ‘kemurnian’ keturunan kaum penjajah yang pada saat itu rentan menghasilkan etnis indo atau peranakan dengan kaum pribumi. Etnis indo dianggap ‘mengganggu’ karena tidak memiliki status yang jelas, meski pada saat ini ternyata laku keras. Tak heran jika remaja masa kini masih terpesona dan tergila-gila dengan bola mata berwarna biru dan kulit putih. Tidak saja kaum muda, nenek buyut hingga orang tua kita sekalipun secara tidak sadar juga memperkenalkan dan mereproduksi kekaguman tersebut dengan diskursus atau ungkapan “Ojok sampek anak wedhok kulite ireng” (jangan sampai anak gadis berkulit hitam) atau “Mbahmu biyen iku gedi dukur, putih koyo londo” (kakekmu dulu tinggi besar, putih seperti bule).
Wacana tubuh borjuis selalu menjadi peristiwa historis-diskursif yang sudah diupayakan dan didambakan sejak zaman dulu. Indonesia pun tak luput dari pengamatan Stoler sehingga rujukan ini sangat pas bila ingin melacak tradisi seksualitas berikut taksonominya yang mendidik hasrat bangsa terjajah, yakni kita hingga sekarang.
Sejarah terus berulang. Dalam genealogi Foucault, diskontinuitas atau patahan akan menemukan titik temu kembali. Penggunan politik tubuh borjuis ini nyatanya kembali direproduksi dalam konteks diskriminasi LGBT. Tubuh yang hetero (heteronormativitas dan heteroseksual) dianggap sebagai tubuh borjuis yang sehat, kuat, dan produktif dalam kacamata normatif. Sama seperti logika penjajah yang ingin terus disebut ras murni dan unggul. Tubuh heteronormatif seolah takut orientasi seksualnya akan berubah dalam sekejap. Anggapan tubuh rentan akan penyakit seksual serta standarisasi maskulin dan feminin mereka juga ikut terganggu.
Sikap diskriminatif ini nyatanya analog dengan praktik kolonial karena dominasi pada dasarnya selalu mencekik yang bisu. Rupanya masyarakat tidak sadar sedang menginternalisasi subjek diskursif sebagai afirmasi kekuasaan. Standarisasi tubuh hetero vis-a-vis dengan tubuh LGBT. Kemajuan intelektual juga terasa pincang ketika Kementerian Riset dan Teknologi ikut membungkam studi-studi tentang seksualitas. Sehingga kritik tentang binaritas yang didiskusikan oleh Sedgwick pun nyatanya jarang didengar.
Menurut Sedgwick, konsep homosocial desire dipraktikkan pada ranah sehari-hari dan pada derajat paling kecil. Misalnya, dalam ujaran “Mbak itu rambutnya keriting, bagus. Jadi pengen potong rambut kayak gitu biar kelihatan lucu” atau “Nggondrongne brewok sek, cek kethok lanang koyo Mas Chico Jericho” (panjangkan brewok dulu, biar kelihatan jantan seperti Mas Chico Jericho) adalah tak lain bukti nyata homosocial desire: bahwa hasrat meniru sesama jenis itu hadir dan wajib diakui. Hasrat meniru atau mimesis yang dicuplik dari tradisi politik Rene Girard ini memang lebih lumrah terjadi pada wanita dan (biasanya) problematis bila terjadi pada pria.
Artinya, kadar untuk mencintai sesama jenis ini imanen (tetap ada) dalam diri dan bentuknya variatif. Namun, apakah mesti berujung pada orientasi seksual atau hubungan intim sesama jenis? Ya tentu tidak. Terang saja pemikiran tersebut cenderung simplistik dan deterministik. Seksualitas menjadi hal yang sangat cair (fluid) dan berubah sesuai dengan episteme, wacana dominan pada suatu zaman yang menggerakkan kesadaran, maka permasalahan seksualitas juga terus berubah dan tidak melulu bisa didudukkan secara esensialis.
Seksualitas menjadi tidak bisa dikotak–kotakkan karena, jika melihat bentuk mimetic (meniru-niru) di atas belum tentu semua laki-laki yang ingin kelihatan macho akan menumbuhkan brewok atau menjadikan Chico Jericho sebagai prefensi maskulinitas. Dan begitu juga, tidak semua wanita akan berbondong-bondong ke salon untuk sekadar mengeritingkan rambut mereka. Ada logika apropriasi, identifikasi, dan usaha reflektif lainnya sebelum menentukan derajat seksual tertentu. Maka jika tubuh hetero anda menolak untuk tidak menjadi LGBT ada mekanisme sensor pada tubuh yang mengatakan “Koyoke aku gak cocok” (sepertinya aku tidak cocok), namun jika akhirnya ada usaha untuk mengaproriasi lebih, maka orientasi seksual perlu proses pemahaman lebih, jangan-jangan ada yang belum selesai pada tubuh.
Sebagai epilog, penyederhanaan analogi dengan melihat tubuh LGBT sebagai sesuatu yang tidak normal dan memiliki stereotip tubuh tidak “sehat” adalah pola pikir tradisi kolonial yang memang diskrimantif. Praktik menjajah karena ragu atau bahkan berusaha memberikan pengakuan pada tubuh diskursifnya sebagai tubuh brojuis. Logika imperialis ini tentu saja tidak hanya membawa pengaruh pada tubuh terjajah, tapi juga disintegrasi dalam memahami kemajemukan kuasa tubuh. Menjadi imperialis memang mudah, karena tidak perlu usaha reflektif dan cukup memakai kacamata kura-kura.
Bacaan terkait
Mahasiswa Pascasarjana Sastra dan Kajian Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Kontributor media Brikolase.