“Seni rupa kontemporer yang menentang perkembangan seni rupa modern abad ke-20 menampilkan pemikiran yang cenderung mendekonstruksi bahasa rupa yang dipengaruhi teori dekonstruksi yang dipopulerkan Jacques Derrida.” Demikian tulis Jim Supangkat dalam katalog pameran The (Un)Real pada 2007 yang menampilkan karya-karya dari Affandi, Nasirun, Entang Wiharso, dan Putu Sutawijaya. Pada katalog lain, misalnya City, duet pameran antara Anggar Prasetyo dan Laksmi Shitaresmi, Rifky Effendy mengatakan bahwa ciri perkembangan masyarakat kota seperti industrialisme, materialisme, isu kerusakan lingkungan, konsumerisme, dan sebagainya, banyak disuarakan oleh mereka. Kemudian, ia menulis di alinea akhir, “Wacana seni rupa kontemporer dunia saat ini semakin kuat menyuarakan kebobrokan manusia.”
Setiap pameran seni rupa beberapa tahun terakhir ini cenderung memberi label “seni kontemporer” pada karya-karya yang sedang dipamerkan. Beragamnya medium, teknik, isu sosial yang dilontarkan, dan cara pandang seniman, menjadi acuan untuk merumuskan “yang kontemporer” dalam karya tersebut. Label “seni kontemporer” itu “disahkan” melalui tulisan pengantar pameran, dikemas dalam katalog pameran, yang sering dikatakan sebagai catatan kuratorial.
Enin Supriyanto dalam katalog pameran Fetish (2007) mencatat bahwa sejak 1993, khususnya dalam Bienal Seni Rupa Jakarta, gagasan tentang seni rupa kontemporer mulai mendapat tempat di Indonesia. Dan menurutnya, seni instalasi, yang saat itu banyak menyita ruang dan perhatian publik, seolah dijadikan penanda penting lahirnya seni yang juga sering disebut sebagai seni rupa postmodern ini.
Istilah “seni rupa kontemporer” selalu disejajarkan dengan poststructuralist dan postmodern sebagai kerangka pikir yang mendasari lahirnya istilah tersebut. Hampir seluruh konsep kunci dari pemikir yang digolongkan poststructuralist, beberapa diantaranya, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Jean-Francois Lyotard, dan Clement Greenberg, dicantumkan dalam berbagai catatan kuratorial yang akhir-akhir ini berfungsi sebagai acuan dalam membaca karya seni. Sepertinya, mereka tengah “berlomba” menggunakan istilah-istilah semisal dekonstruksi, bahasa rupa, penanda dan petanda, representasi, simulacrum, kematian pengarang, postmodern art, dan semacamnya untuk “membaptis” karya yang sedang dipamerkan menjadi karya “seni rupa kontemporer.”
Catatan kuratorial ditulis oleh seorang yang disebut kurator. Kurator adalah jenis profesi yang mulai marak di Indonesia sejak 1990an. Sebenarnya, kurator dipahami berkaitan dengan perannya sebagai “penjaga” museum. Namun di Indonesia, konsep kurator berbeda. Kurator lebih berfungsi sebagai “pembaca” karya seni yang sedang dipamerkan di sebuah galeri. Kurator tidak lagi sebagai “penjaga” yang sekaligus merancang acara di museum, melainkan “terbang” dan hinggap di kota-kota di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Agung Kurniawan dalam tulisannya Wacana Bangkrut, Kurator Gendut (Koran Tempo, 31 Desember 2008) menyebutnya dengan istilah K.A.K.A.P (Kurator Antar-Kota Antar-Provinsi).
Pada setiap pameran seni rupa, kurator membuat sebuah catatan, tulisan yang fungsinya untuk memperkenalkan karya kepada penonton pameran. Kalau mau dirunut lebih jauh ke dalam perkembangan seni rupa Indonesia, dalam praktik kuratorial, karya seni dibaca, ditransformasikan menjadi wacana, yaitu wacana seni rupa kontemporer. Kalau sebuah lukisan menampilkan alam dan benda sebagai subyeknya, dikatakan bahwa lukisan itu memuat salah satu ciri dari “seni rupa kontemporer,” yaitu memperhatikan hal-hal sederhana, keseharian, dekat dengan realitas. Kalau ada lukisan wajah yang sebagian sisinya dibaurkan, dirusak, (juga) dikatakan bahwa lukisan itu menampilkan gejala dari “seni rupa kontemporer,” yaitu dekonstruksi. Demikianlah wacana “seni rupa kontemporer” diproduksi dan dipertahankan. Kategorisasi-kategorisasi itu membuat orang mendapat penegasan tentang posisinya ketika berhadapan dengan karya seni, juga ketika melakukan transaksi ekonomi terhadapnya.
Berfungsinya wacana “seni rupa kontemporer” tidak bisa dilepaskan dari peran kurator. Melalui catatan kuratorialnya, para kurator seakan-akan memiliki “otoritas” untuk membaca karya seni, menginterpretasikan, dan membentuk imaji tentang karya tersebut. Tulisan mereka terbukti memberi sumbangan besar bagi perkembangan bisnis seni rupa. Karena itu, para pelaku di dunia seni (art world), termasuk di dalamnya, kurator, kritikus, balai lelang, galeri, kolektor, pedagang karya/seni (art dealer), museum, pelukis, serta sanggar seni mempertahankan penggunaan istilah “seni rupa kontemporer.”
Relasi kepentingan dalam dunia seni melahirkan kekuatan untuk mengajak publik seni rupa meneruskan pembicaraan tentang seni rupa kontemporer. Demikianlah istilah “seni rupa kontemporer” diproduksi menjadi wacana, memiliki kekuatan untuk masuk dalam perdebatan akademis dan non-akademis. Wacana, merujuk pada pemahaman Michel Foucault, adalah medium bermainnya kekuasaan dan pengetahuan. “Seni rupa kontemporer” menjadi wacana ketika istilah itu mulai digunakan oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam dunia seni rupa, diperdebatkan, dan diangkat menjadi persoalan publik seni rupa. Orang-orang diajak untuk bicara mengenai hal ini. Mereka yang terlibat dalam medan seni rupa, baik langsung maupun tidak langsung, mulai bergairah dan menikmati apa-apa yang dihasilkan dari wacana “seni rupa kontemporer”.
Infrastruktur Seni
Praktik wacana “seni rupa kontemporer” juga mendukung lahirnya apa yang disebut dengan infrastruktur. Infrastruktur seni rupa dipersepsikan sebagai fasilitas fisik: galeri, balai lelang, lembaga pendidikan seni rupa, art dealer, dan sebagainya yang menyangga perkembangan “seni rupa kontemporer”. Fasilitas-fasilitas tersebut lahir karena perkembangan wacana “seni rupa kontemporer”, sekaligus juga berfungsi “mempertahankan” dan “meneruskan” pembicaraan tentang “seni rupa kontemporer.”
Sayangnya, tumbuhnya infrastruktur yang demikian pesat tidak disertai pemikiran yang lebih dalam tentang seni rupa. Menjamurnya galeri baru, terutama pada 2007-2008, tidak disertai dengan munculnya media, kritikus, sejarawan seni, konservator karya seni, hingga pegiat pameran (exhibition organizer) sebagai penyeimbang dari pertumbuhan fasilitas yang fisik tersebut. Situasi demikian mengakibatkan alienasi seni dari kehidupan manusia. Seni rupa menjadi seni elitis, tidak lagi dipahami secara personal, apalagi sosial.
Seni yang harusnya menjadi medium bagi penemuan diri manusia, sekarang terjadi sebaliknya. Melalui infrastruktur dan catatan kuratorial yang, mau tidak mau, berbasis hukum permintaan dan penawaran, relasi antar manusia dibekukan, diubah ke dalam bentuk yang lain. Seni mengalami reduksi. Demikian juga dengan manusianya. Karya seni tidak lagi lahir dari kegelisahan sang seniman terhadap diri dan lingkungan hidupnya, melainkan manifestasi dari pemahaman seni-rupa-wan atas medan seni rupa, termasuk di dalamnya adalah infrastruktur. Akibatnya, profesionalitas seorang seniman diukur melalui tingkat pemahamannya terhadap infrastruktur seni.
Melalui infrastruktur tersebut, karya seni yang dikategorikan sebagai “seni rupa kontemporer” berhasil melembagakan dirinya menjadi material “konsumsi baru” kelompok elit. Karya seni, dengan demikian menjadi obyek konsumsi kelas atas. Praktik konsumsi, agaknya menjadi hal yang paling beralasan untuk mendasari kebutuhan orang ketika membicarakan “seni rupa kontemporer”. Dan kalau mau jujur, dalam jual-beli karya seni di masa sekarang –pada 2009, saat tulisan ini dibuat- sebenarnya yang dikonsumsi tak lain adalah imaji tentang “seni rupa kontemporer” yang sudah tersimpan di benak para pembelinya.
Jika demikian, apakah dapat dikatakan bahwa fungsi dari praktik wacana “seni rupa kontemporer”, pada akhinya adalah untuk memenuhi hasrat konsumsi belaka?
Bacaan terkait
Penulis buku Dari Khaos ke Khaosmos: Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012). Menekuni penelitian seni rupa, filsafat, dan estetika. Kontributor media Brikolase.