Film Tilik akhir-akhir ini menjadi banyak perbincangan di berbagai forum baik formal maupun informal, ilmiah maupun obrolan angkringan, diskusi serius sampai gojekan kere (obrolan ringan_peny.) pinggir jalan. Film pendek yang bercerita tentang ibu-ibu yang menjenguk bu Lurah di rumah sakit ini memotret kehidupan keseharian masyarakat yang sering membicarakan orang lain atau anak milenial menyebutnya sebagai gibah. Banyak tulisan yang membahas Tilik ini dari yang mendukung karena sangat sesuai dengan pengalaman yang mereka alami atau yang kritis karena melihat ada sisi-sisi negatif yang ditunjukkan di film ini misal soal stereotip perempuan yang suka bergunjing. Berbagai bahasan ini tentu merupakan nilai lebih sebagai ruang dialektika berpikir. Tafsir yang beragam terhadap film ini merupakan kekayaan cara berpikir dan tidak dimonopoli secara tunggal dalam melihat sebuah fenomena.
Film ini menggambarkan fenomena sosiologis yang muncul dalam keseharian secara lugas, lucu, dan membuat pemirsanya termangu-mangu membandingkan dengan pengalaman individu penontonnya. Fenomena tokoh Bu Tejo yang begitu luwes dalam membicarakan tokoh Dian begitu menggemaskan. Orang begitu sebal dengan Bu Tejo yang tidak henti-henti membicarakan Dian, di sisi lain orang merasa lucu dengan tindak tanduk Bu Tejo yang menggemaskan. Fenomena membicarakan orang lain atau lebih dikenal saat ini dengan gibah mudah ditemukan dalam kehidupan sosial kita. Mengapa mudah ditemukan? Karena kita adalah bagian dari fenomena gibah ini. Kita adalah Bu Tejo yang sering membicarakan kehidupan pribadi orang lain yang kadang tidak berkaitan dengan kehidupan kita. Kita bisa jadi merupakan sosok Dian yang dibicarakan tiada henti serta dihakimi dengan beragam asumsi. Karena kita dekat dengan fenomena gibah ini maka kita di satu sisi merasa tersindir karena pernah jadi Bu Tejo atau pernah jadi Dian.
Ada banyak tanggapan yang melihat fenomena gibah ala Bu Tejo ini merupakan pelanggengan stereotip yang melihat perempuan sebagai sosok yang suka bergibah atau bergunjing. Film ini juga dipandang memiliki unsur misogini. Tanggapan itu dalam ruang dialektika tentu sah-sah saja, apakah itu benar atau tidak perlu diuji ulang. Walaupun secara faktual laki-laki juga ada yang suka bergibah dengan gaya yang berbeda dengan Bu Tejo. Gibah biasanya tidak berdasarkan fakta yang akurat. Gibah dalam fenomena media sosial saat ini bisa jadi sangat erat dengan hoaks. Banyak laki-laki yang aktif di media sosial juga menyebarkan hoaks. Jadi tidak tepat bahwa gibah itu hanya ranah perempuan. Gibah di media sosial tentu berbeda gaya dengan gibah ala Bu Tejo yang masih memakai ruang-ruang konvensional seperti waktu menjenguk atau tilik orang sakit, rewang hajatan, kerja bakti, kendurian, pengajian dll. Sedangkan gibah masa kini begitu ganas membudaya di media sosial bahkan jangkauannya tidak hanya dalam truk yang berisi 10-20 orang tapi yang tahu bisa sedunia.
Tilik sebagai sebuah film pendek tentu tidak bisa menjelaskan banyak hal. Film ini mengambil fokus untuk mengeksplorasi Bu Tejo sebagai lakon utama yang begitu fasih mengobrol tentang Dian. Film ini tidak menjelaskan tokoh Gotrek yang bisa jadi punya hutang. Film ini juga tidak menjelaskan secara detail kenapa Bu Tejo begitu semangat bicara tentang Dian hampir sepanjang perjalanan. Film ini juga sangat terbatas mengeksplorasi Yu Ning yang berusaha berpikir positif tentang Dian. Tidak semua tokoh dalam film Tilik ini bisa dieksplorasi. Film ini tidak menjelaskan ibu-ibu di dalam truk yang diam tidak ikut berkomentar. Bisa jadi mereka punya masalah keluarga, mendapatkan tindakan KDRT, atau mereka tidak punya ruang berekspresi dan berpartisipasi dalam pembangunan desa karena semuanya didominasi laki-laki. Bisa jadi perempuan yang diam dan tidak ikut berkomentar dalam truk itu adalah perempuan kepala rumah tangga yang harus berjuang menafkahi keluarga karena suaminya sakit, meninggal, cerai, atau memang pemalas. Begitulah film ini membatasi diri dengan tidak membahas banyak hal.
Menuntut banyak hal harus masuk dalam sebauah film pendek atau cerpen tentu sangat sulit. Jadi bagi orang yang melihat secara positif film Tilik, ia bisa memahami keterbatasan-keterbatasan film pendek ini karena memang tidak memungkinkan menjelaskan banyak hal. Bagi yang melihat film ini secara kritis, film ini masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan dalam menyampaikan pesan khususnya terkait stereotip perempuan. Pertanyaannya adalah lalu apa? Kalau kata Bu Tejo, apa solusinya? Perbedaan cara berpikir dan tafsir terhadap film ini bagus dan memberi ruang dialektika yang semestinya memang terbangun sebagai sebuah budaya kritis. Film seperti Tilik ini butuh dukungan di satu sisi tapi jelas perlu ada kritik di sisi lainnya. Dukungan dan kritik merupakan mekanisme alamiah yang mestinya ada agar film-film dalam negeri tetap tumbuh dan bisa berkembang. Ruang-ruang dialog yang saat ini berkembang dalam masyarakat merupakan wahana berdialetika soal isu-isu sosial dengan wahana yang diminati masyarakt luas baik melalui film atau media lain. Jadi, mari jadikan ruang dialektika ini sebagai sarana solutif untuk menjawab sindirin Bu Tejo, “mbok dadi uwong ki sing solutip” (jadilah orang yang memberi solusi_peny.).
Penulis: Arif Sugeng Widodo
Penyunting: Adek Dedees
Gambar atas: Cuplikan foto film Tilik, dari youtube Film Pendek – TILIK (2018).
Bacaan terkait

Pengamat isu gender dan praktisi pendampingan kelompok perempuan di Mitra Wacana Wrc Yogyakarta.
Surel: rif.genk17@gmail.com