Menonton Elephant, Menonton Bangsa Sendiri

Film Elephant menarasikan serangkaian tembak-menembak nirdialog antarwarga sipil di Irlandia. Pembunuhan tersebut berlatar konflik sipil antara kelompok Protestan dan Katolik. Perseteruan yang terjadi sebenarnya ditunggangi oleh kepentingan politik antara kubu Unionis pendukung Inggris Raya (Protestan) dengan kelompok nasionalis pendukung kemerdekaan Irlandia (Katolik). Konflik bermula dari ekspansi Kerajaan Inggris ke Irlandia pada abad ke-16 dan 17 masehi.

Mayoritas masyarakat Irlandia pada waktu itu penganut agama Katolik. Kerajaan Inggris membawa ajaran Protestan bersama dengan praktik ekspansi kerajaan. Konflik makin berkepanjangan sehingga terjadi pemisahan wilayah antara Irlandia bagian utara dan bagian selatan. Irlandia Utara bergabung dengan Inggris Raya, sedangkan Irlandia Selatan adalah negara merdeka berbentuk Republik Irlandia. Setelah menelan korban sekitar 3.500 jiwa, konflik berakhir secara formal dengan perjanjian damai pada tahun 1998.

Pengalaman konflik di Irlandia dalam film ini berusaha dibawa ke Indonesia sebagai negara yang juga pernah hidup di dalam konflik; berupa pengalaman menonton. Kita tahu bahwa pengalaman menonton film tidak serta-merta merupakan persetujuan terhadap konten yang diproduksi oleh film. Akan ada kemungkinan negosiasi atau oposisi dari resepsi penonton terhadap apa yang mereka tonton.

Pemutaran dan diskusi film ini digagas oleh Simon Philpott, pengajar dari Universitas Newcastle. Institute of International Studies UGM, Simamat (Diskusi Sinema Jumat) dan Brikolase (Pusat Kajian Seni dan Budaya Kontemporer) bersama Philpott dengan tim riset dari School of Modern Languages, Newcastle University menyelenggarakan acara ini di Bale Si Gala-gala, Dusun Jogja Village Inn pada Rabu (23/3) malam.

Elephant bukanlah film baru. Film drama besutan Alan Clarke ini diluncurkan oleh BBC Northern Ireland United Kingdom pada tahun 1989. Seperempat abad lebih kemudian (2016), ia mencoba menemukan penontonnya di Indonesia. Dengan latar belakang budaya yang berbeda antara Indonesia dan Irlandia –termasuk konflik sosial masing-masing negara-, pertanyaan soal ‘gajah’ (elephant) yang dipilih sebagai judul film pun menyeruak.

Budaya Inggris mengenal idiom elephant in the living room: ada persoalan besar, namun tak seorang pun ingin membicarakan dan mendiskusikannya. Sementara di Indonesia ada peribahasa berbunyi: semut (tungau) di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Artinya, mudah menemukan kesalahan orang lain, tapi sulit menemukan kesalahan sendiri. Bagaimana kaitannya dengan konflik? Penonton Elephant dalam acara ini tidak serta merta menggunakan idiom elephant in the living room untuk mengurai makna ‘gajah’. Akan tetapi, peribahasa gajah diasosiasikan sebagai para pelaku penembakan yang cenderung melemparkan kesalahan pada lawan (orang lain), sehingga lawan tersebut pantas ditembak mati tanpa pernah menyadari kesalahan sendiri yang pernah diperbuat.

Film yang berdurasi 39 menit ini dapat dikatakan sebagai film konflik laki-laki. Film yang sama sekali tidak menghadirkan sosok perempuan di dalamnya baik sebagai pelaku penembakan maupun sebagai korban penembakan. Padahal, sebagai film yang diangkat dari fenomena konflik sosial, tak dapat dipungkiri perempuan (serta anak-anak) rentan menjadi korban. Atau justru tidak sedikit pula perempuan terlibat sebagai pelaku pembunuhan. Hal ini menunjukkan bahwa Elephant menyangkal fakta peran perempuan dalam konflik dengan menyingkirkannya dari penggambaran film. Philpott mengakui bias gender tersebut dan memberi pembenaran, bahwa pelaku konflik memang didominasi oleh laki-laki: pemanggul senjata maupun sasaran tembak senjata.

Sebagai masyarakat yang pernah mengalami konflik sosial-politik, respon penonton atas Elephant mengerucut pada tragedi 1965. Seorang penonton menuturkan tentang kehidupan kakeknya yang dituduh sebagai bagian dari kelompok (simpatisan) komunis, lalu mengalami praktik diskriminatif baik oleh masyarakat maupun negara. Kelompok komunis tak ubahnya seperti kelompok minoritas Katolik di Irlandia Utara atau kelompok Protestan di Irlandia Selatan. Mereka dituduh antek komunis, dipenjarakan tanpa diadili, dilarang menjadi pegawai negeri, serta dikucilkan secara sosial-politik.

Akan tetapi, bisa jadi mereka merupakan ‘orang-orang yang beruntung’ dari sekian juta orang yang merugi lainnya. Sekitar 500 ribu hingga satu juta jiwa, orang-orang yang dituduh komunis dibunuh oleh warga sipil dan tentara -tanpa pernah melihat kesalahan (negara) sendiri. Tahun 1965-1966 Indonesia mengalami konflik sipil tiada duanya seperti di Irlandia. Pada tahap ini Elephant mampu berperan memancing makna-makna baru yang berkaitan dengan kekerasan sipil. Dengan kata lain, posisi media (misalnya film) tak melulu terpaku pada produksi makna atas konten, tetapi bagaimana media digunakan oleh subjek (dalam hal ini penonton) untuk memproduksi makna baru lainnya.

Konflik sosial kerap kali diawali oleh pertikaian politik. Pertikaian politik, dalam banyak kasus, tidak pernah berdiri sendiri. Ia beririsan dan cenderung menarik unsur lain di luar dirinya: agama dan negara. Agama dan negara menjadi instrumen untuk melegalkan dan mendukung kekuasaan politik. Celakanya, konflik dan reproduksi konflik yang berbau budaya juga kerap dibalut oleh nilai-nilai agama dan kekuasaan negara. Dengan kondisi seperti ini, kesadaran kritis terhadap agama dan negaralah yang selalu perlu diasah. Pun terhadap negara yang sudah selayaknya selalu berada di bawah kontrol masyarakat luas agar bersetia mengusahakan dan menjamin keadilan-kemanusiaan bagi setiap warganya. Kontrol itu berupa, paling tidak melalui pemutaran dan diskusi Elephant ini. Bahwa reproduksi konflik dapat diminimalisasi dengan membangun kesadaran kritis antar-penonton. Karena dengan begitulah, salah satu agenda memutus rantai reproduksi kekerasan dapat diwujudkan.

Elephant Film : Watching Our Nation (English Version)

Elephant film narrates series of shooting by civilians in Ireland. No dialogue in the film. The series of killing implicitly shows civil conflict between Protestant and Catholic group. The conflict is actually ridden by political interest between Unionist, Great Britain supporters (Protestant) and Nationalist, Independent Ireland supporters (Catholic). The conflict began from Kingdom of England expansion to Ireland in 16th-17th century.

At that time, Ireland people were catholic majority, Kingdom of England brought protestant along with its expansion. The protracted conflict made separation between Northern Ireland and Southern Ireland. Northern Ireland joined Great Britain and Southern Ireland became independent country, Republic of Ireland. After taking 3.500 casualties, a peace treaty was signed in 1998.

Experience of conflict in Ireland in Elephant film is brought to Indonesia as nation that also has ever lived in conflict: in the form of watching movie experience. We know that watching movie is not a kind of approval to meaning produced by the movie. There will be negotiation and opposition of audience reception for what they see.

This event, discussion and movie screening, is initiated by Simon Philpott, a lecturer from Newcastle University, with research team School of Modern Languages, Newcastle University,  working together with Institute of International Studies Gadjah Mada University, Simamat (Friday movie discussion) and Brikolase (Centre for Art and Cultural Studies). The event was held in Bale Si Gala-gala, Jogja Village Inn, Wednesday 23rd March 2016.

Elephant actually is an old film. This drama film by a director Alan Clarke was released by BBC Northern Ireland United Kingdom in 1989. About a quarter of century, in 2016, the film tries to find its audience in Indonesia. The cultural difference between Indonesia and Ireland – including their conflict experience – emerges question about ‘what is the elephant’.

English culture has idiom elephant in the living room: there is a big problem, but no one wants to talk and discuss. While, in Indonesian culture, there is a proverb ‘an ant clearly seen across the sea, but an elephant in the eyelid can’t be seen, which means it is easy to see others fault, but hard to find our fault. How it is related to the conflict? Indonesian audience do not use idiom elephant in the living room to decode meaning of elephant. But they use elephant proverb associated to shooters, who throw faults to others, so that other people (victims) deserve to die, without recognizing their (shooters) own mistakes.

This 39 duration film can be said as men conflict. The film does not show even a single woman, either as shooter or victim. Whereas, as a film based on facts, it is undeniable that women are vulnerable group of the conflict. Or maybe not a few women take part as shooters. This shows that Elephant movie denies the fact of women’s role in the conflict by eliminating them from film depiction. Mr. Simon admits that there is gender bias in the film and give justification that the most shooters and victims are men, but maybe not all of them.

As people who have lived and experienced socio-political conflict, response of Indonesian audience to the film culminates to 1965 tragedy. An audience told her grandfather story who is suspected as communist, and he got discriminated by society and state. (Suspected) communist people are no difference to Catholic minority in Northern Ireland and Protestant group in Southern Ireland. The (accused) communist people are prisoned without trial, they and their descendant cannot be civil servants, and are marginalized socially and politically.

But, they still can be said as ‘lucky people’ rather than the victims. About 500-1 million people were killed by civilians and state army – without seeing its (state) faults. In 1965-1966, Indonesian people experience civil conflict like what happened in Ireland. In this case, Elephant movie can trigger plurality of meaning related to civil conflict. In other words, the meaning of media (film) is not always produced by media, but how media is used by subject (audience) to produce plurality of meaning.

Social conflict often begins with political conflict. Political conflict, in many cases, never stands alone. It is related and oriented to draw others factors outside: like religion and state. Religion and state often become instruments to justify violence and support political power. Unfortunately, a conflict and conflict reproduction are often covered by religious values and state power. This condition should make us sharpen critical thought to religion and state. The state should be under public control to keep implementing its obligation to guarantee justice and humanity for all its citizen. The control, at least, is in the form of discussion, in this case Elephant movie screening and discussion. So that conflict reproduction can be minimalized by constructing critical thought for audience. Therefore one of agendas can be actualized.to break the reproduction of violence chain.

Movie Link

*Indonesian 1965 Tragedy : The Act of Killing
Here is the link

*Elephant Movie
Here is the link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *