“Kuliah ini bukan tentang bagaimana seharusnya orang Indonesia mendekolonisasi situs warisannya. Kuliah ini berbicara tentang cara orang Indonesia yang telah mendekolonisasi situs warisan benda di masa lalu”, tutur Martijn Eickhoff dalam kuliah umum Decolonising Heritage in Indonesia, Jumat (21/2) lalu di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Martin menjelaskan beberapa contoh formasi momen-momen situs di masa kolonial dan pascakolonial serta bagaimana orang Indonesia berhubungan dengan sistem kolonial secara ekonomi, sosial politik, militer, dan budaya.
Selama ini studi situs warisan benda didominasi oleh Barat, terutama Eropa yang jadi ahli arkeologi, sejarah, arsitektur, dan sejarah seni. Wacana tentang situs yang valid menyumbang superioritas narasi bangsa, kelas, dan ilmu pengetahuan Barat. Bagi Belanda, dekolonisasi masih dalam proses. Martin mencontohkan “Ada diskusi perihal siapa yang memiliki situs Borobudur? Bagi Indonesia sudah jelas bahwa Borobudur adalah situs peninggalan nasional Indonesia. Mungkin bagi orang Belanda pada tahun 1970an, mereka merasa sangat terikat dengan Borobudur. Ketika Ratu Belanda, Juliana, mengunjungi Borobudur tahun 1971, beberapa wartawan Belanda mengatakan orang Indonesia tak tahu bagaimana merawat Borobudur”.
Di sinilah dekolonisasi mengambil peran pentingnya. Dekolonisasi merupakan istilah akademik di Barat untuk melihat proses transisi eks-koloni menjadi negara merdeka. Mendekolonisasi berarti proses masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik menjadi independen dan menghilangkan campur tangan kolonial.
Ada beberapa literatur kolonial yang jadi masalah ketika para arkeolog (Barat) menyingkirkan peran penduduk lokal dalam narasinya. Padahal orang-orang lokal punya peran penting dalam kerja arkeologis seperti penggalian situs. Meskipun arkeolog tahu nama orang lokal yang membantu, biasanya orang lokal tersebut ditulis anonim. Martin memberi contoh seorang arkeolog Van der Hoop. Dalam publikasinya, dia memasukkan perspektif orang lokal tentang kuburan batu yang digali di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia menyebut kuburan batu itu masih tetap di sana karena penduduk desa takut menggunakannya. Salah satu keluarga yang menggunakannya kemudian sakit dan gila. Semua tanpa nama.
Van der Hoop juga bekerja sebagai kurator Museum Batavia (sekarang Museum Nasional atau Museum Gajah di Jakarta). Hoop menulis katalog tahun 1934 tentang manusia pra-sejarah (di Hindia-Belanda) berdasarkan narasi Barat. Bab pertama katalog tersebut menyebut paleolitikum di luar Asia Timur yang dia gambarkan dari budaya paleolitikum di Perancis. Ia juga menyebutnya dengan paleolitikum di Eropa. Kemudian baru dia menghubungkannya dengan paleolitikum di Hindia-Belanda. Ini adalah cara kolonial yang mendasarkan narasi Barat untuk melihat fenomena di kawasan koloni.
Menyisipkan Pandangan Kolonial
Martijn Eickhoff merupakan guru besar arkeologi dari Universitas Groningen, Belanda, sekaligus peneliti NIOD (Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida). Martijn turut meneliti dalam proyek penelitian besar Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950 yang didanai pemerintah Belanda dengan fokus pada kekerasan perang. Martijn meneliti topik peninggalan perang dan kekerasan massal.
Para peneliti Belanda menggunakan istilah dekolonisasi dengan masih banyak menggunakan sumber-sumber kolonial dan hampir tak merujuk pada literatur Indonesia, sarjana Indonesia atau dokumen-dokumen Indonesia. “Ini juga jadi masalah metodologi ketika saya banyak menggunakan data kolonial. Namun, ketika ingin menyingkirkannya (pandangan kolonial), kita harus menggunakannya dulu. Ini masalah yang cukup rumit. Kami (di Belanda) menyimpan dokumentasi, foto, objek arkeologis yang juga belum banyak diteliti”, tutur Martijn.
Masalah tersebut tetap tak terpecahkan sembari penelitian terus berjalan. Pandangan kolonial dalam riset kerap ditunjukkan dari bagaimana penelitian Barat yang membahas perihal eks-koloni, seperti Indonesia, mengesampingkan data, sumber informasi, sarjana, dokumentasi maupun literatur dari eks-koloni. Disengaja maupun tidak, penelitian dekolonisasi tak berjalan seiring dengan keefektifan mendekolonisasi pola pikir para peneliti Barat.
Peneliti Belanda dan Indonesia dalam proyek penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950, juga tak nampak melakukan kolaborasi. Tim peneliti Indonesia bekerja independen dari tim Belanda. Luaran penelitian yang direncanakan berupa buku yang diterbitkan akan memisahkan terbitan tim Indonesia dan Belanda. Sangat sulit mengatakan bahwa perspektif Indonesia dan Belanda saling bertukar untuk membangun konstruksi pemikiran bersama dalam melihat hubungan sejarah kedua negara.
Isu Pengembalian Benda Peninggalan Indonesia di Museum Belanda
Benda-benda peninggalan Indonesia banyak dipajang di museum Belanda. Benda-benda itu didapat ketika perang, secara tidak sah, maupun secara sah oleh Belanda. “Di era kolonial, masalah ini jelas berada di bawah otoritas pejabat kolonial. Kita tahu itu berasal dari mana. Secara pribadi, saya tak punya alasan kuat yang berkaitan dengan pengembalian benda-benda ini,” tukas Martijn.
Museum-musem Belanda sekarang sudah memulai diskusi perihal pengembalian ini. Martin menyebutkan saat ini, ada sekitar 10.000 benda etnologis dan arkeologis peninggalan Indonesia di Museum Belanda. Beberapa patung-patung Singasari telah dikembalikan ke Indonesia. Ada banyak orang Belanda yang mengatakan seharusnya benda-benda peninggalan itu tetap di Belanda. Mereka mencintai benda-benda ini. Sangat menyakitkan rasanya ketika benda-benda ini dikembalikan.
Isu pengembalian benda ini juga melibatkan dimensi politik. Pada 20 November 2019, sebanyak 1.499 benda seni dan bersejarah koleksi Museum Nusantara, Delft, Belanda dikembalikan dengan menggunakan kapal laut dari pelabuhan Rotterdam, Belanda, ke Tanjung Priok, Jakarta. Menurut Andri Setiawan (dalam historia.id), pemulangan tersebut merupakan hasil kesepakatan pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia yang prosesnya telah dimulai sejak 2015.
Pengembalian benda bersejarah Indonesia dari museum Belanda ini juga bagian dari proses dekolonisasi. Pandangan kolonial kerap ditunjukkan melalui anggapan bahwa benda-benda ini didapatkan secara sah di bawah otoritas pemerintah Hindia-Belanda, namun tak mempertanyakan apa legalitas Belanda untuk menduduki wilayah Nusantara. “Dari mana Belanda punya hak atas Tanah Air (Nusantara-Indonesia) sejauh 18.000 kilometer jauhnya itu sebagai hak milik Belanda?” tutur Jeffry Pondaag dalam pidatonya dalam pertemuan publik proyek riset Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950, di Pakhuis de Zwijger pada September 2018 lalu.
Peliput: Yongky
Penyunting: Adek Dedees
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com