Chua Beng Huat: Asia Tenggara Terabaikan dalam Diskursus Poskolonial, Terjebak Pemberontakan dan Pembentukan Negara Otoriter

Brikolase.com – Chua Beng Huat, seorang profesor dari National University of Singapore, mengemukakan pandangannya tentang poskolonialisme dalam kajian kawasan Asia Tenggara, yang sering kali terabaikan dalam diskursis postkolonial global.

Dalam pidatonya di Goethe-Institut Indonesia, Chua menyatakan bahwa ketidakhadiran Asia Tenggara dalam banyak kajian poskolonial, terutama yang berbahasa Inggris, merupakan suatu fenomena yang menarik.

“Absennya Asia Tenggara dalam buku-buku tersebut bukan hanya disebabkan oleh ketidaktahuan penulisnya, tetapi lebih pada ketidakcocokan kondisi historis dan sosial di kawasan ini dengan diskursus poskolonial yang berkembang di India atau Afrika Utara,” ujarnya dalam panel diskusi Postcolonial Perspective from South East Asia, 24 Januari 2019, dikutip dari kanal YouTube Goethe-Institut Indonesien.

Meskipun wilayah Asia Tenggara memiliki sejarah kolonial yang panjang, dengan negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam yang mengalami perjuangan kemerdekaan yang berdarah, kondisi politik pasca-kemerdekaan di kawasan ini sangat berbeda dengan di India.

Salah satu alasan utama ketidakhadiran diskursus poskolonial di Asia Tenggara adalah adanya perbedaan dalam pengalaman dekolonisasi dan pembentukan negara baru.

Sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara, setelah merdeka, terperangkap dalam konflik ideologis selama Perang Dingin, yang mempengaruhi perkembangan politik mereka.

“Sementara India, setelah kemerdekaan, dapat membangun sebuah negara federal yang relatif stabil, banyak negara Asia Tenggara langsung terjebak dalam perang saudara dan pemberontakan, yang mengarah pada pembentukan negara otoriter,” kata Chua.

Baca juga: Teliti Negara Pascakolonial, 3 Peraih Nobel Ekonomi 2024 Ungkap Dampak Penjajahan pada Kemiskinan Masyarakat

Negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina terjebak dalam konflik berkepanjangan, yang pada gilirannya menghalangi perkembangan pemikiran kritis terhadap masa lalu kolonial mereka.

Stabilitas yang dibangun melalui rezim otoriter, dalam banyak kasus, tidak memberi ruang bagi refleksi kritis terhadap sejarah kolonial.

Chua menyoroti bahwa dalam kajian poskolonial, fokus yang lebih besar cenderung diberikan kepada India, sebagai pusat pemikiran pascakolonial di Asia.

“Dalam literatur poskolonial yang dominan, India memegang peran yang sangat penting, tidak hanya karena sejarah panjang peradaban India yang dihancurkan oleh kolonialisasi, tetapi juga karena dampak dari kolonialisme yang masih terasa hingga saat ini,” ungkapnya.

India, dengan segala kerumitan sosial-politiknya, sering menjadi contoh utama dalam kajian pascakolonial, sementara Asia Tenggara terabaikan.

Negara-negara di Asia Tenggara juga lebih memilih untuk fokus pada pembangunan ekonomi pasca-kemerdekaan daripada mengkaji dampak kolonialisme.

Dengan mengadopsi model negara pembangunan seperti yang diterapkan oleh negara-negara di Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Taiwan, negara-negara Asia Tenggara berusaha memperoleh legitimasi melalui kemajuan ekonomi, meskipun terkadang dengan cara-cara otoriter.

“Kebanyakan negara di Asia Tenggara memilih untuk fokus pada masa depan daripada masa lalu mereka.

Negara-negara ini lebih tertarik pada pembangunan ekonomi dan integrasi ke dalam kapitalisme global daripada merefleksikan masa lalu kolonial mereka,” ujar Chua.

Chua juga mengkritik minimnya perhatian terhadap para pelaku sejarah yang berjuang melawan kolonialisme di Asia Tenggara.

Ia menyebutkan bahwa tokoh-tokoh anti-kolonial dan karya-karya mereka yang kritis terhadap kondisi kolonial, meskipun penting, sering kali terabaikan dalam kajian postkolonial di Asia Tenggara.

Ia mencontohkan tulisan-tulisan dalam bahasa Melayu yang membangun narasi kritis terhadap penjajahan, yang sebagian besar dilupakan setelah pembagian negara-negara baru di Asia Tenggara.

Namun, Chua tidak hanya melihat Asia Tenggara dalam satu sisi negatif.

Ia juga menyadari adanya perubahan dalam masyarakat, seperti di Singapura, di mana kesadaran akan kolonialisme mulai muncul kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

“Singapura adalah masyarakat pascakolonial yang sangat khas.

Meskipun kami tidak mengalami penghancuran budaya asli atau pemusnahan penduduk, kami tetap harus mengakui peran kolonialisme dalam membentuk negara kami,” kata Chua.

Singapura merupakan negara yang unik dalam hal kolonialisme karena sejarah penduduknya yang lebih banyak merupakan imigran, bukan penduduk asli yang dijajah oleh bangsa kolonial.

Chua menekankan bahwa diskursus poskolonial di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor historis dan politik yang berbeda dibandingkan dengan kawasan lain.

“Asia Tenggara, meskipun memiliki sejarah kolonial yang panjang, memilih untuk bergerak maju dengan mengabaikan masa lalu, sementara di tempat lain, seperti India, sejarah kolonial tetap menjadi pusat refleksi dan diskusi,” ujar Chua.***