Bongkar Mitos Pribumi Malas, Stereotip Jadi Biang Keladi Pembenaran Eksploitasi Kapitalisme Kolonial

Brikolase.com – Buku Mitos Pribumi Malas (The Myth of The Lazy Native) karya Syed Hussein Alatas merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam membongkar narasi kolonial yang merugikan masyarakat pribumi.

Buku ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1977 dalam bahasa Inggris dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memuat kritik tajam terhadap mitos yang diciptakan penjajah untuk membenarkan dominasi mereka di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, Melayu, dan Filipina.

Buku Mitos Pribumi Malas adalah sebuah karya monumental yang membongkar stereotip dan mitos tentang kemalasan pribumi di Asia Tenggara.

Alatas menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuan untuk menganalisis asal-usul ideologi kolonial dan kapitalisme yang membentuk prasangka terhadap pribumi.

Kritik terhadap Wacana Penjajahan

Buku ini mengupas bagaimana mitos “pribumi malas” bukan sekadar stereotip, tetapi alat ideologis yang sengaja dirancang untuk memperkuat sistem kapitalisme kolonial.

Alatas menyoroti bahwa dalam sistem kolonial, masyarakat pribumi yang memilih untuk bekerja sebagai petani, nelayan, atau peternak sering kali dicap sebagai malas karena mereka enggan bekerja di sektor perkebunan atau perdagangan yang menguntungkan pihak penjajah.

Baca juga: Teliti Negara Pascakolonial, Peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2024 Ungkap Dampak Penjajahan terhadap Kemiskinan Masyarakat

Faktanya, keputusan tersebut adalah pilihan rasional yang memberikan taraf hidup lebih baik dibandingkan bekerja dalam kondisi eksploitasi kolonial.

Buku ini membahas bagaimana kolonialisme menciptakan citra “pribumi malas” untuk mendukung ideologi kapitalisme kolonial.

Alatas menunjukkan bahwa mitos ini digunakan untuk membenarkan eksploitasi sumber daya manusia dan alam oleh kolonial, sekaligus melemahkan pengetahuan dan tradisi lokal.

Misalnya, pembagian biner antara “pribumi malas” dan “Cina rajin” yang dirancang untuk melayani kepentingan kapitalisme kolonial.

Pengetahuan kolonial yang diwariskan kepada elit pascakolonial bahkan digunakan untuk mendukung kebijakan nasional yang bias.

Dalam analisisnya, Alatas menunjukkan bagaimana stereotip rasial yang diciptakan oleh kolonialisme tetap berlanjut di masyarakat modern.

Di Malaysia, stereotip ini digunakan untuk memperkuat kontrol politik dan ekonomi oleh kelas penguasa. Misalnya, survei di Universitas Malaya menunjukkan bahwa banyak mahasiswa Melayu setuju dengan stereotip bahwa bangsanya malas, yang mencerminkan warisan ideologi kolonial yang masih langgeng.

Peran Eurosentrisme dalam Penjajahan Intelektual

Alatas mengkritik Eurosentrisme, yaitu pandangan yang memandang budaya dan pengetahuan Eropa sebagai standar universal.

Dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan, Eurosentrisme sering kali mengabaikan perspektif lokal dan menggantinya dengan narasi yang sesuai dengan kepentingan penjajah.

Narasi ini termasuk mitos “pribumi malas” yang berfungsi untuk membenarkan penjajahan dan mempertahankan kekuasaan kolonial.

Menurut Alatas, mitos ini adalah contoh nyata dari bagaimana ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk mengaburkan kenyataan.

Ia menjelaskan bahwa ilmu yang diproduksi oleh penjajah bukan hanya keliru, tetapi juga sengaja dirancang untuk membenarkan eksploitasi terhadap masyarakat pribumi.

Dalam hal ini, mitos “pribumi malas” tidak mencerminkan kebenaran, melainkan pemutarbalikan fakta untuk melanggengkan dominasi penjajah.

Dikutip dari laman nycu.edu, Alatas membagi 3 masalah dalam penjajahan yakni:

  1. Masalah fisik dan material, seperti pertanian, pembangunan, perumahan, dan lain-lain,
  2. Masalah organisasi, seperti pembentukan hubungan ekonomi, pembentukan sistem birokrasi legislatif dan eksekutif, pengembangan kesejahteraan sosial, dan lain-lain,
  3. Masalah non-material, seperti masalah sosial, filosofis, dan moral di bawah kolonialisme.

Alatas berpendapat bahwa masalah non-material merupakan biang keladi di antara ketiganya. Masalah ini menghambat kemungkinan reformasi dan kemajuan dua kategori pertama, serta produksi pengetahuan.

Di bawah isu-isu kolonialisme seperti itulah “citra pribumi” dan “citra penduduk terjajah” diciptakan.

Pikiran Tertawan dan Tantangan Intelektual

Dalam bukunya yang lain, Intelektual Masyarakat Membangun, Alatas memperkenalkan konsep “pikiran tertawan” atau captive mind.

Ini merujuk pada kondisi di mana kelompok intelektual dalam masyarakat berkembang terperangkap oleh pemikiran Barat.

Mereka mengadopsi pandangan kolonial tanpa kritik dan gagal menciptakan gagasan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Menurut Alatas, tugas kelompok intelektual adalah membebaskan diri dari pikiran tertawan dengan menciptakan ilmu yang mandiri.

Untuk mencapai hal ini, diperlukan pemahaman mendalam tentang konteks lokal dan kemampuan untuk membangun teori yang berakar pada pengalaman pribumi.

Kapitalisme Kolonial dan Ideologi

Salah satu kontribusi utama Alatas adalah analisisnya terhadap kapitalisme kolonial. Ia menjelaskan bahwa kapitalisme kolonial berbeda dari kapitalisme di Eropa.

Dalam kapitalisme kolonial, penjajah menciptakan struktur ekonomi yang sepenuhnya bergantung pada eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja lokal.

Penjajah menggunakan ideologi seperti mitos “pribumi malas” untuk membenarkan ketimpangan ini.

Kapitalisme kolonial juga membatasi peluang masyarakat pribumi untuk berkembang. Mereka tidak diberi akses ke pendidikan atau keterampilan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Sebaliknya, mereka didorong untuk tetap berada dalam posisi yang menguntungkan penjajah.

Dalam The Myth of The Lazy Native, Alatas turut mengkritik kebijakan kolonial yang menghambat pengembangan teknologi dan ekonomi pribumi.

Ia menolak pandangan bahwa pribumi secara inheren malas, melainkan menunjukkan bagaimana sistem kolonial menghancurkan kelas pedagang pribumi dan memaksakan kebijakan ekonomi yang menguntungkan kolonial.

Sementara itu, kebijakan seperti impor tenaga kerja dari India dan Cina menciptakan perbedaan kelas dan memperkuat stereotip negatif terhadap pribumi.

Menuju Ilmu Mandiri

Alatas mengusulkan konsep ilmu mandiri sebagai solusi untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh kolonial.

Ilmu mandiri bukan hanya menolak ilmu penjajah, tetapi juga menciptakan pengetahuan baru yang berakar pada tradisi dan pengalaman lokal.

Dalam konteks ini, ilmu mandiri juga melibatkan kritik terhadap elit lokal yang sering kali memperkuat narasi penjajah demi kepentingan mereka sendiri.

Ilmu mandiri harus mampu mengatasi bias Eurosentrisme dan memanfaatkan tradisi lokal sebagai sumber pengetahuan.

Alatas memberikan contoh bagaimana tradisi intelektual di dunia Melayu, seperti penggunaan istilah “masyarakat,” dapat menjadi dasar untuk mengembangkan konsep-konsep baru yang relevan dengan konteks lokal.

Lebih dari empat dekade sejak penerbitannya, Mitos Pribumi Malas tetap relevan dalam konteks globalisasi dan neo-kolonialisme.

Banyak negara berkembang masih menghadapi tantangan yang mirip, termasuk ketergantungan intelektual pada negara-negara maju.

Dengan mempelajari karya ini, kita dapat memahami pentingnya membangun kemandirian berpikir dan menciptakan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Buku Mitos Pribumi Malas adalah seruan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan intelektual. Karya ini mengingatkan kita bahwa kemandirian berpikir adalah fondasi bagi kemajuan masyarakat.

Dengan mengkritik narasi kolonial dan membangun ilmu mandiri, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif.***