Kejahatan Perang Belanda: Memaafkan Tapi Tidak Melupakan

Debat Publik Kejahatan Perang Belanda

Isu kejahatan perang Belanda di masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 mengemuka setelah sejumlah kasus mulai terbuka. Sejarawan Belanda, Remy Limpach, dalam Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia (2019) menjelaskan setidaknya ada tiga tahap perdebatan publik soal kejahatan perang di Belanda.

Pertama ,sejak 1949-1969 ketika masyarakat senyap atas kasus tersebut.  Kedua, dari 1969-2008, ketika Joop Hueting, seorang veteran perang Belanda mulai membuka kasus kejahatan perang yang disaksikannya sendiri. Pemerintah Belanda menanggapinya dengan mempublikasikan catatan ekses perang (excessennota). Catatan itu menyimpulkan bahwa kejahatan perang Belanda hanyalah ekses, bersifat insidentil atau kecelakaan. Ada sikap mendua dalam tahap ini yakni lebih terbuka menghadapi pemberitaan kasus kejahatan perang namun masih kurang serius melakukan penyelidikan.

Tahap ketiga berlangsung mulai 2008 yakni sejak kasus-kasus kejahatan perang Belanda mulai masuk ke ranah hukum. Tuntutan hukum korban dan ahli waris yang didampingi oleh pengacara Liesbeth Zegveld dan Jeffry Pondaag dari yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) menang di pengadilan negeri Belanda.

Menanggapi hal ini pada tahun 2017 mulai diadakan penelitian besar-besaran tentang kejahatan perang Belanda yang melibatkan tiga lembaga Belanda: Lembaga Kerajaan Belanda untuk Linguistik, Geografi dan Etnologi (KITLV), Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) dan Lembaga Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD).

Penelitian bertajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950 tersebut turut menggandeng lembaga Indonesia yakni Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM). Riset tersebut cenderung menggunakan istilah kekerasan ekstrem (extreme violence) daripada kejahatan perang (war crimes) yang mereduksinya hanya pada kasus eksekusi tawanan mulai dari penduduk desa, pemerkosaan, penyiksaan, hingga penjarahan dengan menggunakan kekuatan militer berlebihan yang tak perlu. Ia tak memakai istilah kejahatan perang dalam kerangka invasi militer terhadap negara Indonesia yang merdeka.

Diskusi soal isu kejahatan perang Belanda turut mengemuka di publik Indonesia. Dalam masa pascakolonial hari ini, isu tersebut banyak dibicarakan oleh generasi kedua dan ketiga perihal bagaimana menanggapi dan bersikap terhadap masa lalu orang tuanya, kakek neneknya. Perang Kemerdekaan Indonesia adalah soal harga diri sebagai bangsa yang merdeka. Sampai saat ini Belanda menolak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan yang sah. “Penolakan Belanda itulah yang bersifat kesombongan historis, karena seakan-akan dia (Belanda) berhak terhadap wilayah Indonesia yang dulu bernama Hindia-Belanda dan dia mau kembali untuk mengambil haknya itu, tutur Anhar Gonggong, dalam diskusi daring Berdamai dengan Masa Lalu pada Sabtu, 9 Mei 2020 lalu.

Sebagai sejarawan sekaligus anak yang ayah dan keluarganya dieksekusi tentara Belanda di Sulawesi Selatan, Anhar mengatakan bahwa pemahaman historis Belanda salah pada zaman itu. Artinya Belanda menentang arus sejarah, bahwa sebuah bangsa yang dijajah pada saatnya akan berusaha untuk merdeka. Dan Indonesia sudah mencapai kemerdekaan itu tanggal 17 Agustus 1945. Tapi Belanda tak mau terima sehingga melakukan pembunuhan.

Pemahaman historis Belanda ini berakibat pada penyebutan pahlawan dan pejuang Indonesia sebagai ekstremis, pemberontak, dan teroris. Ada kasus yang bahkan menunjukkan para tentara Belanda yang berhasil mengeksekusi para pemberontak ini malah mendapatkan penghargaan. “Kakek saya, Moch Sroedji, sulit sekali ditangkap, sampai bolak-balik, banyak sekali propaganda. Lalu penembak kakek saya itu mendapat penghargaan medali, silver bronze”, tutur Irma Devita dalam diskusi tersebut.

Patung Letkol M. Sroedji di depan kantor Pemerintah Kabupaten Jember. Sumber: jemberkab.go.id

Sebagai cucu pejuang Letkol Moch Sroedji, Irma mengatakan bahkan kakeknya disebut maling ayam dan buronan nomor wahid dari Jawa Timur dalam buku sejarah Belanda. Ditambah lagi, dimunculkan narasi periode Bersiap, yakni masa sengkarut dari Agustus 1945 sampai awal 1946, ketika orang-orang Belanda mengalami kekerasan oleh orang Indonesia. Dalam informasi teknis penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950, direktut NIOD, Frank van Vreemengatakan bahwa penyelidikan baru ini akan menaruh perhatian pada periode kacau masa Bersiap, latar belakang, dan dampak psikologis bagi militer dan penduduk sipil Belanda.

“Itu selalu terjadi ketika pihak Indonesia mengangkat kebrutalan militer Belanda terhadap Indonesia, orang Belanda mengatakan yang menderita bukan hanya orang Indonesia. Orang Belanda turut jadi korban kebrutalan orang Indonesia”, tutur peneliti sejarah Historika, Hendi Jo. Namun, bedanya saat itu kebrutalan Belanda itu terjadi atas perintah resmi militer Belanda, sedangkan pihak Indonesia melakukannya secara reaktif untuk mempertahankan kemerdekaan. Persoalannya juga bagaimana kita melihat kasus itu dalam kerangka historis. Pada saat itu Indonesia sedang membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Periode Bersiap tak ada dalam historiografi Indonesia. Ia hanya ada dalam narasi sejarah Belanda. Dalam penelitian Belanda, periode Bersiap jadi titik awal yang menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi mulanya dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Belanda. Riset tersebut tak hendak menyelidiki ratusan tahun penjajahan Belanda terhadap Nusantara serta berabad-abad diskriminasi rasial dan kelas yang merupakan penyebab sebenarnya dari kekerasan dan kejahatan perang.

Dalam surat terbuka yang mengkritik penelitian tersebut, dinyatakan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun tak menjadi poin analisis. Mengutip sejarawan Belanda Henk Schulte Nordholt, Belanda lebih suka membahas kekerasan dalam arti ekses, insiden, dan fenomena transisional. Meskipun Limpach menyimpulkan bahwa kekerasan militer Belanda terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif, namun risetnya masih cenderung melihat sejarah dari persektif kolonial dengan mengambil banyak sumber Belanda.

Dalam perspektif kolonial Belanda, wilayah Indonesia tahun 1945-1949 masih berada di bawah hukum Belanda. Artinya wilayah Indonesia masih menjadi milik Belanda. Maka kekerasan yang terjadi dianggap urusan dalam negeri Belanda. Indonesia masih tak diakui eksistensinya sebagai negara yang merdeka secara sah.

Formula Penyelesaian

Sejumlah kasus kejahatan perang Belanda yang terungkap sejak 2008 didorong oleh tuntutan hukum para korban. Yayasan K.U.K.B. bersama pengacara Liesbeth Zegsveld mendampingi para janda kasus Rawagede. Vonis pengadilan negeri Den Haag memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian massal di Rawagede tahun 1947 serta diwajibkan memberikan kompensasi kepada para janda yang suaminya dieksekusi dan satu korban penuntut lain. Masing-masing diberikan uang kompensasi sebesar 20.000 euro (sekitar Rp 243 juta).

Namun masalah lain muncul. Tuntutan juga datang dari 171 ahli waris korban Rawagede lain yang tak terdaftar dalam gugatan. Mereka turut meminta jatah kompensasi dari pemerintah Belanda. Separuh dana santunan yang dicairkan masing-masing penerima kemudian diberikan kepada pemerintah desa sebagai koordinator para ahli waris.

Tak hanya itu, kasus tuntutan hukum itu diadili berdasarkan pada hukum kolonial Belanda. Vonis pengadilan menyatakan bahwa Belanda bersalah karena membunuh warga negaranya sendiri. Wilayah Indonesia dianggap berada di bawah hukum Belanda saat perang kemerdekaan sampai tahun 1949.

“Uang kompensasi itu diberikan kepada warga negara jajahannya. Itu yang saya tolak. Saya sejak 18 Agustus (1945) sudah bukan warga negara jajahan. Saya sudah (jadi) warga negara yang merdeka bernama Republik Indonesia”, tutur Anhar Gonggong. Anhar juga menambahkan seharusnya pemerintah Indonesia bisa mengambil peranannya untuk menyelesaikan persoalan ini. Jadi tidak diselesaikan orang per orang. Anhar merasa sakit hati dan pedih betul mendengar uang kompensasi itu dipotong.

janda Korban Rawagede, Cawi binti Baisa berdoa di makam suaminya di taman makam pahlawan Rawagede, Jawa Barat. AP/Achmad Ibrahim. Sumber tempo.co

Pengadilan negeri Belanda turut membuka skema penyelesaian kasus di luar pengadilan (out-of-court settlement scheme) untuk para janda dan penyintas pembunuhan massal yang lain. Jalur ini merupakan sebuah skema resolusi yang disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikannya secara damai. Untuk menghindari proses pengadilan dengan menggunakan hukum (kolonial) Belanda, maka turut muncul cara mengajukan kasus kejahatan perang Belanda ke pengadilan pidana internasional. Namun menurut Jeffry dari K.U.K.B., Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tak bisa mengadili jika kasusnya, dalam hal ini kejahatan perang Belanda, terjadi sebelum ICC berdiri dan undang-undang pidana internasional dikonvensi.

Kasus kejahatan perang akan semakin berlarut-larut jika pemerintah Indonesia tidak hadir. Pemberian kompensasi nyatanya tak mampu menyelesaikan masalah malah menimbulkan persoalan baru. Kasus sebenarnya bisa cepat selesai jika Belanda mau bertindak seperti Jepang. “Sebenarnya Jepang tanpa digugat itu sadar bahwa dia melakukan kejahatan perang dan dia memberikan pampasan perang. Dikasih ke Korea Selatan, dikasih ke Indonesia. Kesadaran Jepang yang mau mengakui kesalahannya itu hebat. Tapi Belanda kan tidak,” tutur Anhar.

Cara penyelesaian Jepang tersebut turut melibatkan pemerintah Indonesia sehingga kasusnya bisa segera diakhiri. Dalam kasus Belanda dan Indonesia, pengajuan tuntutan diinisiasi oleh organisasi sipil, K.U.K.B., yang mengajukan kasus per orang atau beberapa orang. Dalam proses peradilan bahkan pemerintah Belanda terus menyangkal tuntutan hukum atas kejahatan perang karena menganggapnya sudah kadaluarsa.

Generasi Muda Memandang Masa lalu

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah soal harga diri dan martabat bangsa Indonesia sebagai negara yang sah merdeka dari jajahan Belanda. Sampai saat ini Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia (soevereiniteitsoverdracht) pada tanggal 27 Desember 1949 yang merupakan hasil sidang Konferensi Meja Bundar (KMB). Belanda tak mau mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia secara de jure karena tak ingin dianggap menyerang sebuah negara yang berdaulat.

Maka dari itu propaganda sejarah dikumandangkan bahwa Belanda hanya melakukan aksi polisionil (politienele acties) untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban. Faktanya mereka mengirim tentara dengan senjata dan fasilitas militer berat yang menunjukkan invasi atau agresi militer dan terjadilah perang. Data sejarawan Geert Oostinide, dalam bukunya Serdadu Belanda di Indonesia (2016), menunjukkan perkiraan jumlah pasukan Belanda sebesar 220.000 orang, terdiri dari 120.000 angkatan darat (Koninklijke Landmacht), 75.000-80.000 KNIL, dan 20.000 angkatan laut (Koninklijke Marine). Korban pada pihak Belanda tercatat di Monumen Nasional Hindia-Belanda sebesar 6.226 dan dari pihak Indonesia sekitar 100.000 jiwa.

Persoalan ini bukan hanya soal jumlah korban tapi juga penderitaan yang diakibatkannya. Trauma masa lalu bahkan sampai melekat dalam benak anak-cucu korban. “Kakek dan keluarga saya betul-betul mengalami penderitaan yang luar biasa. Keluarga saya jika ditanya apakah punya peninggalan dari kakek? Tidak ada satupun. Karena (hidupnya) selalu berpindah, rumahnya dibakar, dijarah, dan dijadikan markas Belanda”, cerita Irma.

Anhar Gonggong, Irma Devita dan Hendi Jo dalam diskusi daring Berdamai dengan Masa Lalu pada Sabtu, 9 Mei 2020.

Soal jumlah korban selalu menjadi perdebatan. Semisal kasus pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Jumlah korban Indonesia tercatat di monumen sejumlah 40.000 orang. Mantan wakil presiden Indonesia Jusuf Kalla mengatakan korbannya sekitar 2.000 orang. “Apa bedanya 40.000 dan 2.000 (korban). Satu orang yang dibunuh secara kejam sama nilainya dengan 100 orang korban”, tutur Anhar. Yang terpenting adalah bagaimana melihat akar kekerasan dan kekejaman itu serta apa tujuannya. Andaikata Belanda mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah terjadi perang. Di situ akar persoalanya.

Orang-orang Belanda juga terbelah soal melihat kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Para veteran perang Belanda paling susah untuk mengakuinya. Sedangkan anak-anak muda Belanda lebih cair. Pada kalangan anak muda Belanda sudah ada kesadaran bahwa perang itu adalah sebuah agresi militer Belanda ke Indonesia. Permintaan maaf Raja Belanda atas kejahatan perang Belanda pada, 10 Maret 2020 lalu juga menunjukkan sikap yang lebih cair.

Soal kasus kejahatan perang Belanda juga, tak ada gunanya jika terus mendendam. Anhar mengatakan berdamai dengan sejarah tetap harus dibangun dengan pemahaman-pemahaman yang faktual. Sejarah sebenarnya tidak melahirkan dendam. Justru dengan pemahaman yang dibangun itulah maka dendam akan dengan sendirinya terhapus. “Forgive but not forget. Kita maafkan tapi kita harus memahami duduk permasalahannya seperti apa. Jika ada catatan sejarah kelam, ya kita bisa belajar dari sejarah”, tutur Irma.

Yang terpenting adalah orang Indonesia, terutama anak-anak mudanya perlu dibangkitkan kembali pengetahuan dan rasa cinta Tanah Air yang lebih besar serta memahami sejarah yang sebenarnya. Irma menambahkan penting sekali bagi generasi muda untuk tahu persis sejarah Indonesia itu dibangun dari darah dan air mata serta pengorbanan para pendahulu kita. Tujuannya supaya orang Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat. Bagi Hendi Jo, sejarah selalu berjalin-kelindan dengan politik dan kepentingan ekonomi. Maka jika ingin belajar sejarah, kita harus terbebas dari kepentingan-kepentingan tersebut. Belajarlah sejarah, rajin membaca buku, dan berdiskusi dengan kepala dingin.

Penulis: Yongky
Penyunting: Adek Dedees
Gambar Teratas: Penduduk kampung Salomoni (Sulawesi Selatan) dan Kampung-Kampung di sekitarnya dikumpulkan dan diperiksa atas perintah Pasukan Komando Khusus. Mereka harus berjongkok menyaksikan sekitar 20 orang dieksekusi setelah ‘pengadilan kilat di tempat’ pada 12 Februari 1947. NIMH (Institut sejarah Militer Belanda. Sumber: Remy Limpach, dalam Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia (2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *