Franz Magnis Suseno Cerita Pengalaman Saat Geger 1965, Takut PKI Ambil Alih Indonesia

Franz Magnis Suseno. Dok. Channel443

Brikolase.com – Franz Magnis Suseno, seorang pengajar filsafat asal Jerman yang datang ke Indonesia pada tahun 1960-an, memiliki pengalaman mendalam mengenai situasi politik di Indonesia, khususnya terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketika tiba di Jawa Tengah, ia segera menyadari betapa kuatnya pengaruh PKI di daerah tersebut.

“Jawa Tengah itu merah desa-desa di tempat saya belajar bahasa. Jawa dekat Ungaran itu semua ada BTI dan
sebagainya.

Teman-teman Indonesia Jawa biasanya tidak melihat itu sebagai sesuatu tapi saya kok merasa sangat khawatir bahwa Indonesia akan menjadi komunis ya,” ungkap Franz, dikutip dari kanal YouTube Teater Utan Kayu.

Ketika ia berada di Yogyakarta untuk melanjutkan studi filsafat dan teologi pada tahun 1965, seorang pastor Jesuit bernama Paul Chovini De Blot memintanya untuk melakukan studi khusus tentang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pastor yang di tahun 1965 kemudian banyak mengurus tahanan komunis ini meminta Franz menjawab pertanyaan, “Apakah PKI itu komunisme betul-betul atau hanya komunisme ala Indonesia?”

Baca juga: Tentang Njoto dan Keluarga, Wawancara dengan Svetlana Dayani

Setelah mempelajari tulisan-tulisan resmi dari tokoh-tokoh PKI seperti D.N. Aidit, Njoto, Franz menyimpulkan bahwa PKI di Indonesia bukanlah varian lokal.

“Saya menulis teks 30 halaman kurang lebih dengan hasil yang saya dapat bahwa komunisme PKI memang mencoba untuk tidak banyak bicara mengenai ateisme materialisme tapi itu komunisme tulen (Uni) Soviet.

Jadi dari tulisan itu, itu bukan semacam campuran Indonesia tetapi itu komunisme Soviet yang menjadi komunisme PKI waktu itu,” ungkap Franz.

Namun, sebelum studinya benar-benar selesai, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) meletus. Franz mengungkapkan bahwa pada saat itu ia tidak menyadari seberapa besar kekejaman yang terjadi.

“Kami juga tidak kemudian menyadari semua kengerian yang terjadi. Pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang PKI yang tidak ada hubungan apapun dengan gerakan 30 September,” ujarnya.

Pada akhirnya, ketika Soeharto melarang PKI pada Maret 1966, Franz merasa lega bahwa ancaman komunis di Indonesia telah berakhir.

“Saya semula hanya merasa lega, ketakutan bahwa PKI mengambil alih Indonesia itu lalu hilang, sehingga bagi saya saya harus mengakui tanggal 11 Maret 66 atau tanggal 12 di mana Soeharto melarang PKI bagi saya waktu itu meringankan,” kata Franz.***