Brikolase.com – Kita sering menganggap makan tiga kali sehari, pagi, siang lalu malam, sebagai hal yang alami. Sarapan pagi sebelum kerja atau sekolah, makan siang saat istirahat, lalu makan malam bareng keluarga terasa begitu wajar.
Rutinitas ini terasa begitu normal, seolah manusia memang diciptakan untuk makan tiga kali sehari pada jam tertentu. Namun, kenyataannya kebiasaan ini tidak selalu ada sejak dulu.
Pola makan ini sebenarnya juga bukan kodrat biologis. Ia adalah produk dari sejarah panjang kolonialisme, industrialisasi, dan terutama kapitalisme yang membentuk ritme hidup manusia modern.
Kolonialisme Paksakan Pola Makan pada Masyarakat Adat
Mahek Nair dalam tulisannya, Decolonizing Diets: Eating Three-Meals-A-Day and Its Colonial Implications (2023), menyebut pola makan 3 kali sehari dikonstruksi oleh penjajah Eropa.
Ketika bangsa Eropa datang ke Amerika Utara, mereka menemukan pola makan masyarakat adat sangat berbeda. Penduduk asli Amerika makan secara intuitif, berburu, mengumpulkan, dan mengonsumsi makanan ketika lapar atau saat ada waktu dan kesempatan.
Bagi mereka, makan bukanlah rutinitas mekanis, melainkan respons alami terhadap kebutuhan tubuh dan ketersediaan bahan makanan di alam.
Namun, pandangan kolonialis Eropa yang sarat stereotip “primitif” versus “beradab” menganggap pola makan fleksibel ini sebagai “tidak tertata.”
Mereka percaya bahwa orang “beradab” harus memiliki jam makan yang tegas, sehingga berbeda dari hewan yang makan rumput.
Dari sinilah pola makan tiga kali sehari mulai dipaksakan, bukan hanya untuk mengubah kebiasaan, tetapi juga sebagai upaya mendisiplinkan dan mendomestikasi komunitas adat.
Inilah tahap awal domestikasi pangan yang kelak menjadi standar global.
Industrialisasi Ciptakan Waktu Makan Sesuai Jam Kerja
Seiring industrialisasi dan urbanisasi pada abad ke-19, sistem tiga kali makan ini semakin mengakar. Revolusi industri menghadirkan pertanian massal berbasis gandum yang mendukung ketersediaan makanan berkarbohidrat tinggi.
Kebiasaan makan pun berubah menjadi lebih mekanis, mengikuti jam kerja pabrik dan sekolah, alih-alih mengikuti ritme alami tubuh.
Pada masa ini pula, pertanian massal dan transisi ke diet berbasis gandum menjadi tumpuan. Ketersediaan makanan berkarbohidrat tinggi, roti, sereal, bubur gandum, memudahkan standarisasi menu untuk buruh pabrik.
Perubahan pola kerja yang lebih ringan secara fisik dibanding masa agraris tidak diikuti dengan penyesuaian kalori, sehingga masalah pencernaan seperti indigesti mulai muncul. Namun sistem makan tiga kali sehari tetap dipertahankan demi kestabilan ritme kerja.
Para buruh harus menyesuaikan diri dengan jam produksi yang panjang, sehingga pola makan pun diatur agar tidak mengganggu jam kerja .
Inilah mengapa sarapan diposisikan sebagai energi sebelum bekerja, makan siang sebagai jeda jam kerja, dan makan malam sebagai penutup setelah pulang kerja.
Sistem tiga kali makan sehari lahir bukan dari kebutuhan tubuh, tetapi dari kebutuhan sistem ekonomi.
Kiera Butler dalam artikelnya Why You Should Stop Eating Breakfast, Lunch, and Dinner, menyebutkan bahwa ketaatan pada jadwal makan yang kaku (3 kali sehari) ini bukan hanya anti-sains, tetapi juga berakar pada rasisme dan sistem kolonial yang menstandarkan pola hidup Barat.
Warisan kolonial ini paling terasa di komunitas adat. Nair mencatat data statistik Kanada menunjukkan 60% keluarga adat mengalami kerentanan pangan, lebih dari tujuh kali lipat rata-rata nasional.
Obesitas dan diabetes juga melonjak tajam, 82% orang dewasa adat mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, dan satu dari lima menderita diabetes.
Angka-angka ini mencerminkan ketimpangan akses pangan dan transformasi pola makan tradisional yang dipaksakan sejak era kolonial.
Kapitalisme dan Lahirnya Industri Pangan Tentukan Cara Kita Makan
Memasuki abad ke-20, kapitalisme semakin menguatkan cengkeramannya. Produksi pangan skala besar memungkinkan distribusi nasional.
Joseph Andrews dalam tulisannya, The Capitalist Diet Plan, menyebut perusahaan seperti Kellogg’s melihat peluang emas memasarkan sereal sebagai “sarapan sehat.”
Mereka membiayai riset dan kampanye yang menobatkan sarapan adalah waktu makan harian paling penting.
Televisi kemudian menjadi medium ideal untuk menguatkan pesan ini. Iklan-iklan menggambarkan sarapan keluarga yang hangat, makan siang sebagai jeda produktivitas, dan makan malam sebagai ritual kebersamaan.
Perlahan, pola makan tiga kali sehari bukan hanya norma kerja, tetapi juga norma sosial yang sarat simbol kebersamaan dan status.
Kantor, sekolah, dan bahkan transportasi publik diatur mengikuti ritme makan tiga kali sehari. Supermarket dan industri restoran menyusun strategi penjualan mereka sesuai jam makan.
Ini menunjukkan betapa kapitalisme bukan hanya mengatur pasar, tetapi juga tubuh dan selera kita.
Pola Makan 3 Kali Sehari Menurut Sains
Riset ilmiah menunjukkan pola makan 3 kali sehari bukanlah kodrat biologis manusia, melainkan hasil konstruksi budaya, revolusi agraria, dan industrialisasi.
Studi Mattson, M.P., dkk. Meal Frequency and Timing in Health and Disease (2014) yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) mengungkapkan bahwa pola makan tiga kali sehari justru berbeda dengan pola makan alami nenek moyang kita, dan mungkin kurang optimal untuk kesehatan metabolik.
Manusia purba dan hewan liar jarang makan dengan pola tetap. Mereka mengonsumsi makanan ketika tersedia, bukan pada jam tertentu.
Baru sekitar 10.000 tahun lalu, setelah revolusi agraria, pola makan tiga kali sehari menjadi populer karena mendukung kegiatan bercocok tanam dan kebutuhan sosial.
Abad ke-20 memperkuat kebiasaan ini dengan munculnya makanan berkalori tinggi seperti gula, biji-bijian olahan, dan sirup jagung.
Dikombinasikan gaya hidup yang semakin sedentari (kurang aktivitas fisik), pola makan tiga kali sehari berperan dalam meningkatnya obesitas dan penyakit metabolik di masyarakat modern.
Mattson dkk. menegaskan bahwa anggapan wajib makan tiga kali sehari adalah mitos. Penelitian menunjukkan bahwa frekuensi dan waktu makan memengaruhi kesehatan secara signifikan, termasuk risiko diabetes, penyakit jantung, dan obesitas.
Pola makan yang lebih fleksibel seperti intermittent energy restriction (IER) atau time-restricted feeding (TRF) memberikan manfaat metabolik, meskipun asupan kalori total sama.
IER mengurangi asupan energi secara signifikan beberapa hari dalam seminggu atau puasa bergantian. TRF membatasi jendela makan hanya 4–6 jam per hari. Menurut studi pada hewan dan manusia, metode ini:
1. Meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kadar insulin serta leptin.
2. Mengaktifkan metabolisme lemak dan produksi keton, yang bermanfaat untuk sel-sel berenergi tinggi seperti neuron otak.
3. Menekan peradangan kronis yang menjadi faktor banyak penyakit degeneratif.
4. Memicu autophagy (mekanisme pembersihan sel), sehingga sel lebih tahan terhadap stres dan memperbaiki kerusakan molekul.
Selain itu, tubuh kita memiliki jam biologis yang memengaruhi metabolisme. Makan pada jam yang tidak selaras dengan ritme alami, misalnya pada malam hari, dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan tekanan darah tinggi.
Studi ini menunjukkan bahwa makan lebih awal dalam sehari lebih baik untuk menurunkan berat badan dan menjaga kesehatan metabolik
Meski bukti ilmiah mendukung fleksibilitas dalam frekuensi dan waktu makan, kebiasaan makan tiga kali sehari sudah tertanam dalam budaya, industri makanan, dan jadwal kerja.
Saat ini semakin banyak ahli gizi yang mempertanyakan relevansi pola makan tiga kali sehari. Penelitian menunjukkan pola makan yang lebih fleksibel, misalnya dengan porsi kecil lebih sering, bisa lebih baik untuk metabolisme dan kontrol gula darah.
Konsep intuitive eating juga kembali naik daun, yang membawa kita pada cara makan yang lebih selaras dengan tubuh, bukan jadwal pabrik.
Kesadaran ini penting karena pola makan bukan sekadar persoalan kesehatan, melainkan juga kedaulatan. Dengan memahami sejarah kolonialisme, industrialisasi, dan kapitalisme di baliknya, kita dapat mulai mendekolonisasi dan mendekapitalisasi cara kita makan.
Ini akan membebaskan diri dari standar yang diciptakan bukan untuk tubuh kita, tetapi untuk sistem ekonomi.
Sejarah makan tiga kali sehari bukan sekadar soal kebiasaan, tetapi contoh tentang bagaimana kolonialisme, industri dan kapitalisme mengatur bahkan sampai hal yang paling intim dalam kehidupan, kapan dan bagaimana kita makan.
Memahami sejarah ini membantu kita melihat bahwa pola makan bukan sekadar pilihan individual, melainkan hasil konstruksi sosial, politik, dan ekonomi yang diwariskan lintas generasi.***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com

