Quo Vadis Kampus, Ini 8 Isi Pikiran Mendikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dari Kesenjangan Pendidikan Hingga Kesejahteraan Dosen

Brikolase.com – Pendidikan tinggi memegang peranan kunci dalam mencetak sumber daya manusia unggul dan menentukan arah pembangunan suatu bangsa.

Namun, di Indonesia, sektor ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari kesenjangan akses hingga ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan industri.

Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang dilantik mantan sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) dalam kabinet Prabowo-Gibran pada 21 Oktober 2024 mengungkapkan sejumlah pandangan dan rencananya selama menjabat.

Ia tak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga memberikan gagasan yang relevan untuk mendorong kemajuan pendidikan tinggi Indonesia.

Berikut ini rangkuman pemikiran Satryo yang mencakup tantangan, peluang, serta langkah-langkah strategis yang diperlukan demi mewujudkan pendidikan tinggi yang merata, berkualitas, dan berdaya saing global, dikutip dari podcast di kanal YouTube Antara TV Indonesia.

1. Masalah Kesenjangan Pendidikan Tinggi di Indonesia

Menurut Satryo, pendidikan tinggi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.

Salah satunya adalah masalah akses yang belum merata. Ia menekankan bahwa terdapat banyak anak berbakat di daerah terpencil yang tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.

“Tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah mereka yang belum diberi kesempatan,” ujarnya.

Kesenjangan ini disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit, kualitas sekolah yang rendah di daerah terpencil, dan keterbatasan infrastruktur pendidikan.

Hal ini mencerminkan ketidakadilan dalam memberikan peluang belajar kepada semua lapisan masyarakat.

2. Potensi Besar yang Belum Dimanfaatkan Secara Maksimal

Satryo optimis terhadap potensi anak-anak Indonesia. Ia menilai bahwa mereka memiliki kemampuan luar biasa, tetapi potensi ini belum dimanfaatkan sepenuhnya.

“Anak-anak kita hebat, pandai semua. Kalau ada yang belum pandai, itu karena belum diberi kesempatan,” tegasnya.

Ia juga mencatat bahwa meskipun banyak mahasiswa Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi di luar negeri dengan hasil yang sangat baik, mereka seringkali bingung saat kembali ke tanah air.

“Setelah mereka pulang, tempat untuk berkarya belum ada. Industri kita belum membutuhkan tenaga setinggi itu,” katanya.

3. Kebutuhan Industrialisasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Satryo menekankan pentingnya membangun industri dalam negeri yang kompetitif untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas nasional.

“Kita harus keluar dari middle income trap, di mana pendapatan naik tetapi tidak pada sektor yang produktif,” jelasnya.

Beliau juga mengkritisi kurangnya sinergi antara pendidikan dan kebutuhan industri.

Saat menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), ia pernah bertanya kepada kementerian terkait tentang rencana industri dan proyeksi tenaga kerja, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang jelas.

Akhirnya, ia memilih mengacu pada profil negara maju untuk menentukan arah pendidikan tinggi Indonesia.

4. Prioritas pada STEM

Dalam arah kebijakan pendidikan, Prof. Satryo mendukung penguatan bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing global.

Namun, ia menegaskan bahwa bidang ilmu sosial dan humaniora tetap penting. “STEM itu bukan hanya ilmu spesifik, tetapi lebih pada pola pikir, mindset yang ilmiah, teknologi, dan logis,” katanya.

Namun, karena keterbatasan anggaran dan prioritas pengembangan industri, pemerintah mendahulukan investasi pada bidang sains dan teknologi.

5. Evaluasi Program Kampus Merdeka

Satryo menyebut program Kampus Merdeka sebagai ide yang sangat baik karena memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk memperkaya ilmu dan pengalaman di luar jurusan utama mereka.

“Ide dasarnya bagus, memberi kesempatan belajar lebih luas. Tapi, kebebasan ini perlu diimbangi dengan arahan agar mahasiswa tidak kehilangan fokus,” ungkapnya.

Ia mengusulkan agar program tersebut bersifat fleksibel, tidak memaksakan setiap mahasiswa harus mengambil satu semester di luar kampus, terutama bagi bidang studi yang membutuhkan fokus penuh.

“Merdeka itu artinya boleh memilih, tapi tidak memilih juga boleh,” jelasnya.

Baca juga: Tak Hanya Kasih Makan Siswa, Makan Bergizi Gratis ala Sekolah Jepang Ajarkan Proses Produksi Makanan dan Pendidikan Kesehatan

6. Kesejahteraan Dosen dan Tantangan di Perguruan Tinggi Swasta

Satryo juga menyoroti pentingnya kesejahteraan dosen, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta.

Meskipun ada skema kenaikan gaji untuk dosen ASN, dosen di perguruan tinggi swasta seringkali menghadapi kesenjangan karena keterbatasan dana dari yayasan.

“Tugasnya sama, mengajar dan mendidik. Tapi kenapa gajinya berbeda?” tanya Satryo.

Ia mengusulkan skema hibah dari pemerintah untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dosen swasta, meskipun implementasinya masih bergantung pada kemampuan anggaran negara.

7. Menyeimbangkan APK dengan Kualitas Pendidikan

Mengenai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah (32,45%), Satryo berpendapat bahwa peningkatan APK harus diimbangi dengan kualitas pendidikan dan penciptaan lapangan kerja.

“APK tinggi tanpa kualitas justru menciptakan pengangguran,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya meniru pendekatan negara-negara maju seperti Korea Selatan, yang membangun pendidikan dan industri secara bersamaan.

“Di Korea (Selatan), begitu pendidikan berhasil, industrinya sudah siap menerima lulusan,” katanya.

8. Program LPDP dan Diaspora Ilmuwan Indonesia

Mengenai penerima beasiswa LPDP, Satryo menyarankan agar mereka tidak harus langsung kembali ke Indonesia jika kondisi di dalam negeri belum mendukung.

Namun, pada akhirnya, mereka tetap wajib kembali untuk berkontribusi.

“Kalau memang di sini belum ada tempatnya, tidak apa-apa mereka bekerja di luar dulu. Tapi tetap harus balik,” tegasnya.***