Alfred Birney, sastrawan Belanda, bercerita tentang bagaimana sejarah keluarga yang luar biasa menginspirasi novel terlarisnya De tolk van Java (Sang Penafsir dari Jawa)
Masa kecil yang suram adalah tambang emas bagi penulis. Bongkahan emas ini bisa dilacak kembali dalam Partisan Review edisi Juli 1949, terbitan berkala Amerika untuk politik dan sastra yang sekarang sudah tutup. Ia berangkat dari ulasan buku berjudul Dua Puluh Tujuh Cerita di mana Isaac Rosenfeld membahas manfaat dari Sembilan Belas Cerita karya Graham Greene, dan Pohon Malam dan Cerita Lainnya oleh Truman Capote. Kalimat lengkapnya berbunyi: Masa kecil yang suram adalah tambang emas bagi penulis dan hal berharga yang membuat Greene keluar darinya adalah basis kejujuran bagi ceritanya. Seperti banyak pepatah lain, ia adalah kutipan yang dibawa melampaui konteksnya.
Sebagai penulis, kamu menciptakan konteksmu sendiri, tetapi dalam melakukannya kamu melucuti peristiwa nyata dari konteksnya, memakai model bagi karaktermu, bahkan memindahkan bangunan dan mengubah aliran sungai, semuanya untuk menyajikan prosamu.
Bencana Masa Kecilku
Kembali ke awal. Masa kecilku jauh dari kebahagiaan. Ia adalah bencana. Pernikahan orang tuaku adalah bencana. Keluarga kami adalah bencana dan setelah keluarga kami berpisah ketika saya berusia 13 tahun, selama bertahun-tahun itu saya berada di panti asuhan yang juga adalah bencana. Untungnya, saya punya gitar dan radio sebagai teman bermimpi dan saya sangat optimis melaluinya, paling tidak dalam satu penggalan hidup. Di jalanan pada usia 18 tahun, saya mulai hidup menggelandang, dengan gitar menggantung di bahu. Kita beri kepulan romansa dan menyebutnya bohemian. Ke mana pun saya pergi, saya menyatakan suatu saat saya akan menulis buku. Sebuah klaim yang tak seorang pun menganggapnya serius. Saat itu adalah akhir tahun ‘60an dan awal ‘70an di mana para penulis dianggap seperti dewa.
Tak gentar, saya mulai menulis corat-coret bait aneh. Lirik lagu kemudian puisi. Lalu muncul dongeng, cerita-cerita pertama yang kamu dengar sebagai manusia. Cerita pertama yang saya dengar adalah cerita ayah tentang perang, yang belum tuntas. Saya langsung beranjak menulis cerita pendek pertama yang buruk bagi para punggawa sastra di masa itu. Lalu pada tahun 1984, saya menang lomba menulis yang diselenggarakan oleh sebuah koran nasional. Cerita itu kemudian dicetak dan dipasarkan dalam satu edisi sebanyak 75 eksemplar, sebuah koleksi yang sekarang membuat De tolk van Java (Sang Penafsir dari Jawa) menjadi novel terlaris.
Apakah saya menggali masa kecil sebagai basis kejujuran bagi cerita-cerita itu, sebagaimana kata Isaac Rosenfeld tentang Graham Greene? Tidak. Kembali ke tahun 1987, saya percaya bahwa penulis sejati seharusnya meninggalkan basis seperti itu. Novel pertama saya murni fiksi. Bukan secarik otobiografi, terpisah dari latar belakang lingkungan saya yang aneh. Ayah, ibu, perang, budaya yang bercampur, dan bentrok: tak ada satu pun yang dimasukkan. Tetapi ketika saya menulis novel kedua, topik ayah – tentu dalam bentuk fiksi – mengendap-endap masuk ke dalam satu bab. Dan tak berselang lama, saya dengan bebas memutuskan untuk menarik sejarah keluarga ke dalam novel ketiga. Sebuah terobosan sastra baik di Belanda maupun kemudian di Indonesia. Novel ini fokus pada sosok nenek yang Cina, perempuan yang tak dikenali kecuali yang terus hadir dalam cerita ayah. Sebagai tokoh utama, kehadirannya menyolok. Saya merajut jalan cerita tentang wanita misterius di Jawa yang memungkinkan saya bermain dengan segala motif yang tak cukup diketahui Belanda. Teka-teki dunia Timur, keluarga multikultur yang rusak, rasisme, sihir, dan perjalanan ke kampung halaman ayah.
Melihat ke belakang, saya sekilas tampak menjual diri: sosok ayah yang saya ciptakan terlalu menjadi korban dari masa lalu kolonialnya, perang dan rasisme yang dia hadapi di Belanda, negara impiannya. Saya harus menemukan wajah lain bagi orang gila dengan trauma perang. Saya mengubahnya menjadi guru bela diri yang mengabdi pada pendidikan sederhana untuk anak-anak. Ia tak dekat dengan kejujuran sejarah keluarga kami, tetapi sedang menuju ke sana. Pada abad berikutnya, saya kembali ke fiksi murni dengan sebuah novel yang menonjolkan orang tua sebagai aula musik penghibur – tentang sebuah angan-angan! – dan saya sebagai anak tunggal yang dibesarkan oleh nenek yang tak pernah dimiliki.
Mengitari ‘Tambang’
Karir saya berbalik tak terduga ketika saya mulai menulis kolom untuk koran lokal pada tahun 2002. Saya mencari uang dengan menulis untuk pesanan dan hanya kembali menulis sastra pada tahun 2009. Karya-karya baru berkembang menjadi novel trilogi yang sekali lagi mengitari orbit yang luas di sekitar apa yang disebut “tambang emas”. Ini adalah soal keberanian. Memasuki pergulatan, membutuhkan keberanian.
Setelah sejumlah peralihan dari novel, cerita pendek, esai, kolom, artikel dan bahkan ulasan buku, tahun 2012 saya akhirnya siap untuk menambang urat logam mulia itu. Mengesampingkan konvensi sastra, saya merangkai novel polifonik yang diisi oleh orang-orang yang tak jauh dari kenyataan. Selama bertahun-tahun, saya telah mengumpulkan banyak sekali arsip: wawancara dengan ibu dari tahun 1986, catatan perjalanan melintasi Jawa dari tahun 1988, memoar ayah, segudang kolom, cerita pendek, surel dan foto. Terlalu banyak untuk dimasukkan. Rasanya tak akan cukup menangkap kehidupan dalam sebuah novel.
Menengok kembali kehidupan sangat mirip dengan fiksi. Memilih pecahan untuk membentuk komposisi. Tujuan saya adalah untuk tidak menceritakan semua yang harus saya katakan kepada pembaca – jika cerita semua maka akan menjadi buku yang tak selesai. Saya ingin membawa pembaca bersama merasakan hentakan jantung. Hidup adalah pengalaman. Begitu juga membaca. Seorang sarjana sastra pernah berkata kepadaku: “Ketika kamu merasa sakit sebagai penulis, pembacamu seharusnya merasakan sakit juga.” Bagi De tolk van Java, saya mengarungi ke dalam ingatan. Itu adalah perjalanan berat. Hanya di buku kelima dan bagian terakhir, saya kembali ke masa kini dan bersama pembaca pergi mencari pembebasan.
_____
Tulisan ini terbit sebelumnya di Book Brunch, 3 September, 2020.
Penulis: Alfred Birney
Penerjemah: Yongky
Penyunting: Adek Dedees
Gambar teratas: Foto Alfred Birney oleh Frédérique Vlamings dari De Tegel