Kapitalisme Buah: Bagaimana Hasrat Keuntungan Mengikis Nutrisi dalam Makanan

Brikolase.com – Buah sering kali dianggap sebagai makanan sehat yang kaya akan vitamin, mineral, dan serat.

Namun, perubahan dalam cara buah dikembangkan dan diproduksi telah mengubah sifat alaminya.

Dalam beberapa dekade terakhir, seleksi genetik dan rekayasa pertanian telah menghasilkan buah dengan kandungan gula lebih tinggi untuk memenuhi selera pasar.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah buah yang kita konsumsi saat ini masih sama sehatnya dengan buah di masa lalu?

Felix Zulhendri, seorang ilmuwan biomedis yang bekerja di bidang nutrisi dan makanan, menyoroti bagaimana kapitalisme berperan dalam mengubah sifat buah.

Baca juga: Bangkitnya Ekonomi Imut China: Produk Kreatif dengan Karakter Lucu dan Menggemaskan dengan Nilai Triliunan Yuan.

Saat meneliti buah di New Zealand Plant & Food Research, ia menemukan bahwa banyak varietas buah, terutama apel dan kiwi, dikembangkan untuk memiliki kadar gula yang lebih tinggi.

“Jadi semua cultivar yang sudah dikembangin akan dites ke panelis dicek apakah brix-nya itu cukup.

Salah satu parameter yang dicari adalah brix, yaitu sugar content. Makin tinggi sugar content, mereka itu makin oke,” ungkap Felix, dikutip dari kanal YouTube Tirta PengPengPeng.

Dari pernyataan ini, terlihat jelas bahwa salah satu faktor utama dalam seleksi buah modern adalah kemanisan.

Ini berbeda dengan buah liar atau varietas lama yang cenderung lebih kecil, kaya serat, dan memiliki rasa yang lebih asam atau sepat.

Felix juga menyoroti bagaimana buah-buah modern dapat berkontribusi terhadap lonjakan gula darah yang lebih tinggi.

“Kalau orang dulu bilang makan buah itu bagus, ya mungkin dulu karena kandungan gulanya itu dikit.

Kalau sekarang, kandungan gulanya itu tinggi. Jadi gua selalu rekomendasi kalau buah itu dimakan sebagai dessert (makanan penutup). Jangan sebagai snack karena itu sugar spike (lonjakan gula) banget,” katanya.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun buah tetap mengandung nutrisi bermanfaat, peningkatan kadar gulanya dapat menyebabkan lonjakan gula darah yang berbahaya, terutama bagi penderita diabetes.

Kapitalisme dan Perubahan dalam Produksi Buah

Perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Kapitalisme memainkan peran besar dalam bagaimana buah dikembangkan dan dijual.

Seperti yang dijelaskan dalam buku A Foodie’s Guide to Capitalism karya Eric Holt-Giménez, sistem pangan modern dirancang untuk menghasilkan keuntungan, bukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Marion Nestle, seorang pakar kebijakan pangan, menyoroti bagaimana kapitalisme telah mengubah makanan menjadi komoditas.

“Bagaimana sesuatu yang begitu mendasar bagi keberadaan kita seperti makanan bisa berubah menjadi alat untuk mencari keuntungan?” tulis Nestle dalam Food First Backgrounder Volume 23 Number 3 tahun 2017.

Dalam kapitalisme, produsen buah didorong untuk menciptakan varietas yang lebih besar, lebih manis, lebih tahan lama, dan lebih menguntungkan di pasar.

Hal ini membuat harga buah segar terus meningkat, sementara makanan olahan dengan kadar gula tinggi justru lebih murah dan lebih mudah diakses.

Eric Holt-Giménez juga mengkritik bagaimana sistem ini bekerja.

“Tidak peduli apakah makanan itu organik atau fast food, teff dari Ethiopia atau Cheez-Whiz dari Walmart.

Jika cukup banyak orang menginginkannya dan punya uang untuk membelinya, seseorang akan mengubahnya menjadi komoditas dan menjualnya.”

Dengan kata lain, permintaan pasar lebih menentukan bagaimana buah dikembangkan dibandingkan manfaat kesehatannya.

Dampak Terhadap Kesehatan

Kenaikan kadar gula dalam buah telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan.

Sebuah studi pada tahun 1982 berjudul Increase in Blood Glucose in Insulin-Dependent Diabetics after Intake of Various Fruits Stein Vaaler, Rune Wiseth dan Oystein Aagenaes menunjukkan bahwa konsumsi buah dengan kadar gula tinggi dapat menyebabkan lonjakan gula darah yang serupa dengan minuman manis.

“Kalau kita konsumsi buah dengan high sugar, kita bisa lihat gula darah naiknya sama kayak minum minuman manis, dan belum balik normal setelah tiga jam,” ungkap Felix mengutip studi tersebut, dikutip dari akun TikTok pribadinya, @felix.zulhendri.

Peningkatan konsumsi buah yang lebih manis juga dikaitkan dengan epidemi obesitas dan penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan kolesterol tinggi.

Bahkan, di Kebun Binatang Melbourne, pemberian buah kepada hewan tertentu dihentikan karena kandungan gulanya yang terlalu tinggi menyebabkan obesitas dan kerusakan gigi pada hewan seperti monyet dan panda merah.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun buah alami tetap lebih sehat dibandingkan makanan olahan, perubahan dalam cara buah dikembangkan bisa berdampak buruk bagi kesehatan jika tidak dikonsumsi dengan bijak.

Felix sendiri mengaku tetap mengonsumsi buah, tetapi dengan pemilihan yang lebih selektif.

“Gue suka banget mangga, tapi gue pilih yang lokal, yang kecil dan nggak terlalu manis.

Terus, gua juga suka buah naga merah dan jeruk Bali karena mereka punya keseimbangan antara rasa manis dan asam, serta kaya serat,” katanya.

Dari pernyataan ini, jelas bahwa tidak semua buah memiliki risiko yang sama.

Buah dengan kadar serat tinggi dan rasa yang lebih seimbang cenderung lebih sehat dibandingkan buah yang terlalu manis.

Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh kapitalisme, penting bagi kita untuk lebih sadar dalam memilih makanan.

Tidak semua buah diciptakan dan dikembangkan dengan cara sama, serta memahami bagaimana sistem produksi memengaruhi kandungan nutrisinya dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih baik untuk kesehatan kita.***