Brikolase.com – Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan budaya individualis yang kuat. Menurut situs web clearlycultural.com, Amerika menempati posisi teratas sebagai negara yang paling individualis di dunia, disusul oleh Australia, Inggris, dan Belanda.
Budaya individualis ini menekankan kepentingan individu di atas kepentingan kelompok, berbeda dengan budaya kolektif yang lebih mengutamakan kesejahteraan kelompok.
Puri Viera, seorang diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat, membagikan pandangannya tentang penerapan budaya individualis dalam kehidupan sehari-hari di sana.
“Budaya individualis ini dibentuk oleh sifat individualisme, di mana kepentingan individu itu lebih diutamakan daripada kepentingan kelompok. Salah satu ciri yang paling signifikan dari budaya individualistik adalah kemandirian. Jika seseorang itu individualis otomatis dia tidak akan mengandalkan orang lain, mereka akan mandiri,” ujarnya, dikutip dari kanal YouTube Puri Viera.
Baca juga: Kenapa Film Horor Indonesia Laris di Pasaran, Joko Anwar Spill Rahasianya
Di Amerika, individu diharapkan untuk mandiri, terutama setelah mereka berusia 18 tahun. Hal ini tercermin dari kebiasaan banyak orang yang meninggalkan rumah orang tua untuk hidup sendiri. Meskipun tidak semua anak muda dapat langsung mandiri, dorongan untuk menjadi mandiri tetap kuat.
Budaya individualis juga mempengaruhi cara kerja orang Amerika yang dikenal sebagai pekerja keras. “Orang Amerika ini pekerja keras. Ini adalah hasil dari budaya individualis itu. Karena mereka pengen bisa sukses supaya tidak bergantung sama orang lain, mereka kerja keras,” ujar Puri.
Sifat individualis juga tercermin dari fenomena banyaknya orang tua yang masih menyetir mobil sendiri, serta beraktivitas seperti laiknya orang pada umumnya. Ada pula yang memilih untuk tinggal di panti jompo atau menjalani kehidupan mandiri kala mereka sudah lanjut usia. “Di Amerika, orang yang sudah tua memilih untuk tinggal di panti jompo. Itu adalah pilihan mereka, bukan karena mereka dibuang sama anaknya,” kata Puri.
Selain itu, budaya individualis mendorong orang Amerika untuk menonjolkan keunikan diri dan daya kompetitif. Mereka cenderung fokus pada pencapaian pribadi dan hak-hak individu yang mencakup kebebasan dalam berpenampilan dan berperilaku sesuai keinginan mereka selama tidak melanggar hukum atau merugikan orang lain.
“Orang tua Amerika mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa mereka bisa melakukan apa saja asalkan tahu konsekuensinya dan bertanggung jawab atas konsekuensi itu,” ungkap Puri.
Namun, meskipun budaya individualis mungkin terdengar egois, penelitian menunjukkan bahwa orang dari latar belakang budaya individualis juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan. “Penelitian yang dipublikasikan di New York Times menunjukkan bahwa orang-orang dari negara dengan budaya individualis sering terlibat dalam kegiatan dermawan, seperti donasi uang dan donor darah,” kata Puri. Hal ini untuk kepuasan pribadi yang bisa meningkat dengan tindakan altruistik atau menolong orang lain. Orang-orang ini menjadi dermawan untuk kebahagiaan dirinya.
Budaya individualis juga memberikan pandangan yang lebih universal terhadap kesejahteraan, karena fokusnya pada hak dan kesejahteraan individu, bukan pada kelompok tertentu. Meski terkesan egois, banyak negara dengan budaya individualis, seperti negara-negara di Eropa, tetap menawarkan dukungan sosial yang signifikan, seperti biaya kesehatan dan pendidikan gratis.
Meskipun budaya individualis Amerika mungkin tampak mementingkan diri sendiri, banyak individu yang dibesarkan dalam budaya ini juga menunjukkan kepedulian terhadap orang lain dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, begitu juga sebaliknya. “Meskipun aku dibesarkan dengan budaya kolektif di Indonesia, aku mengenali bahwa aku juga memiliki sifat-sifat individualis dalam diriku,” ungkap Puri.***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com