Brikolase.com – Joko Anwar, seorang sutradara ternama yang dikenal melalui film-film horornya seperti Siksa Kubur, Pengabdi Setan 1, dan Pengabdi Setan 2, membagikan pandangannya tentang anggapan film horor yang laris.
Joko Anwar mengungkapkan bahwa kesuksesan film horor tidak hanya tergantung pada genre itu sendiri, tetapi juga pada faktor-faktor yang lebih kompleks.
Banyak orang beranggapan bahwa film horor adalah genre yang paling laku di Indonesia, sehingga banyak yang tertarik untuk memasuki industri film melalui genre ini. Namun kesuksesan sebuah film tidak bisa ditentukan hanya dari genrenya.
“Sebenarnya orang lupa bahwa yang membuat satu film itu bisa laku sebenarnya parameternya itu ada banyak sekali dan enggak bisa di-pinpoint kalau bikin film horor pasti laku karena banyak juga film horor yang enggak laku atau film apapun ya.
Banyak orang bilang oh film komedi sekarang laku, mereka bikin film komedi. Sebenarnya agak susah untuk di-pinpoint formula film apa yang membuat sebuah film bisa laku,” ungkap Joko Anwar, dikutip dari kanal YouTube Helmy Yahya Bicara.
Baca juga: Ratih Kumala: Gadis Kretek Lebih Bagus Filmnya, Novel bak Disobek-sobek Lalu Ditata Ulang
Joko Anwar menyatakan bahwa kesuksesan sebuah film tergantung pada berbagai faktor, seperti tren saat itu, kepentingan masyarakat, dan waktu rilis. Ada pula faktor penting yakni relatability atau kemampuan film untuk terhubung dengan pengalaman dan latar belakang audiens.
“Yang bisa membuat film itu ditonton orang dan bisa masuk ke psyche orang itu ada relatability. Orang harus relate sama cerita, harus relate sama karakternya gitu jadi harus diramu banget.
Jadi ketika orang bilang film horor akan dibikin dan pasti laku sebenarnya mereka lupa bahwa itu bukan tentang horornya, bukan tentang genrenya tapi tentang relatability-nya,” ungkap Joko Anwar.
Menurutnya, film horor yang sukses di Indonesia sering kali mencerminkan kepercayaan dan mitologi lokal, yang membuat cerita lebih relevan dan mudah diterima oleh penonton.
“Indonesia itu, kita ada ratusan ethnic group dan setiap ethnic group itu punya masing-masing set of folklore, mythology ya kan, setan juga,” kata Joko Anwar.
Budaya dan folklore Indonesia juga sangat kaya dibandingkan dengan negara lain. Joko Anwar mengaku pernah mewawancarai sutradara film Train to Bussan yang mengakui bahwa Indonesia beruntung memiliki banyak sumber cerita horor, termasuk segala macam jenis setan.
“Kenapa orang Indonesia relate dan kepengen nonton film horor karena setiap hari mereka percaya dengan itu, ya kan. Orang bisa bilang gua bisa melihat jin nih, banyak orang bilang kayak gitu. Gua bisa melihat, gua punya mata ketiga gitu. Dia bisa bilang di balik pintu ada sesuatu. Kalau di luar negeri, di negara maju mungkin dianggap gila, kalau kita kan dianggap biasa aja.
Nah film horor kan berbicara soal folklore, mitologi itu yang membuat penonton di Indonesia sangat gampang memakan film horor. Jadi bukan film horornya tapi relatability-nya,” ujar Joko Anwar.
Faktor keterhubungan ini sebenarnya juga bisa diterapkan pada genre film lain seperti komedi atau fiksi ilmiah (science fiction) seperti yang dilakukan Joko Anwar dalam film Nightmares and Daydreams yang tayang di Netflix. Di genre apa pun, penonton juga akan merasa terhubung jika elemen-elemen film tersebut relevan dengan pengalaman mereka. Ini menunjukkan bahwa prinsip relatability dapat diterapkan secara luas, bukan hanya dalam genre horor agar film bisa laris di pasaran.***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com