Fakta dan Fiksi Bisa Nyambung? Faruk Tripoli: Kalau Pram Tak Curi Koran, Tak Ada Novel Bumi Manusia

Faruk Tripoli, Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada (Facebook/Faruk Tripoli)

Brikolase.com – Sastra tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuk cara kita memahami sejarah.

Sastra juga tidak sekadar membicarakan kenyataan, melainkan juga menciptakan realitas alternatif yang memungkinkan pembaca meresapi peristiwa masa lalu dengan sudut pandang yang lebih reflektif.

Salah satu poin utamanya adalah konsep fiksionalisasi sejarah, di mana sejarah yang dituturkan dalam karya sastra sering kali terjalin dengan narasi fiktif yang memperkaya pemahaman terhadap masa lalu.

Novel-novel besar sering kali merangkum peristiwa sejarah dalam bentuk yang tidak linier, menciptakan ruang interpretasi yang luas bagi pembaca.

“Sejarah dituturkan dengan cara literer sampai dia bingung iki bener opo ora (benar ataut tidak)?” kata Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Faruk Tripoli, dalam acara Pidato Kesusastraan, Sastra, Sejarah, dan Realitas Sosial, yang digelar Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI), 23 Desember 2024, di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Baca juga: Nobel Sastra 2024, Transkrip Ceramah Sastra Han Kang, Cahaya dan Benang

Novel juga berperan dalam merepresentasikan manusia biasa, bukan hanya tokoh-tokoh besar dalam sejarah.

Dalam hal ini, novel memiliki kekuatan untuk menampilkan “ordinary man,” yaitu manusia sehari-hari yang sering kali terpinggirkan dalam narasi sejarah formal.

“Novel mengambil yang di tengah itu, yang disebut sebagai ordinary man, manusia yang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari,” kata Faruk.

Sebagai ilustrasi, Faruk mengangkat karya Pramoedya Ananta Toer (Pram) sebagai contoh bagaimana sastra dapat menghidupkan sejarah dan membentuk kesadaran kolektif masyarakat.

Ada anekdot menarik mengenai proses kreatif Pram dalam menulis novel Bumi Manusia yang mengungkap hubungan fakta dan fiksi.

“Kalau Pramudya enggak nyolong (mencuri koran), tidak ada Bumi Manusia,” ujar Faruk yang menekankan bahwa Pram mengambil banyak fakta sejarah dalam menyusun novel-novelnya.

Novel dalam hal ini berupaya untuk menghidupkan kembali suasana sejarah dengan emosi dan fakta-fakta mental para tokoh-tokohnya.

Banyak novel lain yang juga ikut andil dalam membentuk narasi sejarah melalui sudut pandang yang jarang tersentuh oleh buku teks formal.

Novel seperti “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori dan “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, menurut Faruk, mampu membawa pembaca ke dalam realitas sejarah yang penuh nuansa emosi dan dilema manusia.

Sastra, menurutnya, memiliki peran sebagai pengingat sejarah yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan kompleks.

Faruk menekankan perlunya kolaborasi antara akademisi sastra dan sejarawan untuk menghasilkan karya yang bisa digunakan sebagai referensi di sekolah dan universitas.

“Kita perlu membuka ruang lebih luas bagi sastra dalam kurikulum sejarah, karena di situlah kita bisa mendekatkan generasi muda pada realitas masa lalu dengan cara yang lebih personal dan empatik,” ujarnya.

Tak hanya novel, sastra tradisional seperti hikayat juga punya peran terhadap perkembangan sastra dan sejarah Indonesia.

Faruk mengungkap bahwa pada abad ke-19 di Indonesia, novel masih jarang ditemukan dan literasi modern belum tersebar luas.

Sebagian besar masyarakat, termasuk komunitas Tionghoa peranakan, masih membaca dan menyalin hikayat-hikayat.

Penyalinan naskah ini bukan hanya sebagai bentuk pelestarian budaya, tetapi juga untuk distribusi di kalangan taman bacaan.

Proses penyalinan ini mencerminkan dinamika masyarakat yang berusaha menjaga warisan tradisional di tengah ketidakseragaman perkembangan budaya.

“Ada orang yang ngopeni (melestarikan) tetap hidup di dalam lingkungan lama dan sebagainya. Dunia itu enggak pernah homogen (seragam),” jelas Faruk.

Faruk merujuk pada teori Gramsci mengenai hegemoni dan kelompok endapan, di mana dalam setiap fase sejarah selalu ada kekuatan lama yang bertahan meski tren baru mulai mendominasi.

“Dalam satu momen, ada kelompok yang dominan, tetapi yang lama tidak musnah. Itu selalu ada. Kalau tidak, dinamika kehidupan tidak bekerja,” ujar Faruk.

Konsep ini, menurutnya, juga berlaku dalam perkembangan sastra Indonesia, di mana narasi tradisional seperti hikayat tetap bertahan berdampingan dengan munculnya roman dan novel modern.***