Seraphim 2: Persemayaman di Tengah Badai (Bagian 1)

Seraphim 2: Persemayaman di Tengah Badai

Pengarang: Yongky Gigih Prasisko

“Haruskah wajah yang pucat dengan rasa takut berkali-kali lipat membuat laut jadi tempat persemayaman terakhir kita? Adonai akan menyelamatkan jiwa-jiwa yang selalu memohon di ujung ajal. Angin telah berubah, tidak ada ketenangan dalam badai. Ini adalah kutukan. Angin barat tengah bertiup, di sini tak ada pertolongan. Angin timur tak akan segera datang, ia ibarat kepakan sayap seraphim yang akan menyapu badai. Di mana engkau? Hei Efraim?” sang pelaut berdoa.

Cuaca kotor masih melanda, saat sang pelaut berada di tengah angin dan air yang siap melahapnya. Mereka kini lebih jahat dari iblis. Pada akhirnya tak ada lagi akal sehat yang tersisa dalam diri. Sang pelaut menjadi gila, mengoceh tentang sirine yang akan datang, tentang cahaya di ufuk timur. Ada pesona dalam cahaya, tentang cerita panjang akan kedatangan makhluk bersayap. Keselamatan, dia menjanjikan.

“Oh biarlah trisula laut menembus jantung ini, cepat atau lambat, di tengah jiwa yang penuh permohonan. Aku akan bangkit dari palung terdalam, dengan segenap kemarahan bersama gelombang hitam penuh dengan mulut berbusa.

Kita hadapi ajal ini bersama, hei Eliyah. Kau sudah terbaring tak berdaya di sekoci retak ini. Ombak akan segera menggulung kita. Kubekap mulutmu dengan tangan ini dan mencekik leher hingga jantung berhenti berdetak, napas berhenti berhembus dan organ tubuhmu mulai berontak.

Kau akan berbalik membelakangi langit, menjadi biru dan kembung dengan air laut yang mengisi badanmu, sampai kau tak bisa lagi berteriak. Kau akan bersemayam bersama dengan cangkang kerang, ekor tentakel yang berenang dan gelembung air.

Baca juga: Seraphim: Terhempas di Tempat Paling Nista

Mereka akan menyambut kejatuhanmu, sang jiwa perempuan di tengah prahara yang tenggelam ke dasar laut. Jasadmu akan diantar oleh nyanyian peri laut yang mengabarkan kematian dari sebuah keluarga. Ia akan memekik, menjerit dan meratap demi menyampaikan pesan ajal pada seseorang sampai menembus kerongkongan.

Jiwa para pelaut yang mati, ia telah dipatuk, dicakar dan dimakan hingga ditelan oleh perairan yang tak terbatas. Ia akan dilupakan oleh siapa pun, kapan pun, sampai iblis mana pun hingga akhirnya dirinya menjadi laut,” guman sang pelaut muda.

Seketika itulah arus laut mulai diterjang oleh makhluk penghuninya, mendekati orang-orang di sekoci yang putus asa. Tetiba muncul sosok makhluk berambut panjang nan ayu. Sang pelaut muda yang kelelahan mengira dirinya telah mati dan bertemu dengan makhluk surga.

“Hatiku sedang tertusuk panah asmara, emas permata yang berkilauan tak akan menghiburku. Tak ada yang lebih indah kecuali bertemu dengan sang pelaut yang riang dan berani. Apakah kau pelaut yang kucari selama ini?” tanya Shiren, si putri duyung.

Sang pelaut muda pun terhenyak tak bisa berkata-kata, ia hanya terdiam dan menatap wajah perempuan laut itu.
“Siapakah namamu sang pelautku?” Shiren kembali bertanya.
“Ggg aa zz all, Gazal,” jawab sang pelaut.
“Kau akan menenggelamkan kami, kau akan merusak sekoci ini, kau akan membawa kami ke dasar laut, mengantar kami ke persamayaman terakhir,” ucap Gazal ketakutan.
“Kau tak seperti pelaut lain, aku mendengar semua gumamanmu, aku tahu segala permohonanmu, kau adalah orang yang taat pada Adonai. Mari kuantar kau ke tepi pantai. Perempuan yang bersamamu harus segera mendapat pertolongan,” jawab Shiren.

Gazal menatap Eliyah yang terbaring lemas.
“Tidak, kau bukan Efraim. Hanya cahaya Seraphim Efraim yang akan menyelamatkan kami. Kau bukan penyelamat kami,” kata Gazal.

Petir langsung menyambar, hujan semakin deras dan ombak laut bertambah besar. Dua jiwa ini semakin ketakutan.
“Tak usah khawatir, kami semua adalah pemuja Adonai, seperti halnya kau dan Seraphim Efraim,” ujar Shiren.

Gazal melihat bahwa wanita ini ternyata tak sendirian. Di belakangnya ada banyak makhluk serupa yang turut mendekat.
“Anggap Adonai mengirim kami untuk menyelamatkan jiwa yang terombang-ambing di lautan. Tangan pertolongan-Nya telah datang melalui kami,” kata Shiren.

Novel Seraphim Jilid 1 Seva Esteria
Novel Seraphim Jilid 1 Seva Esteria.Dok. Amal Taufik.

Seketika itu juga, kawanan putri duyung membawa sekoci retak bersama dua manusia putus asa ini ke tepi pantai. Namun Gazal punya perasaan tidak enak. Kali ini, firasatnya bukan karena ia akan menemui ajalnya, atau makhluk ini akan menenggelamkannya ke dasar laut. Ia percaya bahwa makhluk wanita laut ini akan mengantarkannya sampai ke bibir pantai. Namun dia tidak tahu apa yang menunggunya di pinggir pantai?

Shiren dan kawanannya tampak sebagai mahkluk yang baik, meskipun banyak tersiar kabar bahwa para putri duyung sering menyerang kapal pelaut. Mereka bisa merusak kapal di tengah laut dan menenggelamkan semua orang di dalamnya. Gazal tampaknya mulai tidak mempercayai kabar itu. Dia merasa para putri duyung ini akan menyelamatkannya, bukan menenggelamkannya. Tapi, dari mana perasaan dan firasat yang buruk ini datang? Baik Gazal maupun Shiren dan kawanannya tidak ada yang tahu, sampai kemudian mereka mendekat ke bibir pantai.

Firasat jiwa yang taat pada Adonai tak pernah salah. Di tepi pantai itu, hanya tampak ada mercusuar dengan cahaya dan suara peluit kabut. Sekoci yang ditumpangi Gazal dan Eliyah tengah mengarah ke cahaya itu. Artinya, para putri duyung itu memang telah menyelamatkan mereka.

Kabar ini tampak terlihat baik bagi Gazal dan Eliyah yang bisa selamat dari badai dan ombak di tengah laut, namun tidak bagi Shiren dan kawanannya. Perairan dekat bibir pantai itu telah menjadi perangkap baginya.

Seketika ada 2 kapal di balik kegelapan yang tetiba menyalakan lampunya. Para orang-orang di kapal telah menyiapkan jaring besar yang mengait dengan dua kapal. Seketika mereka membentangkan jaring itu dan membuat para kawanan putri duyung terjerat. Sekoci Gazal dan Eliyah pun terbalik. Mereka ikut terjerat jaring kapal yang telah menggulungnya.
“Ada apa ini?” Gazal kebingungan sembari berenang di tengah jeratan jaring.
“Kau bukan pelayan Adonai, kau adalah makhluk hina!” teriak Shiren beserta dengan kawanannya yang memekik terjerat jaring.

Gazal semakin bingung, tapi perlahan ia tahu bahwa ada orang-orang yang tengah memerangkap Shiren dan kawanannya.
“Kau sama dengan manusia lainnya, munafik! Kau bukan orang yang berbeda. Tak semestinya kami mempercayai manusia, tak seharunya kami menyelamatkan makhluk munafik ini!” teriak Shiren.

Seketika itu juga Shiren mulai menangis dan meratapi nasib kawan-kawannya yang ikut terperangkap akibat mengikutinya. Pekikan suara para kawanan putri duyung semakin mengencangkan jaring yang dibentangkan. Shiren merasa bersalah. Tampaknya, para manusia-manusia ini tengah membalas dendam pada kaumnya. Namun ia tidak menyangka bahwa Gazal dan Eliyah adalah umpan yang telah disiapkan untuk menangkapnya.
“Aku bukan bagian dari rencana ini. Aku tidak tahu tipu muslihat mereka, aku tidak tahu siapa mereka?” kata Gazal.

Sejurus kemudian, Shiren langsung mendekat dan mencekik leher Gazal, hendak membunuhnya. Sementara tangan Gazal masih memegang erat tangan Eliyah. Namun lama-kelamaan, cekikan Shiren membuatnya semakin lemas dan mengendurkan cengkeramannya pada tangan Eliyah.

“Kau menjebak kami. Matilah kau. Atas nama Adonai, kutukan akan menyertaimu dan wanita itu atas pembantaian ini. Kami tak akan pernah lupa tindakan bengis manusia dari peristiwa ini. Kau dengar suara pekikan mereka. Tangan mereka berdarah, kepalanya tersangkut jaring, siripnya tertancap besi. Mereka yang berhasil lolos dari jaring ini akan mengingat pemusnahan ini, dan akan membalas berkali-kali lipat lebih besar dari ini. Sekarang saatnya kau menemui ajalmu,” kata Shiren dengan muka penuh amarah sembari terus mengencangkan cekikannya.

Gazal kemudian melepaskan tangan Eliyah karena tubuhnya semakin lemas dicekik. Seketika dari tangan Eliyah keluar gelembung-gelembung di dalam air. Gelembung itulah yang akhirnya memisahkan tangan Shiren dari leher Gazal. Eliyah perlahan mulai sadar dan melihat kekasihnya tengah terancam. Perlahan gelembung itu menjauhkan Gazal dan Eliyah dari Shiren dan kawanannya. Eliyah dan Gazal juga tak akan pernah lupa wajah Shiren yang penuh kebencian dan sakit hati lantaran merasa dijebak. Gazal merasa bersalah, meski ini bukan kesalahannya. Namun suatu saat ia berjanji akan menebus rasa bersalah ini. Ia merasa punya utang budi pada Shiren dan kawanannya.

Kilas masa lalu itu tak akan pernah bisa dilupakan Eliyah. “Karena itulah aku menerima bayi Seva,” ungkap Mbah Putri pada kucing kesayangannya, Ukla.

Bersambung