Brikolase.com – Saya mendapatkan buku Natatologi Klasik ini dengan tidak terduga. Pertemuan di Resto University Club (UC) UGM, 26 Agustus 2025, dengan penulisnya sendiri, Pak Faruk bukan dalam agenda membeli buku.
Kala itu, saya bermaksud meminta rekomendasi dari Pak Faruk, sebagai dosen saya waktu belajar di Kajian Budaya dan Media UGM, untuk mendaftar menjadi dosen.
Ternyata kala menyinggung buku terbarunya yang terbit Agustus 2025 ini, beliau sedang membawanya dan saya tentu tak berpikir panjang untuk membelinya.
Memang selama saya mengenal Pak Faruk, beliau beberapa kali cukup impulsif dan sulit ditebak ketika berkomunikasi.
Beliau memiliki karakter sebagai manusia biasa saja terutama dalam bersosialisasi, meski beliau bergelar guru besar sastra, yang notabene jenjang karier akademik tertinggi.
Suatu kali pada Februari 2019, saya berniat wawancara beliau untuk menulis isu soal kanon sastra. Beliau menjawab, “Kalau mau (wawancara) sekarang, susul aku di JCO JCM (Jogja City Mall).”
Jawaban yang tak terduga dan tentu membuat saya gelagapan. Karena belum ada persiapan apa pun, maka kami akhirnya janjian bertemu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM di lain hari.
Itu salah satu pengalaman saya kala berkomunikasi dengan Pak Faruk. Saya punya kesan yang sama yang saya sampaikan kepada teman-teman ketika ngobrol santai tentang sosok Pak Faruk.
Bagi saya, di antara semua dosen yang saya tahu, kenal dan pernah mengajar saya, secara keilmuan Pak Faruk adalah orang yang memiliki kemampuan abstraksi paling baik.
Beliau bisa mengabstraksikan berbagai contoh fenomena empiris, kasus, atau peristiwa dengan rumusan yang logis dan koheren.
Kali ini Pak Faruk tetap konsisten. Seperti karakter buku-buku beliau sebelumnya, beliau menulis tentang abstraksi karya sastra, sebuah teori tentang naratologi yang dirunut dari tokoh klasik.
Posisi Buku Naratologi Klasik dalam Akademi Sastra
Pertama kali membaca beberapa lembar buku terbitan Jualan Buku Sastra (JBS) ini, ingatan saya langsung tertuju pada pelajaran semester tiga dulu kala belajar di Program Studi Sastra Inggris.
Kala itu, ada mata kuliah History of English Literature yang turut membahas struktur karya sastra. Seingat saya, waktu itu materinya meliputi theme, tittle, setting, charakter, characterization, plot, perspective dan moral of the story.
Barangkali materi itu bisa menggambarkan secara umum atau memberi pengantar tentang struktur karya sastra terutama novel namun belum menyentuh pada teori dan analisisnya.
Namun sayangnya, model struktur itu juga dipakai untuk analisis karya sastra dalam penulisan skripsi kala itu, padahal ia menurut saya masih belum cukup membedah, menganalisis hingga mengungkap makna secara objektif dari sebuah teks naratif.
Beberapa literatur teori sastra berbahasa Inggris, yang jadi rujukan saya belajar kala itu, juga belum cukup mendalaminya.
Maka model struktur karya sastra itu sering dipakai, bukan karena alasan ilmiah, tetapi lebih kepada mengikuti tradisi dari skripsi-skripsi terdahulu.
Maka ketika saya berjumpa dengan buku Naratologi ini, di sinilah letak pentingnya karya ini. Buku ini bisa mengisi minimnya perhatian pada literatur khususnya analisis struktur karya sastra secara objektif dan mendalam.
Ketika penelitian ilmu sosial humaniora sering dianggap tidak saintifik atau ilmiah, buku karya Pak Faruk dan Mbak Ramayda Akmal ini bisa membuktikan bahwa analisis teks sastra bisa dilakukan secara ilmiah dan objektif yang turut meneguhkan posisi sastra sebagai disiplin ilmu.
Naratologi Klasik: Teori dan Aplikasi setebal 349 halaman ini merupakan karya yang merunutkan dan mengurai secara gamblang teori naratif atau naratologi.
Ia menjabarkan bagaimana logika naratif dari karya sastra dikonstruksi mulai dari elemen-elemen penyusun cerita (internal) hingga intertekstualitasnya (eksternal).
Proto Naratatologis
Buku ini merunut dari pemikiran tokoh Yunani, Socrates, Plato dan Aristoteles yang mengawali sebagai proto naratologis. Dalam karya Republic Book III, Plato memakai Socrates untuk menyebut konsep mimetic dan diegetic.
Ia membedakan sebuah cerita dengan karakter yang bicara atas diri sendiri (mimetic) atau narator yang menyampaikan cerita lewat suaranya (diegetic). Bagi Plato, diegetic lebih diistimewakan karena lebih murni daripada mimesis yang meniru dan menyamar jadi karakter lain.
Plato juga mengembangkan naratologi dengan beberapa konsep seperti logos (isi, wacana dan argumen) dan lexis (diksi, gaya dan ekspresi).
Cuplikan konsep ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari gagasan besar Plato tentang dunia ide yang menjadi dasar dari turunan-turunan pemikiranya.
Baginya, ide merepresentasikan kebenaran yang paripurna sedangkan berbagai hal konkret yang dialami dengan pancaindera diibaratkan sebagai bayangannya saja.
Menurut saya, analisis karya sastra atau seni dengan konsep Plato ini memiliki dimensi etis yang arahnya untuk menggapai dunia ide.
Orientasi ini juga semestinya diserap oleh peneliti atau mereka yang menganalisis karya sastra agar analisisnya tidak hanya kerja teknis dan mekanis tetapi memiliki semangat dan visi yang dituju.
Murid Plato, Aristototels lalu mengembangkan sekaligus melengkapi konsep dari gurunya. Bagi sang murid, dunia ide tidak terlepas dari pengalaman inderawi. Hal-hal konkret itu penting sebagai bahan abstraksi intelektual untuk mendapatkan kebenaran.
Misalnya dalam mimesis, Aristoteles memandangnya lebih positif, daripada sekadar peniruan. Ia merepresentasikan tingkah laku manusia tentang baik dan buruk yang memengaruhi pengalaman pembaca seperti suka, duka, bahagia, luka atau simpati dengan tokoh cerita.
Semangat etis Aristoteles ini berupaya disalurkan dengan konsep-konsep naratologi mythos (alur), ethos (karakter), dianoia (gagasan), lexis (diksi), melos (melodi), dan spektakel (opsis).
Bagi Aristoteles sebuah karya seni maupun sastra yang baik harus bisa memberikan katarsis (penyucian diri) bagi audiens, bukan sekadar kesenangan.
Formalisme Rusia
Ingatan pertama saya ketika membaca formalisme Rusia dalam buku ini langsung tertuju ke sekelompok orang atau intelektual yang berusaha lari dari tanggung jawab sosial.
Kala itu, Rusia lagi gencar revolusi yang mengusung ideologi Marxisme-Leninisme. Kekuasaan berupaya mengajak semua elemen masyarakat, termasuk sastrawan dan seniman untuk mentransformasi realitas sosial.
Namun para tokoh-tokoh formalisme Rusia ini menyimpang. Sontak para formalis ini menjadi orang-orang yang diburu para pendukung Stalin.
Mereka, para formalis Rusia ini, menyakini adanya otonomi seni yang berupaya lepas dari ideologi dominan kala itu. Tokohnya seperti Victor Shklovsky menganggap naratif punya sistem, hukum atau logika sendiri seperti relasi fabula (story) atau syujet (plot).
Keduanya dijelaskan lebih gamblang oleh Boris Tomashevsky, yakni fabula berarti totalitas hubungan peristiwa satu dengan yang lain sedangkan syuzhet bermakna cara menyusun peristiwa secara artistik.
Konsep fabula lalu kembali dikembangkan oleh Vladimir Propp dengan elemen-elemen seperti fungsi (tindakan) dan motif (fitur atau atribut seperti nama-nama tokoh).
Dalam analisisnya pada dongeng, Propp memberikan 31 fungsi. Beberapa yang utama seperti absentation (ketiadaan), trickery (tipu daya), villainy (kejahatan), departure (keberangkatan), dan return (kepulangan dan punishment (hukuman).
Di sepanjang fungsi cerita, para tokoh muncul seperti di awal ada tokoh (villain) penjahat, lalu ada (princess) putri, dispatcher (pengirim), hero (pahlawan), donor (pemberi), helper (penolong) kemudian fake hero (pahlawan palsu).
Strukturalis Prancis
Bagian inilah yang menjadi sorotan utama dari buku ini yang menyajikan pemikiran tokoh pengusung naratologi Gérard Genette dan diversifikasinya yang diusung Mieke Bal.
Strukturalis yang mereka usung tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ferdinand de Saussure, sang strukturalis bahasa.
Pada intinya, mereka meyakini bahwa sebuah bahasa atau teks memiliki sistem yang otonom yang meliputi elemen-elemen internal yang saling berelasi hingga melahirkan makna.
Dengan prinsip yang sama, Genette memecah teks menjadi story (isi), naratif (teks) dan narrating act (penarasian, aktivitas memproduksi naratif).
Mereka beroperasi dalam lima hubungan order (urutan), duration/speed (durasi), frequency (frekuensi), mood (modus) dan voice (suara).
Contoh sederhananya urutan ketika Joko ketemu Bowo lalu berlanjut peristiwa lain yang dirajut dengan alur maju maupun mundur.
Kisah kongkalikong Joko dan Bowo meliputi durasi elipsis, jeda, adegan dan ringkasan. Frekuensi pertemuan Joko dan Bowo berlangsung berkali-kali, pagi, siang, sore dan malam di hari dan tempat yang berbeda-beda.
Keduanya membicarakan politik dengan modus klasifikasi pernyataan seperti perintah atau penegasan yang mendorong terjadinya geger politik.
Pernyataan itu disampaikan dengan variasi jarak, seperti ucapan tidak langsung (narratized discourse) atau dinarasikan, transposed speech (monolog batin), reported speech/indirect speech (bicara atas nama tokoh) dan immediate/direct speech (ucapan langsung).
Cerita Joko dan Bowo dinarasikan dengan beragam sudut pandang seperti narator serba tahu (narasi non fokal).
Ada pula beberapa orang yang bercerita satu peristiwa pertemuan Joko dan Bowo dengan sudut pandang berbeda-beda (fokalisasi internal).
Ada pula yang menyembunyikan informasi tertentu kala bercerita yang hanya dia yang tahu (fokalisasi eksternal).
Ternyata tak hanya Joko dan Bowo, ada suara tokoh-tokoh lain yang ikut beraksi dan bertindak yang diceritakan setelah peristiwa (subsequent), sebelum peristiwa (prior), saat peristiwa (simultanous) dan kombinasi ketiganya (intepolated).
Maka dari itu, ada narasi utama (indradiegetic), narasi lain yang terkait dengan narasi utama (metadiegetic) dan latar cerita (ekstradiegetic).
Narator juga ada yang bukan jadi bagian tokoh (heterodiegetic) tapi ada pula yang jadi tokoh dalam cerita (homodiegetic).
Naratologi Bal: Transisi Klasik ke Pascaklasik
Dengan prinsip yang sama, tapi ada beberapa pengembangan, Mieke Bal mengusung analisis naratif teks. Dengan contoh yang sama, kita coba menjabarkan konsep Bal.
Kisah Joko dan Bowo diceritakan oleh seorang narator yang membentuk teks cerita. Cerita kongkalikong Joko dan Bowo, ada yang disampaikan secara non naratif atau tidak secara langsung seperti ideologi.
Dalam pertemuan Joko dan Bowo, ada deskripsi yang menggambarkan secara objektif dan realistis seperti gambaran ruang pertemuan rahasia, para tokoh-tokoh yang ikut dan berbagai atributnya.
Pertemuan di ruang rahasia itu lalu diceritakan dengan level narasi yang berbeda oleh narator (yang mengamati) dan oleh aktor (yang terlibat).
Tak hanya narasi, teks pun juga berjenjang. Ada teks primer oleh narator dan teks sertaan oleh aktor.
Peristiwa pertemuan Joko dan Bowo yang akhirnya menghasilkan pemufakatan politik digelar berkali-kali dan diceritakan secara kronologis maupun anakronis, dengan ritme rata-rata 2-3 kali dalam sebulan, dengan frekuensi jarang bila jauh dari hari keputusan politik dan sering bila mendekati hari H.
Ujung dari serangkaian pertemuan Joko dan Bowo adalah pemufakatan politik yang meliputi beragam insiden atau subjek aktif (aktor) dan tokoh (orang) dengan beragam persepektif dan ideologi (ruang) yang saling berkaitan di sejumlah tempat rahasia seperti bunker, pulau terpencil atau gua.
Yang menarik dari Mieke Bal adalah ia tak sepenuhnya seorang strukturalis karena ia menyuguhkan analisis interdiskursivitas yang mengaitkan teks naratif dengan karya lain baik yang mutakhir maupun yang lama.
Maka dari itu Bal menjadi jembatan teori naratologi klasik ke pascaklasik, yakni ketika teks sudah banyak dikaitkan dengan unsur-usur eksternal.
Refleksi Kritis Naratologi Klasik
Saya memahami teori sebagai hasil dari abstraksi realitas yang dialami, fenomena dan kasus konkret lainnya. Maka para pemikir sejak Socrates, Plato, Aristoteles, Genette hingga Bal juga merumuskan teori naratif dari fenomena yang dijumpai dan dihadapinya.
Misal, Genette membaca karya Proust dan membuat konsep-konsep naratologi. Teori para pemikir naratologi ini mungkin cocok bagi teks sastra, khusunya novel yang berkembang di Eropa yang memiliki unsur-unsur seperti aktor, narator, plot dsb.
Sebuah teori meski ia rumusan atau abstraksi dari realitas empiris di waktu dan latar tertentu, ia tetap tidak bisa menghilangkan partikularitas budayanya dan mengklaim sifat universalitasnya.
Misalnya, sastra lisan dalam sebuah lakon yang narasi dan strukturnya sangat dinamis dan bisa berubah-ubah tergantung kreativitas si sutradara maupun dalang.
Makna bahkan bisa sampai ditentukan dari interaksi lakon dengan audiens. Maka naratologi ala Eropa ini tak bisa menangkap dinamika ini meskipun sama-sama teks naratif.
Bila dipaksakan, teori yang mengklaim sifat universalitasnya ini akan mereduksi habis-habisan, bila bukan menghilangkan, dinamika makna dan kekayaan kreativitas dari sastra lisan itu sendiri.
Maka dari itu, saya menyarankan sikap kritis terhadap teori bukan dengan mengaplikasikan secara mentah-mentah konsep asing pada berbagai teks sastra apa pun.
Namun cobalah mendialogkan teori dengan beragam subjek kajian untuk bisa melahirkan pengetahuan atau ide segar hasil evaluasi dari teori. Dengan cara ini, bisa jadi teori akan terus diperbarui, dilengkapi dan menjadi analisis yang lebih produktif.
Namun buku ini memberikan contoh aplikasi teori dari para tokoh naratologi itu pada teks sastra, Gentayangan dan Robohnya Surau Kami sesuai dengan mekanisme atau cara kerja konsep-konsep itu.
Inilah yang disebut cara bepikir deduktif, rumusan umum yang coba diterapkan untuk membaca, mengungkap dan mengurai makna objek partikular.
Cara berpikir atau analisis seperti ini sangat membantu dalam men-decode makna dari ekspresi-ekspresi yang implisit atau bahkan artistik.
Namun sepertinya akan lebih menarik bila sebuah buku lebih dialektis dengan teori untuk bisa produktif melahirkan gagasan baru, dengan cara berpikir abduksi atau bahkan induksi.
Dalam bergelut dengan teori, selama belajar di dunia akademik, saya selalu memegang petikan kata-kata sastrawan W.S. Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong.
”Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
Diktat-diktat hanya boleh membeli metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.”
Untuk Siapa Buku Ini?
Buku Naratologi Klasik karya Pak Faruk dan Mbak Ramayda ini tampaknya cocok buat para mahasiswa atau peneliti sastra.
Ia memberikan penjelasan konsep secara rigid disusul dengan tuntunan penerapannya dalam analisis teks sastra Novel Gentayangan karya Intan Paramaditha dan cerita pendek (cerpen) Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Tentu karya ini memang sesuai dengan posisi Pak Faruk dan Mbak Ramayda sebagai dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memberikan buku babon pada mahasiswa.
Buku ini juga sangat ilmiah, kental dengan istilah-istilah akademis yang butuh effort lebih bagi mereka yang belum memiliki latar belakang ilmu sastra untuk mencernanya.
Tampaknya juga memang karya ini bukan buku ilmiah populer yang bisa dibaca dengan renyah oleh para pembaca dari berbagai kalangan.
Bila memang buku ilmiah populer, setidaknya karya ini menyertakan glosarium (daftar istilah/konsep) untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya.
Namun memang yang dikejar lewat buku ini adalah capaian intelektual dan sumbangsih akademis, khsusunya ilmu sastra, yang sudah terkonfirmasi lewat kata pengantar bahwa karya ini lahir dari skema penelitian guru besar.
Melalui skema ini, Pak Faruk sebagai profesor tengah mengader dosen yang lebih muda, Mbak Ramayda Akmal.
Saya pribadi sebenarnya mengharapkan lebih dari karya intelektual Pak Faruk untuk bisa melahirkan magnum opus.
Tidak hanya buku teori dan aplikasi, semoga Pak Faruk bisa melahirkan karya berisi ide-idenya tentang dunia sastra dari riset yang panjang, atau refleksi mendalam tentang fenomena kebudayaan, isu sosial dan kemanusiaan terutama di Indonesia. ***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com

