Dari Ritual Gunung Merapi ke Teori Lempeng Tektonik, Geolog Adam Bobbette Buktikan Pengetahuan Lokal Membentuk Sains Modern

Ilustrasi Gunung Merapi di Jawa dengan pengetahuan lokalnya yang memengaruhi ilmu geologi modern (Gemini AI)

Brikolase.com – Suatu hari di Jawa Tengah, sebuah taksi melaju di jalan berkelok. Dari balik kaca jendela, Adam Bobbette, peneliti geografi dan geologi politik asal Kanada, menoleh ke ujung jalan.

Sebuah kerucut menjulang ke langit, pucuknya bersembunyi di balik kabut. “Itu Gunung Merapi,” ujar sopir taksi. Saat itulah Bobbette untuk pertama kalinya berhadapan dengan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia.

“Asal usul proyek (riset) ini benar-benar berawal ketika saya naik taksi di Jawa Tengah, taksi itu berbelok dan saya melihat Gunung Merapi untuk pertama kalinya.

Saya bertanya-tanya apa itu. Tak lama kemudian, saya mengetahui bahwa lebih dari satu juta orang tinggal di dekat gunung berapi itu dan gunung itu masih aktif.. Hal itu sungguh mengejutkan saya saat itu,” kenang Bobbette dalam video podcast di kanal YouTube Indian Ocean World Centre.

Pengalaman itulah yang kemudian menuntun Bobbette tinggal selama setahun di lereng Gunung Merapi. Ia ingin memahami bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan fenomena geologi yang tak pernah tenang.

“Awalnya saya tertarik pada banjir kota di Jakarta, tapi Gunung Merapi seperti intensifikasi dari persoalan itu. Bagaimana hidup di tengah ketidakpastian alam,” ujarnya.

Di sana, ia menyaksikan sendiri ritual, jalur prosesi, dan kepercayaan masyarakat setempat. Ia membaca arsip kolonial, mengikuti para ilmuwan di observatorium, dan berbincang dengan warga tentang gunung yang mereka anggap sebagai rumah para leluhur.

Dari pengalaman inilah lahir buku The Pulse of the Earth: Political Geology in Java (2023). Buku ini membongkar bagaimana Jawa menjadi pusat lahirnya narasi ilmu geologi modern dunia.

Buku ini terinspirasi pula oleh pemikiran geolog dan ahli ilmu bumi Belanda, Johannes Herman Frederik Umbgrove, yang turut menulis buku The Pulse of the Earth  tahun 1947.

Umbgrove memperkenalkan geopoetics dan menemukan inspirasinya di lereng gunung-gunung di Nusantara. Baginya, bumi bukan benda mati, melainkan organisme kosmik yang terus mencipta dan menghancurkan dirinya sendiri.

“Dia (Umbgrove) memahami ilmu geologi sebagai semacam proyek kosmologi. Dia sangat puitis dan estetis dalam cara memahami ilmu pengetahuan,” jelas Bobbette.

Sementara Bobbette menautkan geologi dengan politik sebagai cara membongkar hubungan antara sains kebumian dan kolonialisme, sekaligus mengakui peran pengetahuan lokal yang sering dihapus dari sejarah.

“Geologi politik mencoba untuk mengurai hal-hal tersebut. Apa yang ada dalam cara ilmu-ilmu tersebut memahami dunia yang juga memungkinkan adanya jenis politik tertentu,” katanya.

ALSO READ  Trauma Lintas Generasi Diaspora Jawa-Suriname

Sumbangsih Pengetahuan Lokal terhadap Ilmu Geologi

Bobbette menemukan bukti kuat bahwa pengetahuan masyarakat Jawa bukan sekadar pelengkap, melainkan turut membentuk cara ilmuwan kolonial memahami gunung berapi.

“Observatorium ilmiah pertama didirikan di sepanjang jalur prosesi ritual ini. Orang Jawa juga memberi tahu para ilmuwan tentang dewa-dewa di gunung berapi tersebut,” ungkapnya.

Adam Bobbette menjelaskan bahwa observatorium gunung api pertama di Jawa didirikan di jalur prosesi ritual masyarakat setempat.

Para ilmuwan kolonial mengikuti jalur ini untuk mencapai puncak gunung karena vegetasi tidak tumbuh di atas ketinggian tertentu, sehingga akses sulit.

Sedangkan jalur ritual sudah mapan dan mengarah langsung ke kawah tempat persembahan. Jalur ritual masyarakat lokal menjadi infrastruktur awal yang memungkinkan para ilmuwan memasang alat ukur dan mengamati kawah secara langsung.

Penduduk Jawa juga memberi informasi kepada para ilmuwan tentang dewa-dewa gunung berapi dan hubungan spiritual antarlanskap.

Informasi tentang keterhubungan gunung, laut, dan fenomena alam inilah yang membantu ilmuwan kolonial menyusun hipotesis awal tentang hubungan antara gunung api darat dan aktivitas bawah laut, yang kemudian berperan penting bagi teori lempeng tektonik.

Pengetahuan lokal memberi kerangka awal bagi sains kolonial kala itu yang kemudian diakui sebagai geologi modern.

Bagus Muljadi, Asisten Profesor Teknik Kimia dan Lingkungan di Universitas Nottingham, turut menyinggung soal ini. Ia menilai bahwa mitos Nyi Roro Kidul dan penunggu Gunung Merapi memiliki penjelasan rasional.

Ia menjelaskan bahwa kearifan lokal masyarakat Jawa dapat dipahami sebagai “logika mistis” yang memiliki rasionalisasi tersendiri.

Local wisdom (kearifan lokal) ini semacam logika mistika. Sebelum orang Amerika sekitar tahun 1960-an tahu tentang jalur tektonik yang menghubungkan antara laut selatan dengan gunung berapi, orang Yogyakarta sudah tahu bahwa ada hubungan antara Nyi Roro Kidul dengan penunggu Gunung Merapi,” ujar Muljadi, dikutip dari kanal YouTube Jalin.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sejak setidaknya abad ke-8 telah menyadari hubungan antara gempa di laut selatan dan aktivitas vulkanik di pegunungan Jawa, yang kemudian dikenal sebagai Sumbu Filosofi.

“(Orang Jawa) sudah tahu bagaimana caranya untuk mengantisipasi kegiatan tektonik kalau misalnya ada gempa di laut selatan karena local wisdom itu,” ungkapnya.

Ia menekankan bahwa inti dari mitos tersebut bukanlah mistisisme semata, tetapi pemahaman mendalam tentang cara manusia berinteraksi dengan alam jauh sebelum konsep antroposeen dikenal luas.

ALSO READ  Belanda Akan Resmi Minta Maaf atas 250 Tahun Perbudakan yang Dilakukannya

Hampir seribu tahun sebelum ekspedisi ilmiah dari Amerika tiba, masyarakat Jawa sudah memiliki pengetahuan itu. Namun kini, pengetahuan tersebut sering dianggap sekadar “logika mistis”, padahal nilai kearifan lokal itu tetap relevan di era modern.

Gunung Merapi sebagai Denyut Bumi

Bobbette berupaya menantang cara kita mengajar dan memahami sejarah ilmu kebumian. Ia berharap generasi baru ilmuwan bumi bisa menghargai warisan pengetahuan masyarakat lokal.

“Jika kita mengajarkan sejarah teori lempeng tektonik dan mengakui pentingnya sistem pengetahuan Indonesia dan Jawa, ini akan benar-benar transformatif,” tegasnya.

Melalui pendekatan naratif, The Pulse of the Earth menunjukkan bahwa geologi modern lahir dari dialog panjang antara sains Barat dan kosmologi Nusantara.

Bagi Bobbette, memahami Gunung Merapi bukan hanya mempelajari letusan, melainkan belajar hidup dengan bumi, menimbang ulang hubungan kita dengan material geologis, dan menyadari bahwa batu, magma, dan tanah bukan sekadar benda mati.

Bobbette berupaya melihat ulang sejarah bumi dari lereng Gunung Merapi, di mana sains, spiritualitas, dan masyarakat berpadu menjadi denyut bumi yang hidup.

Ia datang bukan sekadar untuk meneliti gunung berapi, tetapi untuk memahami denyut bumi, denyut masyarakat, dan denyut spiritualitas yang saling bertaut.

Di desa Deles, Bobbette bertemu Sukiman, seorang penduduk yang percaya pada etika saling bantu antara manusia, hewan, dan gunung.

Ia melihat sendiri bagaimana warga mengelola risiko bencana dengan cara yang mereka ciptakan sendiri, dari tabungan kolektif, ritual, hingga foto-foto letusan yang dijual untuk dana darurat.

Warga sekitar Gunung Merapi juga merekam dan memahami tanda-tanda alam, termasuk perilaku hewan sebelum erupsi.

Sukiman merawat komunitas monyet yang dianggap sebagai penanda alami bahaya letusan. Hewan-hewan ini dianggap penanda alami bahaya letusan karena mereka kabur lebih dulu sebelum erupsi.

Ini melengkapi metode ilmiah yang berbasis instrumen. Pengetahuan ini menjadi pelengkap penting khususnya dalam mitigasi bencana gunung api modern.

Sementara di desa Keningar, Bobbette menemukan kisah Sukidi, seorang tetua yang mengaku dapat merasakan amarah gunung melalui mimpi.

Di sini, tambang pasir ilegal melukai tanah dan sungai, memicu perlawanan spiritual dan hukum. Bagi Sukidi, gunung tidak hanya sekadar tumpukan batu dan magma, tetapi makhluk hidup yang marah ketika alamnya dirusak.

Masyarakat di sekitar Gunung Merapi memandang gunung bukan benda mati, melainkan makhluk hidup yang memerlukan hubungan timbal balik:

Persembahan dan ritual yang dilakukan secara rutin diyakini sebagai “pembayaran utang” pada dewa gunung. Erosi, letusan, dan gempa dibaca sebagai isyarat moral dan sosial.

ALSO READ  Menelusuri Bangunan Bersejarah HKS Purworejo, Sekolah Guru Tertua di Indonesia

Cara pandang ini mendorong ilmuwan untuk berpikir ulang bahwa geologi bukan sistem tertutup, tetapi berkaitan dengan kehidupan manusia, ekologi, dan sejarah sosial.

.Kisah-kisah ini kemudian membimbing Bobbette untuk melihat geologi bukan semata ilmu kebumian, melainkan juga arena politik, spiritual, dan budaya.

Dari observatorium gunung api di Yogyakarta, dengan seismograf, tilt meter, dan ratusan staf yang bergantian mengamati pergerakan tanah, hingga upacara ritual penjaga Gunung Merapi, ia menemukan dunia di mana sains dan mistisisme berjalin erat.

Bobbette mengurai bagaimana teori besar seperti lempeng tektonik dan konsep antroposentris ternyata punya akar intelektual di Jawa.

Kisah The Pulse of the Earth adalah kisah tentang manusia yang hidup berdampingan dengan ketidakpastian alam, tentang masyarakat yang menjadikan letusan bukan sekadar ancaman tetapi pelajaran hidup.

Bobbette mengajak kita menengok Jawa, bukan hanya sebagai pulau dengan gunung berapi, tetapi sebagai laboratorium hidup yang melahirkan cara pandang baru tentang bumi dan hubungan kita dengannya.

Pada akhirnya, Bobbette tidak hanya menulis buku geologi. Ia menulis kisah tentang bagaimana bumi, manusia, dan kepercayaan membentuk satu denyut yang sama, denyut bumi yang hidup.

Bobbette menyarankan agar kurikulum geologi mengakui kontribusi pengetahuan lokal, bukan hanya sejarah ilmuwan Barat.

Dengan cara itu, generasi baru ilmuwan bumi akan memahami asal-usul disiplin mereka dan membangun relasi yang lebih setara dengan masyarakat lokal tempat mereka bekerja.***