Turunnya Minat Belajar Bahasa Indonesia di Kampus Australia, Ada Faktor Monolingual Kulit Putih

Brikolase.com – Universitas New England (UNE) adalah salah satu dari sedikit universitas di Australia yang masih mengajarkan Bahasa Indonesia.

Namun belakangan ini, minat dan kesempatan belajar Bahasa Indonesia menurun signifikan di Australia.

“Saya bertemu seorang wanita di bus dalam perjalanan ke kampus, yang baru bekerja di UNE. Dia bertanya tentang peran saya, dan ketika saya mengatakan bahwa saya mengajar bahasa Indonesia, dia tampak tertarik.

Namun, saat saya menjelaskan tantangan kami dalam meningkatkan minat mahasiswa Australia terhadap bahasa Indonesia, percakapan menjadi serius,” kata Indra Saefullah, dosen Bahasa Indonesia UNE, dikutip dari kanal YouTube UNE Armidale.

Wanita itu menyebut bahwa minat belajar bahasa Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun, sejalan dengan tren penurunan minat belajar bahasa-bahasa asing lainnya seperti Korea, Prancis, dan Jepang.

Baca juga: Sejarah Kelam AS, Joe Biden Minta Maaf pada Penduduk Asli atas Kekerasan di Sekolah Asrama Indian Indian, Begini Sejarahnya

Isu ini sebenarnya rumit dan turut dipengaruhi oleh budaya monolingualisme di Australia.

“Bahasa Inggris dianggap cukup untuk berinteraksi secara global, membangun karier. Jadi belajar bahasa asing, termasuk Indonesia, sering kali dianggap kurang bernilai,” kata Jane Ahlstrand, yang juga pengajar Bahasa Indonesia di UNE.

Jane juga menyinggung dampak residu sejarah Australia, yang memiliki kecenderungan melindungi budaya monolingual kulit putih (white monolingualism). Meskipun Australia adalah negara multikultural, monolingualisme Bahasa Inggris tetap dominan.

“Meskipun kita (Australia) disebut masyarakat multikultural, tetapi saya pikir ya Bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan di sini dan itu tak dipertanyakan.

Saya pikir salah satu masalahnya yang jelas adalah bahwa Australia harus mengakui bahwa kita memang memiliki prasangka yang mendasari ini, sisa sejarah dari obsesi ini, dengan monokultur kulit putih dan melindunginya dengan segala cara.

Sekarang Australia berubah, menjadi multikultural, tetapi saya pikir itu adalah salah satu efek sisa di tahun 70-an, 80-an dan mungkin hingga pertengahan 90-an, kita benar-benar tiba pada keputusan untuk berkomitmen untuk terlibat dengan seluruh dunia terlibat dengan Asia khususnya dan Indonesia tetangga terdekat kita dan salah satu cara untuk melakukannya jelas adalah dengan mempelajari bahasa untuk mengajar dan mempelajari bahasa.

Namun sekitar pertengahan 99-an ada semacam perubahan neoliberal dan juga di samping itu ada semacam kebangkitan dalam proteksionisme kulit putih di Australia dan bahasa khususnya bahasa Asia dipandang memiliki sedikit nilai bagi kepentingan kita dan kami mulai mengalihkan pandangan dari Asia dan jika kami terlibat dengan Asia, itu pun akan dilakukan melalui sudut pandang Inggris.

Sejak pertengahan tahun 99-an, kami menghadapi perjuangan berat untuk terlibat kembali dengan Indonesia,” ungkap Jane.

Jane menjelaskan bahwa sejak tahun 1990-an, ada perubahan besar dalam kebijakan Australia yang mengurangi keterlibatan dengan Asia, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, Indra turut menyoroti perbandingan Australia dengan China dalam studi Indonesia.

“Saya pikir itu seperti di awal tahun 1990-an di mana universitas-universitas Australia mengajarkan, menyediakan program Bahasa Indonesia.

Ada sekitar 22 universitas yang menyediakan program Bahasa Indonesia dan kemudian banyak sekali mahasiswa ribuan orang Australia mendaftar dalam program tersebut.

Namun kemudian jika Anda melihat data saat ini dan itu mengejutkan. Jika saya tidak salah tahun lalu pada tahun 2022 jumlah universitas Australia yang mengajarkan Bahasa Indonesia yang menyediakan program Bahasa Indonesia hanya 12 universitas dan itu termasuk kampus kami (UNE).

Jika kita melihat perbandingan antara Australia dan negara-negara lain, misalnya China. China telah mengembangkan program Bahasa Indonesia cukup signifikan dalam hal jumlah sekolah dan universitas yang mengajarkan Bahasa Indonesia.

Saya pikir pada tahun 2011 universitas dan sekolah China secara total mereka memiliki seperti 11 institusi yang menyediakan program Bahasa Indonesia dan kemudian dalam beberapa tahun berikutnya tumbuh menjadi 16 universitas dan sekolah yang menyediakan program Indonesia

Di sisi lain Australia menurun secara signifikan dan jika Anda melihat jarak geografis antara Indonesia dan China, dan Indonesia dan Australia, China sangat jauh tetapi mereka menyadari bahwa Indonesia dapat menjadi mitra yang sangat strategis bagi China.

Di sisi lain Australia, tetangga terdekat Indonesia tampaknya benar-benar tertinggal dibandingkan dengan China,” ujar Indra.

Sementara Jane menganggap strategi ‘zona nyaman’ monolingualisme Australia sebagai tanda kemalasan dalam memanfaatkan hubungan dengan tetangga terdekatnya.

Australia menikmati posisinya beraliansi dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris dan itu dilestarikan hanya dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Menurutnya China melakukan itu untuk ambisinya membangun aliansi baru melalui pemahaman bahasa dan budaya, yang dapat menumbuhkan kepercayaan seperti dengan Indonesia.

Jane juga menyatakan harapannya agar pemerintah Australia memberikan dukungan lebih untuk pengembangan bahasa Asia sebagai investasi strategis, bukan hanya melihatnya sebagai ‘soft skill’ yang kurang bernilai.

”Kita pernah punya menteri luar negeri (Australia) (2013) Penny Wong, yang mempromosikan bahasa Asia sebagai hal strategis.

Saya melihat lebih banyak alokasi dalam anggaran untuk benar-benar menindaklanjuti kata-kata itu, tetapi saya pikir itu memang tugasnya.

Dia pada dasarnya seorang diplomat jadi mengatakan semua hal yang benar ya, tetapi saya benar-benar ingin melihat beberapa substansi, beberapa dukungan dari pemerintah secara keseluruhan.

Tampaknya Anda tahu semua hal akhir-akhir ini dirasionalisasi, memiliki nilai uang melalui sistem neoliberal. Hal ini jadi agak sulit untuk membenarkan soft skill yang disebut soft skill berbicara bahasa kedua di tingkat Universitas. Mereka tidak melihat hasil langsung (dari belajar bahasa kedua),” kata Jane.

Di sisi lain, Indra menekankan pentingnya hubungan antarmasyarakat sebagai penguat diplomasi antara Australia dan Indonesia. Menurutnya, hubungan ini lebih penting daripada sekadar aspek finansial (uang).

“Hubungan antarmasyarakat bisa didukung melalui program pertukaran budaya, dan bahasa. Sayangnya, banyak yang lebih mempertimbangkan aspek finansial daripada manfaat jangka panjang hubungan antarmasyarakat,” ujar Indra.

Jane juga menyebut bahwa minat belajar bahasa Indonesia sering kali muncul dari mereka yang berani berbeda.

“Mereka yang ingin Belajar bahasa Indonesia saat ini mungkin lebih berjiwa petualang dan berani melawan arus. Bahasa Indonesia seperti bahasa ‘bad boy’ di antara bahasa-bahasa Asia yang lain,” katanya.

Jane mengamati bahwa citra negatif Indonesia di media Australia selama 20 tahun terakhir juga berdampak pada minat belajar bahasa Indonesia.

“Saya pikir dalam katakanlah 20 tahun terakhir citra Indonesia melalui media Australia cukup negatif.

Kita telah melihat terorisme, bencana alam, orang kulit putih, bule, berperilaku buruk ditangkap, jadi itu dilihat sebagai sedikit liar, tempat yang tidak dapat dipercaya.

Sebaliknya Australia tidak benar-benar tempat yang liar tetapi saya tidak berpikir orang Indonesia mempercayai orang Australia sekuat dulu.

Seperti 30 tahun yang lalu Indonesia masih Anda tahu kediktatoran militer dan memiliki label negara berkembang tetapi banyak orang Australia ingin belajar tentang Indonesia.

Saya pikirtu normal sebagai akademisi Australia untuk memiliki sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia untuk melakukan sedikit penelitian di tetangga Asia terdekat tapi ya hari ini bagi mereka yang ingin belajar Bahasa Indoneaia benar-benar harus ‘melawan arus’,” kata Jane.***