Tak Semua Eksekusi Singkat Dianggap Sama

Hak Asasi Manusia (HAM) dan eksekusi muncul di berita dan MP Sjoerd Sjoerdsma dari partai moderat kiri D’66 telah dan terus bekerja keras. Pada 21 Juni 2019, ia mengajukan serangkaian pertanyaan pada Kementrian Luar Negeri setelah laporan PBB terhadap eksekusi wartawan Jamal Khashoggi. Pada 29 Juni, dia mengecam kunjungan Ratu Belanda ke Mohammed bin Salman, putra mahkota Arab Saudi yang terlibat dalam eksekusi singkat Khashoggi. Dan pada Senin 1 Juli, dia mendiskusikan kasus-kasus HAM di Parlemen Belanda: Khashoggi, genosida Rohingya dan tanggung jawab Belanda sebagai “suar cahaya” HAM.

Di sana selama beberapa hari, Sjoerdsma menghabiskan waktu yang sulit untuk memahami HAM. 

Hanya berselang beberapa hari

Pada 26 Juni, Sjoerdsma menghadiri pertemuan Komisi Tetap untuk Urusan Luar Negeri di mana MP Sadet Karabulut dari Partai Sosialis mengundang dua “anak-anak dari Sulawesi” yang orang tuanya dieksekusi dengan singkat oleh Pemerintah Belanda di Indonesia.

Andi Monji (sekarang berumur 82 tahun) dulunya seorang bocah 11 tahun ketika ia menyaksikan, dari sangat dekat, bagaimana para pasukan khusus Belanda menembak kepala ayahnya. I. Talle dulu berusia 2 tahun ketika rumahnya dibumihanguskan oleh Belanda dan ayahnya diambil. Mayatnya dibawa kembali beberapa hari kemudian, dibungkus kain. Pak Monji dan bu Talle berada di Belanda untuk mencari keadilan restoratif.

Pertemuan para korban dengan komisi urusan luar negeri Belanda2_MVP
Pertemuan para korban, pak Monji dan bu Talle, bersama para pendamping dengan anggota Parlemen Belanda, Komisi Urusan Luar Negeri. Foto oleh Marjolein van Pagee.

Sjoerdsma merupakan salah satu dari beberapa angota komisi yang menyambut mereka dengan hangat. Ratu Belanda yang mengunjungi bin Salman tidak hadir untuk bersalaman dengan para korban kejahatan perang terbesar Negerinya. Begitu juga dengan perdana menteri Mark Rutte atau menteri dalam negeri. Ketidakhadiran yang menyakitkan adalah dari koalisi partai pemerintah CDA dan Serikat Kristen dengan nilai Kristiani dan VVD dengan visinya tentang masyarakat bebas. Dan Pia Dijkstra, ketua komisi tetap yang membuka debat HAM pada 1 Juli tanpa menyebut bahwa 1 Juli adalah hari emansipasi Belanda, masuk ketika pertemuan usai karena motif lain.

Belanda dan Arab Saudi

Absen bukanlah satu-satunya kejahatan moral yang dilakukan komisi tetap.

Sjoersdma, orang yang sama yang menuntut menterinya untuk menjadi negara anggota PBB yang baik dan memeriksa eksekusi Khashoggi di bawah hukum internasional, pada pertemuan 27 Juni menyarankan bahwa kami mempertimbangkan keadilan untuk Monji dan I. Talle “pada level individu” dan tentu saja bukan dalam konteks keadilan yang lebih besar. Tak ada pembersihan etnis kolonial, tak ada pelanggaran HAM, untuk dua orang yang kebetulan kehilangan ayah mereka.

Dengan kata lain, tak semua eksekusi singkat dianggap sama.

Undang-Undang Pembatasan

Di kesempatan lain, pada 27 Juni, para korban kejahatan perang kolonial kami hadir di pengadilan di The Hague. Jeffry Pondaag, lelaki yang bekerja terus-menerus untuk pemulihan (restitusi) mereka, berada bersama mereka ketika pemerintah Belanda menjelaskan bahwa gugatan kasus trauma hidup mereka telah lewat batas waktu menurut undang-undang pembatasan.

Para korban bersama pendamping KUKB
Para korban bersama pendamping dari Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.). Dari kiri Yvonne Rieger-Rompas, Monji, Jeffry Pondaag, I. Talle,Wahyu Iswandi. Foto oleh Marjolein van Pagee.

Sebagai anak-anak yang bapaknya dieksekusi, Monji dan I. Talle tak bisa mendapat keadilan melalui kebijakan penyelesaian pemerintah, di sisi lain para janda yang suaminya dieksekusi dalam perang kemerdekaan Indonesia bisa menuntut (dan sering ditolak) atas kerusakan. MP Karabulut baru saja meminta pemerintah meloloskan mosi untuk memperluas kebijakan pada anak-anak dan menyingkirkan (undang-undang) pembatasan.

Ini adalah mosi penting. Meskipun Belanda sekarang mengakui kesalahan penjajahan di sini dan di sana, pembatasan untuk pemulihan tetap merupakan mekanisme untuk melestarikan penjajahan Belanda yang tak berdosa. Dan berpura-pura tidak berdosa akan penjajahan adalah fenomena kultural besar dalam politik, media dan budaya Belanda.

Sejarah Terselubung

Seperti Sjoerdsma yang mengerdilkan pembunuhan massal, Wil Thijssen dari koran nasional De Volkskrant masih berhati-hati menggunakan kata “pembersihan etnis” dalam kutipan.

Senada, relasi kuasa penjajahan masih tertutup di Belanda. Kolumnis yang sama Thijssen menyebut eksekusi tersebut sebagai “tindakan pembalasan”, seolah-olah kekerasan itu cenderung merupakan reaksi bagi kekerasan orang Indonesia, daripada kejahatan perang akibat dari ratusan tahun penindasan rasis Belanda.

Bahkan di Negaranya Trump, Amerika Serikat, sebuah koran nasional akan menghadapi skandal nasional jika ia menyebut Wounded Knee (genosida Indian) merupakan pembalasan dari kekerasan suku Indian Lakota. Pikiran kolonial masih, tanpa malu, mudah terucap bagi Belanda.

Jadi, saya lega mendengar ketika anak-anak dari Sulawesi telah meninggalkan sarang singa Belanda.

[Singa merupakan simbol kerajaan Belanda, setara dengan elang gundul di A.S.]

Penulis: Dr. Annemarie Toebosch (kepala program studi Belanda dan Flandria di Universitas Michigan).
Penerjemah: Yongky

*Artikel ini pertama kali terbit di joop.nl dengan judul De ene standrechtelijke executie is de andere niet. Telah diterjemahkan dan disunting seperlunya. Artikel diterbitkan atas kerjasama Brikolase dengan Histori Bersama dalam agenda mengawal isu dekolonisasi.
* Gambar depan: Pertemuan para korban, pak Monji dan bu Talle, bersama para pendamping dengan anggota Parlemen Belanda, Komisi Urusan Luar Negeri. Foto oleh Marjolein van Pagee.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *