“Dia menembak kepala ayah saya. Saat itu saya berumur 11 tahun”
Kini mereka sudah tua; namun dalam dokumen hukum, mereka disebut “anak-anak dari Sulawesi.” Ayah mereka dieksekusi tahun 1947 oleh tentara Belanda di bekas wilayah jajahan, Hindia-Belanda selama agresi militer. Tanggal 26 Juni 2019 merupakan hari gugatan mereka terhadap negara Belanda. “Saya tak berjuang demi uang, saya mau keadilan.”
“Semua perempuan dan anak-anak dari desa kami, Suppa, dipaksa untuk mengumpulkan rumput. Di seberang kami ada para lelaki yang dikumpulkan, mereka diambil dua hari sebelumnya. Ayah saya adalah pembicara bagi desa kami. Dia dapat giliran pertama. Dia dipaksa duduk dengan kedua tangan di belakang lehernya. Sekitar dua meter darinya, tentara Belanda berdiri di depannya. Dia mengarahkan pistolnya dan menembak kepala ayah saya. Saat itu saya berumur 11 tahun.”
Andi Monji (82th) adalah salah satu keluarga [Indonesia] dari laki-laki yang dieksekusi tahun 1947 oleh Belanda selama “pembersihan etnis” di Celebes Selatan (sekarang Sulawesi), ketika penjajah Belanda belum mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Di suatu pagi, pada 28 Januari 1947, di desa Suppa, lebih dari 200 laki-laki dieksekusi di depan mata ibu, istri dan anak-anak mereka. Belanda menganggap tindakannya ini sebagai pembalasan kekerasan terhadap penguasa Belanda kala itu.
Talle (76th), yang tak punya nama belakang, juga kehilangan ayahnya selama kekerasan “masa Bersiap” di bekas wilayah jajahan Belanda, ketika dua kali “agresi militer” tentara Belanda yang membunuh ribuan warga sipil.
“Saya tak menyaksikan eksekusi para lelaki. Saya tinggal di Coka, di sana situasinya berbeda,” kata Talle. Saat itu ia masih balita dari tiga bersaudara ketika tentara Belanda menghajar para lelaki keluar dari rumahnya dengan senjata. “Kami semua pergi keluar. Rumah kami semua dibakar. Mereka mengambil ayah saya. Pada suatu sore dia dibawa kembali oleh kakek saya dan lelaki setengah baya. Mereka menggunakan tongkat bambu dengan sarung yang mengikatnya. Ayah saya dibalut dalam sarung itu.”
Dengan bantuan penerjemah, seorang perempuan Indonesia hanya menjawab seperlunya. Dia menyeka matanya dengan kerudung. Pertanyaan mendetail sangat menyakitkan. Dia mengonfirmasi beberapa pertanyaan – apa yang telah kau lihat? Bagaimana kau tahu ayahmu dieksekusi? Bagaimana ia kembali?
Kekerasan di Luar Batas
Talle dan Andi Monji termasuk kelompok keluarga penyintas yang mengajukan tututan atas kerusakan kepada pemerintah Belanda atas kasus-kasus “Kekerasan di Luar Batas” oleh tentara Belanda yang dinilai tindakan melanggar hukum oleh Dewan Keamanan PBB tahun 1948. Hari ini, 26 Juni 2019, kasus mereka dibawa ke pengadilan di The Hague.
Tahun 2011, hakim Belanda memutuskan bahwa 8 janda yang suaminya dieksekusi di desa Rawagede, di Jawa, berhak mendapat ganti rugi atas kerusakan. Pemerintah Belanda mencapai penyelesaian mengganti rugi 20.000 Euro (sekitar 243 juta rupiah) per orang.
Empat tahun setelahnya, 11 Maret 2015, pengadilan memutuskan bahwa para janda dari Sulawesi Selatan turut berhak mendapat ganti rugi, begitu juga dengan anak-anak korban. Dalam vonisnya, pengadilan menulis bahwa “Seperti para janda, anak-anak mengalami penderitaan selama hidupnya karena eksekusi tersebut. Khususnya anak-anak yang menyaksikan eksekusi ayah mereka. Mereka kehilangan ayah di usia rentan.”
Namun ada perbedaan besar antara kasus para janda dan “anak-anak dari Sulawesi” – seperti Monji, Talle dan tiga orang lain yang disebut di dokumen hukum. Pemerintah Belanda mau menyelesaikan kasus para janda, namun pemerintah naik banding dalam kasus anak-anak.
Mengapa? “Karena ini jelas tak mungkin secara hukum dalam membangun kebenaran pembuktian,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Belanda. Dengan kata lain: bisakah para keturunan ini membuktikan bahwa laki-laki yang mati tersebut merupakan ayah mereka? Mungkin ayahnya terbunuh saat baku tembak? Dan apakah kasus-kasus ini tidak melewati batas waktu dalam Undang-Undang Pembatasan?
Jenis pembuktian hukum ini tak berlaku bagi kasus para janda. Pemerintah mengaku bersalah dan mengaku “bertanggungjawab” melalui duta besar Tjeerd de Zwaan di Jakarta. “Saya minta maaf atas nama pemerintah Belanda atas kekerasan di luar batas ini,” De Zwaan mengatakan dalam pidatonya di Jakarta pada 12 September 2013, atas tugas dari Perdana Menteri Belanda, Rutte.
Apakah pemerintah Belanda tak takut bahwa akan banyak anak-anak Indonesia lain yang akan mengajukan tuntutan setelah kasus kerusakan anak-anak ini medapat ganti rugi?
Pertanyaan itu tetap tak terjawab. “Untuk sekarang, tak ada hal lain yang perlu saya tambahkan,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan setelah dia berkonsultasi dengan staf hukum. “Sekarang, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu, itu terserah pengacara pemerintah dalam pembelaannya.”
Tak banyak keluarga langsung yang masih hidup. Pengacara HAM Liesbeth Zegveld yang mewakili Monji, Talle dan tiga lainnya menegaskan. “Orang-orang ini sudah tua. Pandangan tentang kerusakan yang dilakukan Belanda di sana dan kemudian naik banding atas kasus ini, tak bisa dipercaya,” [Belanda] seharusnya menerima saja [putusan pengadilan.]”
Sesi Kelima Pengadilan.
Hari ini, 27 Juni 2019, adalah sesi kelima pengadilan dan untuk kedua kalinya sejak putusan pengadilan 2015 pak Monji mengunjungi Belanda untuk menuntut pemerintah Belanda. Bu Talle pertama kali berada di sini [Belanda].
“Ini bukan soal uang”, Andi Monji mengatakan: “Kita mau keadilan. Ayah kami merupakan tulang punggung keluarga. Kami jadi kelaparan.” Sungguh aneh bahwa para janda mengalami kerusakan namun pemerintah Belanda naik banding atas kasus kerusakan yang dialami anak-anak.
“Sungguh menyakitkan,” kata Talle. “Kami hidup dalam ketakutan, sebagai anak-anak kita terus memendam penderitaan ini. Ayah kami diambil dari kami. Anda mungkin berpikir bahwa Pemerintah Belanda akan bersimpati.” Nyatanya tidak.
—
Pewarta: Wil Thijssen
Penerjemah: Yongky
*Berita ini pertama kali terbit di Volksrant 26 Juni 2019, bertajuk Indonesische nabestaanden zoeken gerechtigheid: “Hij schoot mijn vader door zijn hoofd. Ik was elf jaar”. Telah diterjemahkan dan disunting seperlunya. Artikel diterbitkan atas kerjasama Brikolase dengan Histori Bersama dalam agenda mengawal isu dekolonisasi.