Pengarang Yongky Gigih Prasisko
Tongkat Lauror ini kembali membawa Mbah Putri pada ingatan masa lalu saat orang terkasihnya, Gazal, pertama kali menyaksikan Seraphim Efraim. Tongkat ini merupakan barang peninggalan dari Ompa yang diwariskan pada Gazal. Tak hanya tongkat Lauror, Gazal juga turut mewarisi nama julukan Ompa yakni Bapatua. Ompa adalah orang yang sangat dikaguminya, ia adalah sosok penyelamat dan mengajarkan banyak hal padanya. Berkat Ompa, Gazal mulai memahami kehidupan dengan berbagai dimensinya. Ompa adalah sosok guru bagi Gazal yang mengajarkan semangat keadilan dan penyelamatan. Sementara Eliyah hanya beberapa kali bertemu dengan Ompa. Sosok Mbah Putri muda ini berkali-kali nekat pergi melaut ke pulau terpencil itu untuk menjenguk Gazal. Bagi Eliyah, Ompa adalah sosok yang riang, lucu, suka bercanda namun sangat tegas bila berurusan dengan prinsip dan pekerjaan. Eliyah tidak begitu mengenal sosok Ompa namun Gazal sering menceritakan banyak hal soal sosok seniornya tersebut yang banyak menginspirasinya.
“Maling! Maling! Maling!” suara Abu membangunkan lamunan Mbah Putri yang tengah duduk sendirian di atas rumput di tengah hamparan wahana bermain pasar malam. Dia melihat ke sekeliling, Kaula sudah tidak ada.
“Apa yang dicuri?” kata teman pedagang pada Abu.
“Ada, bahan makanan,” balas Abu.
“Makanan apa?” jawab pedagang itu.
“Ah, pokoknya makanan,” jawab Abu.
“Sudahlah Abu, barangkali dia sedang lapar, bersedekahlah sedikit. Kau masih punya banyak makanan. Daganganmu juga masih tampak laris,” kata si pedagang.
Abu langsung meninggalkannya tanpa merespons. Ia tampak kebingungan sendiri, sementara orang-orang dan teman-teman pedagang di sekitarnya tampak tidak membantu Abu mencari si pencuri. Mereka menganggap bahwa pencuri itu hanya mengambil beberapa apel atau sedikit makanan. Maka mereka memakluminya dan menganggap itu bukan kerugian besar. Akhirnya mereka langsung kembali bekerja melayani pengunjung yang semakin ramai.
Namun mereka masih merasa aneh mengapa Abu begitu panik mencari si pencuri seolah itu bukan barang biasa. Ya benar itu memang bukan barang biasa. Dengan barang itulah, Abu bisa mewujudkan harapan dan keinginannya. Maka dari itu, Abu merasa dirinya mengalami kerugian besar dan yakin bahwa pencuri itu bukan anak sembarangan. Abu menyakini bahwa pencuri itu memang sudah mengincar barang itu.
“Kau sembunyi di sini,” kata Kaula pada pencuri itu. Kaula menyembunyikan si anak ini di balik tribun sirkus.
“Kau sementara aman di sini,” ujar Kaula. Di dalam kegelapan, Kaula masih mengenali penampakan anak ini. Pakaiannya lusuh, rambutnya coklat dengan tangan kanan yang terus menggenggam barang curian.
“Kau lapar?” tanya Kaula. Anak itu hanya menggeleng. Kaula juga penasaran barang apa yang dicurinya. Bila bukan makanan, mungkin perhiasan. Namun ia tak mau menanyakannya. Si anak itu tampak sangat ketakutan, napasnya terengah-engah, mulutnya komat-kamit. Anak itu tampak sebaya dengan Kaula hanya sedikit lebih muda.
Pertunjukan sirkus telah dimulai. Hingar bingar suara riuh tepuk tangan penonton meramaikan seisi tenda. Kaula dan si anak ini hanya diam duduk dalam kegelapan di bawah tribun. Gara-gara menyembunyikan anak ini, akhirnya Kaula berpisah dengan Mbah Putri dan mengganggu tujuan utamanya datang ke kota Voz, yakni mencari Seva. Namun mau tidak mau sementara dia harus duduk diam bersama si pencuri ini.
Baca juga: Seraphim 2: Persemayaman di Tengah Badai
Beberapa lama kemudian tepuk tangan penonton semakin meriah dengan dimulainya penampilan burung kondor. Mereka terbang ke sana kemari mengikuti alunan musik. Burung kondor itu tampak lihai melewati beberapa lingkaran-lingkaran besi berapi. Ia seperti menari-nari di tengah lautan penonton dengan diiringi musik yang indah. Keindahan gerak-gerik burung kondor turut berkombinasi dengan keberaniannya melewati lingkaran api, dan inilah yang membuat penonton semakin kagum.
Lantaran penampilan tampak semakin menarik, akhirnya Kaula merasa penasaran dan ingin mengintip pertunjukan dari balik tribun. Dia melihat burung kondor yang tampak menyatu dengan alunan musik. Namun Kaula merasakan hal yang berbeda. Burung kondor itu tidak menikmati musiknya tetapi ia berusaha untuk menghindari suara yang sepertinya tengah menyerangnya. Itulah yang membuatnya terbang ke sana kemari dan Kaula melihat burung kondor itu tampak sedang melawan suara itu. Namun penonton tampak tidak peduli dengan itu. Mereka hanya menyaksikan penampilan yang sangat atraktif dari hewan ini.
Sesaat kemudian, Kaula tak sengaja mendengar pembicaraan dari sepasang penonton.
“Besok pertunjukan musik Yapaskal akan digelar. Kita harus menontonnya.”
“Ya tentu saja, Yapaskal tua tampaknya sudah kembali muda. Pertunjukan musiknya kemarin jadi perbincangan hangat warga kota.”
“Ya pertunjukannya kini jadi magnet baru di kota Voz, terutama berkat anak kecil berbakat itu yang banyak menyedot perhatian.”
“Siapa nama anak itu?”
“Seva.”
Mendengar nama Seva, perhatian Kaula langsung teralihkan. Ia jadi langsung sadar kembali tentang tujuannya bersama Mbah Putri ke kota Voz. Kali ini Kaula mendapat petunjuk di mana ia bisa menemukan Seva. Dari pembicaraan yang didengarnya itu, dia juga tahu bahwa Seva kini menjadi bagian dari kelompok musik Yapaskal. Inilah saatnya Kaula harus bergegas bersama Mbah Putri untuk menemukan Seva. Kaula sedikit menoleh ke belakang, melihat si anak pencuri ini yang masih duduk terdiam dan ketakutan. Namun ia terpaksa harus meninggalkannya segera. Kaula lalu menghampiri anak ini.
“Aku harus pergi. Kau jaga diri baik-baik,” kata Kaula.
“Terima kasih sudah menolongku. Barang ini kucuri untuk menyelamatkan ayahku yang sedang sakit,” jawab si pencuri.
“Tampaknya itu bukan barang biasa, juga bukan makanan biasa,” balas Kaula.
“Ya benar. Ini adalah obat, tapi banyak yang menyebutnya sebagai barang terlarang, harganya juga sangat mahal dan diedarkan secara sembunyi-sembunyi. Maka dari itu, aku hanya bisa mencuri untuk mendapatkannya,”jawab si pencuri.
“Namaku Yasar. Di kesempatan lain, aku akan membalas pertolonganmu. Siapakah namamu?” tanya si pencuri.
“Kaula, dan barang itu?” tanya Kaula.
“Ini adalah Nyut, rempah terlarang,” jawab Yasar.
“Baiklah kita berpisah di sini, sampai jumpa lagi,” Kaula langsung bergegas keluar dari tenda sirkus di tengah keriuhan suara para penonton.
Baca juga: Seraphim 2: Peluit Kabut Bagian II
Sementara Mbah Putri tengah bingung mencari Kaula yang menghilang. Ia tampak kelelahan karena kekuatannya benar-benar menguras banyak energinya. Untung masih ada tongkat yang membantunya untuk berjalan. Mbah Putri sudah tidak bisa lagi menggunakan kekuatannya untuk mendeteksi di mana Seva berada. Tenaganya juga semakin berkurang ditambah dengan usianya yang sudah renta yang menggerogoti kemampuan fisiknya.
Di langit malam kota, tampak beberapa kembang api mulai diluncurkan. Langit yang awalnya gelap kini menjadi terang dan berwarna-warni. Suasana tampak meriah, namun Mbah Putri merasakan hal yang berbeda. Dia punya firasat bahwa di balik hingar bingar kota Voz akan ada bencana besar yang datang, dan dia harus mencegahnya. Potensi bencana itu tak lain berasal dari seorang anak yang dianggap berbahaya. Kekuatannya dalam sekejap bisa membunuh ratusan nyawa. Anak itu tak lain adalah Seva yang bahkan tak menyadari seberapa besar kekuatannya.
Selain kembang api yang mewarnai langit kota Voz, burung kondor juga tampak sesekali melintas menembus langit malam. Kali ini Mbah Putri melihat keberadaan burung kondor yang tampak terbang di atasnya. Bagi orang-orang umum, kehadiran burung kondor akan membawa kabar buruk. Bila di suatu wilayah ada burung kondor yang berseliweran maka di daerah itu akan datang sebuah musibah. Anggapan ini tidak lepas dari cerita buruk yang dihembuskan tentang Jack, yang disebut sebagai penyihir yang membawa kegelapan. Anggapan buruk ini turut disertai dengan cerita kematian Jack yang akhirnya membawa dunia pada cahaya terang. Namun kali ini keberadaan burung kondor bagi Mbah Putri menjadi penanda di mana ia bisa menemukan Kaula. Burung kondor itu seolah memberikan sinyal dan bekomunikasi tentang apa yang dia cari. Namun karena kekuatan Mbah Putri yang melemah, ia tak bisa menjalin komunikasi dengan burung kondor. Mbah Putri lalu berjalan mengikuti arah burung kondor terbang dan hinggap. Ia berharap di situlah dia akan menemukan Kaula. Ia dan Kaula harus tetap fokus pada tujuan awal untuk mencari Seva.
Sembari ia berjalan, Mbah Putri tetiba disodori sebuah selebaran iklan oleh dua orang yang dengan riang membagikannya.
“Datanglah besok ke pertunjukan kami, yoi,” kata Jurel memberikan selebaran pada Mbah Putri.
“Kau kira nenek tua ini akan datang ke pertunjukan kita, yoho. Aku tidak yakin,” ujar Diel berbisik pada Jurel.
“Kalau begitu, kita taruhan saja. Aku pegang dia akan datang,” ujar Jurel.
“Siapa takut, yoho. Aku yakin dia tidak datang. Nenek tua ini berjalan saja susah dan dari penampilannya dia juga tidak akan mampu membeli tiket pertunjukan kita yang mahal, yoho,” balas Diel.
“Gembira sekali kalian anak muda. Sepertinya kalian baru menang judi,” sapa Mbah Putri.
“Yoi, benar sekali,” jawab Jurel.
“Lalu nubuat apa yang kalian dapatkan usai menang judi?” tanya Mbah Putri.
Jurel dan Diel seketika terdiam. Mereka teringat akan nubuat yang disampaikan oleh si empunya Dermolen, bahwa di balik sebuah kejayaan, akan ada bencana yang menyertainya.
“Kalian bersiaplah dengan musibah yang akan melanda kota ini,” kata Mbah Putri.
Jurel dan Diel tidak menyangka bahwa si nenek tua di depannya ini bisa mengetahui isi nubuat itu.
“Memangnya musibah apa yang akan terjadi pada kami dan kota ini, yoho?” tanya Jurel.
“Iya, kami tengah menikmati kembalinya kejayaan kami, yoi. Tampaknya semesta sedang mendukung kami. Tak ada yang bisa menghalangi kami menuju puncak, yoi,” kata Diel.
Mbah Putri langsung memperingatkan mereka berdua. Tongkatnya langsung mengetuk dahi Jurel dan Diel untuk menyadarkan mereka yang tampaknya keblinger dengan gelimang harta.
“Kau ingat baik-baik kata-kataku ini anak-anakku. Kesombongan berarti kejatuhan sudah dekat,” pesan Mbah Putri.
Jurel dan Diel langsung terhenyak mendengarnya. Mereka seolah tidak percaya. Baru saja mereka menikmati kejayaan, masa harus kembali jatuh. Betapa tidak adilnya dunia ini. Jurel dan Diel adalah dua orang yang setia pada Yapaskal di kala senang dan susah. Mereka sudah puluhan tahun melalui masa sengsara bersama kelompok musik Yapaskal, tapi giliran sudah menuai hasil dari konsistensinya, masa harus kembali sengsara lagi dengan cepat. Maka dari itu, kedua musisi ini tidak yakin musibah akan menderanya.
“Kau lihat di langit itu,” Mbah Putri berbicara sembari menunjuk langit malam dengan tongkatnya. Jurel dan Diel lalu menatap ke arah tongkat Mbah Putri menunjuk.
“Burung kondor tengah terbang menembus langit kota Voz. Kau tahu dia akan membawa kabar buruk,” ujar Mbah Putri.
“Seraphim akan melindungi kami, yoi,” kata Jurel.
“Seraphim Esteria yang membawa kami pada puncak kejayaan, yoho,” sahut Diel.
Sekarang gantian Mbah Putri yang terkejut dengan jawaban mereka. Tetiba ia mendengar makhluk mitos yang baru saja lepas darinya.
“Dari mana kalian tahu nama makhluk khayalan itu?” tanya Mbah Putri.
Jurel dan Diel bingung menjawab, tampaknya mereka keceplosan menyebut nama Seraphim Esteria.
“Siapa sang komposer, tuan kalian itu?” tanya Mbah Putri.
“Dia Yapaskal, yoi,” kata Jurel.
“Anda pasti tahu dengan Yapaskal, bila Anda seorang penggemar musik, yoho. Usianya sepertinya sezaman dengan Anda,” ujar Diel.
“Yapaskal ingin melampaui Sebastian Mao. Dia tengah bermain-main di wilayah berbahaya. Nyawa seluruh penduduk kota ini jadi taruhannya,” kata Mbah Putri.
Jurel dan Diel hanya bengong, tidak paham apa yang dikatakan Mbah Putri. Mereka hanya sedikit tahu tentang seorang legenda musik bernama Sebastian Mao. Namun Jurel dan Diel tak pernah bertemu dengan sang legenda. Sebastian Mao dikenal sebagai komposer yang mampu mengungkap rahasia semua bunyi dan suara sehingga ia bisa menghasilkan berbagai komposisi yang indah.
“Yapaskal pernah menyebut nama Sebastian Mao, yoi. Dia kudengar ingin menyamai bahkan melewati kemampuannya melalui anak ingusan itu,” kata Jurel berbisik pada Diel.
Seketika tongkat Mbah Putri langsung diangkat lalu menusuk sedikit ke leher Jurel seperti senjata pedang yang mengarah ke leher hendak memenggal kepala lawan. Jurel juga langsung kaget dengan tindakan aneh Mbah Putri. Ia melihat sesosok nenek tua yang tampak kesulitan berjalan sehingga membutuhkan bantuan tongkat. Namun ketika melihat tongkat tersebut diangkat, Jurel melihat sosok yang lain. Dia melihat seorang perempuan yang tegas dan berdiri kokoh siap untuk bertarung dengan mengangkat tongkat. Akhirnya Jurel merasa dirinya terancam meski yang di depannya hanyalah seorang nenek tua.
“Siapa yang kau sebut anak ingusan itu?” tanya Mbah Putri sembari tetap mengangkat tongkat yang mengarah ke leher Jurel.
Jurel kaget karena suara bisikannya pada Diel terdengar oleh si nenek tua ini. Dia akhirnya menganggap bahwa perempuan tua ini bukanlah nenek sembarangan. Dengan mulut bergetar, Jurel menjawab, “Namanya Seva.”
Seketika Jurel melihat sesosok perempuan tua yang menakutkan dan berbahaya bagi dirinya. Akhirnya Jurel dan Diel langsung bergegas lari meninggalkan Mbah Putri.
“Semoga nenek itu tidak bawa sial pada kita, yoi,” kata Jurel.
“Ya ayo menjauh, yoho” ujar Diel.
“Eits, tetap jangan lupa taruhan kita, yoi” kata Jurel.
“Pasti dong, aku yakin dia tidak akan datang ke konser kita, yoho” balas Diel.
“Braakkk!” Lantaran terburu-buru dan asyik bicara taruhan, Jurel dan Diel jatuh menabrak kucing Ukla yang juga kencang berlari menuju Mbah Putri.
“Hei! Dasar kucing buta! Tak lihat jalan kau, yoi,” Jurel emosi. Ukla tak menghiraukan perkataannya dan fokus mendekat pada Mbah Putri.
Jurel dan Diel juga melihat ke belakang dan sekilas menyaksikan seekor kucing itu tengah berlari menghampiri nenek tua yang sebelumnya mereka temui. Mereka juga melihat Mbah Putri masih melihat ke arah mereka.
“Ayo cepat kabur, jangan sampai mereka membuat kita sial, yoho” kata Diel.
Jurel dan Diel langsung bangkit, kembali berlari menjauh dari nenek aneh itu. Namun meski khawatir, mereka tetap tidak bisa lepas dari taruhan dan judi.“Nenek itu akan datang ke konser bersama kucing itu, yoi,” kata Jurel.
“Aku tetap yakin nenek itu tidak akan datang, yoho,” jawab Diel.
“Ok kalau begitu, kalau dia datang bersama kucingnya, kau bayar dua kali lipat, yoi,” kata Jurel.
“Siapa takut, kalau dua-duanya tidak datang, kau bayar dua kali lipat, yoho,” balas Diel.
“Braakkkk!” Jurel dan Diel kembali jatuh. Kali ini, mereka tidak menabrak seekor kucing, tapi seorang anak kecil. Dia berlari kencang seperti pencuri yang dikejar-kejar oleh warga. Anak kecil itu adalah Kaula yang bergegas ingin memberi tahu Mbah Putri tentang informasi di mana bisa menemukan Seva.
“Hei anak kecil! Kau buta ya, tak lihat ke depan, yoho,” kata Diel.
Kaula tak menghiraukan Jurel dan Diel yang terjatuh. Dia bahkan tak menoleh sedikit pun usai menabrak dua orang itu.
“Sialan anak itu, tak merasa bersalah menabrak kita, yoi” kata Jurel.
“Setelah kucing sial, kini anak itu yang bawa sial, yoho. Tak punya mata mereka, dasar buta!” kata Diel.
Sekilas Diel menengok ke belakang hendak melihat ke mana anak itu pergi. Sepertinya, dia berlari ke arah yang sama dengan kucing sial tadi. Diel mengira mereka sama-sama menghampiri nenek aneh itu. Namun saat melihat ke belakang, Diel dan Jurel sudah tidak menemukan lagi nenek, kucing bahkan anak kecil yang menabraknya tadi. Kali ini, Diel dan Jurel sama-sama merasa mengalami peristiwa aneh dan bertemu dengan sosok-sosok yang aneh pula. Jurel dan Diel segera bangkit dan bergegas menjauh dari tempat ini. Namun seketika saat mulai bangkit dan berlari, langkah mereka terhenti oleh tiga sosok yang tetiba muncul dari balik kegelapan malam. Tongkat itu kembali menekan dan menusuk leher Jurel.
“Berkali-kali, kalian bilang buta. Hati-hati kalian dengan makhluk buta. Segera pergi dari kota ini sebelum terlambat,” sosok Mbah Putri yang tetiba muncul dari kegelapan mengagetkan Jurel dan Diel. Kali ini mereka melihat nenek aneh itu bersama kucing dan anak yang menabraknya tadi.
Mbah Putri merasa punya kewajiban untuk memperingatkan mereka, termasuk juga orang-orang di kota Voz. Mbah Putri merasa kekuatannya sangat terbatas untuk mencegah musibah besar menimpa kota ini. Dengan masih kaget dan ketakutan dengan sosok Mbah Putri dan tongkatnya, Jurel memberanikan diri untuk bertanya, “Makhluk buta, siapa itu?”
Mbah Putri tampak terdiam dengan masih mengacungkan tongkatnya. Sementara Kaula dan Ukla menatap tajam Jurel dan Diel. Mbah Putri tak menjawab pertanyaan Jurel. Dia fokus melihat tongkatnya.
Tongkat Lauror, ya dengan tongkat inilah Ompa berhasil membutakan mata makhluk itu. Dia lalu menjadi lebih liar namun akhirnya berhasil ditaklukkan. Kali ini, setelah sekian lama, makhluk itu sudah terbiasa dengan kebutaannya. Dia kini menjadi lebih berbahaya dari sebelumnya karena sekarang semua kekuatannya akan bersumber pada suara.
Sosok perempuan tua yang tampak tegap dan sigap dengan tongkat yang mengacung ini ternyata di dalam dirinya mulai dipenuhi dengan keraguan. Dengan segala keterbatasan kekuatan karena termakan usia, Mbah Putri tampak ragu bisa kembali menaklukkan makhluk buta itu yang pasti akan mengerahkan segala kekuatan dan amarahnya untuk membalas dendam pada siapa pun pemilik tongkat itu.
Bersambung…
Bacaan terkait

Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com