Brikolase.com – Pagi yang cerah, secerah senyum sang ayah dan putri tunggalnya. Azalfa selalu senang tiap pagi diantar ke sekolah oleh Abu. Sang ayah tak pernah absen mengantar putrinya dengan berjalan kaki. Badan sehat, berolahraga mengawali hari. Abulah sang penjaga itu, si pelindung setia dari segala gangguan yang mendekati Azalfa. Putrinya menganggap ayahnya sebagai malaikat penjaga.
“Ayah lihat, itu ada kebun apel, banyak sekali buahnya,” Azalfa tampak girang menggeret tangan ayahnya.
Abu tersenyum dan menoleh ke arah putrinya menunjuk.
“Mana? Aku hanya melihat ranting dan daun yang berguguran.”
“Yang penting bukan apa yang ayah lihat. Aku membayangkan ingin punya kebun apel ayah.”
Abu perlu waktu sejenak untuk menangkap maksud putrinya. Akhirnya, ia memahami imajinasi putrinya sebagai seorang anak, dan ia memang di masa ingin terus bermain. Maka diambilah apel bayangan itu dari pohon. Putrinya tampak senang. Abu bergegas memetik apel-apel itu sebelum ketahuan oleh yang punya. Dia mengumpulkan semua apel itu di kantong baju dan celananya. Abu meminta Azalfa bersembunyi. Ia memberi kode saat mereka harus lari. Apel sudah memenuhi pakaian Abu. Dengan sebuah siulan, Azalfa keluar dari persembunyiannya dan lari bersama Abu. Dunia bak milik mereka berdua. Bayangan apel-apel itu diberikan sebagai bekal Azalfa di sekolah.
Jarak dari rumah Abu, pasar dan sekolah putrinya itu tidak terlalu jauh. Hanya sekira 500 langkah kaki. Namun bukan jarak yang jadi masalah, tetapi kenangan di sepanjang jalan itu yang membuat Abu terus terngiang. Abu selalu lewat jalan di pinggir sungai tapi ia tak mau menatap. Ia tak ingin melihat arus sungai yang sama seperti malam terakhir istrinya terlihat oleh warga. Kata orang yang menyaksikan, perempuan itu berdiri lama di tepi sungai, seperti sedang menunggu sesuatu muncul dari dalam air. Orang sekitar bilang ia melihatnya terakhir menatap air yang gelap. Setelah itu, hilang.
“Mungkin ibumu mencari tempat di mana apel bisa tumbuh tanpa pohon. Aku tak pernah mengerti maksud kepergiannya.”
Setiap melewatinya, Abu coba menenangkan diri. Ia bergegas mempercepat langkah kaki pulang ke rumah dan menyiapkan bahan-bahan untuk berjualan di pasar.
Suasana pasar pagi itu ramai seperti biasa. Udara sejuk menempel di kulit para pembeli dan penjual. Pakaian masih harum tercium oleh orang-orang yang berlalu lalang. Namun tak ada yang bisa mengalahkan bau ikan asin yang lebih kuat merasuk ke hidung. Meski begitu, aroma buah-buahan yang segar bisa menetralisasinya. Orang suka bau buah-buahan di pagi hari, termasuk apel. Lapak Abu biasa diserbu oleh para pembeli kala baru dibuka. Bahkan pelanggan setianya rela menunggu mulai pagi buta sebelum Abu datang, agar tidak ketinggalan untuk mendapatkan apel-apel paling segar.
Abu melayani dengan tulus, keramahannya selalu menjadi daya tarik bagi para pelanggannya. Pedagang satu ini memang dikenal sebagai kurator apel terbaik. Ia pandai memilih dan menyeleksi apel dari hulu sampai ke hilir. Kualitas adalah yang utama. Itu yang membuat para pembelinya kagum dan tetap percaya padanya. Begitu pun sebaliknya, Abu menjaga kepercayaan para pelanggannya sampai dia mengenal betul siapa mereka.
Pagi itu, aktivitas berjalan seperti biasa. Tawa canda, tawar menawar harga dari Abu dan para pembeli berlangsung cair. Mereka saling mengenal satu sama lain. Meski ada pula pelanggan baru. Ya, ada tapi sangat jarang, dan kali ini pembeli asing menghampiri lapak Abu. Ia tak banyak bicara, hanya membeli lima buah apel dan langsung membayarnya. Abu hanya sekilas melihat wajahnya, perempuan berpakaian dan berkerudung hitam.
Dia membayar apel dengan uang receh kuno yang tak lagi beredar, koin yang dulu sering dipakai istrinya untuk bermain dengan Azalfa kecil. Saat Abu menunduk lihat koin itu di tangan, ia lalu mengangkat pandangannya, menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok perempuan asing itu. Namun sayang ia bak lenyap ditelan bumi.
Abu sangat mengenali benda kuno ini. Istrinya sering bermain menggelindingkan koin itu di lantai, lalu membiarkan Azalfa mengejarnya sambil tertawa. Kadang koin dilempar ke atas dan meminta Azalfa menebak gambarnya. Setiap tebakan Azalfa jadi harta berharga bagi keluarga kecil ini, tak peduli tebakannya salah atau benar. Koin itu juga biasa dipakai oleh istrinya untuk dijadikan alat tukar bagi Azalfa untuk pura-pura membeli apel Abu.
Tetiba Abu berkeringat dingin, hawa dari masa lalu seperti berhembus ke dalam pikirannya. Ia ingin mengejar perempuan itu, tapi apa daya ia telah menghilang di tengah kerumunan orang. Abu menggenggam erat koin itu dan menyimpannya. Ia seperti merasa istrinya hadir untuk menyapanya pagi ini. Meski tak tahu perempuan yang dicintainya itu pergi ke mana, Abu masih percaya bahwa ia masih hidup.
Kondisi pasar terus ramai seperti biasa. Matahari sudah mencapai puncaknya dan hawa semakin panas Seperti biasa, Abu bersiap menutup sementara lapaknya untuk menjemput putrinya. Meski kondisi pasar tengah ramai, Abu tidak peduli, ia tetap menempatkan Azalfa nomor satu dalam kehidupannya. Dialah harta paling berharga.
Di tengah persiapan Abu menutup lapaknya, hal mengejutkan terjadi. Perempuan berkerudung hitam itu kembali ke lapak Abu.
“Kau tadi melihat koin kunoku? Maaf, sepertinya koin itu kuberikan padamu.
“Oh ya. Itu koin yang sudah lama tak dipakai. Aku menyimpannya tadi.”
“Oh syukurlah. Maaf, ini aku ganti uangnya. Aku tidak sengaja memberikan uang yang tak berlaku.”
“Tidak perlu. Anggap saja sebagai tanda perkenalan kita. Aku senang ada pembeli baru. Semoga kau suka apelnya dan jadi pelanggan.”
“Super. Itu apel ternikmat yang pernah aku makan. Pasti aku akan membelinya lagi.”
“Oh ya bolehkan aku mengambil koinku kembali.”
“Oh tentu, maaf hampir lupa. Aku menyimpannya di bawah kotak buah. Tunggu sebentar….
Meski tak berlaku, aku tak membuangnya. Tahukah kamu, dulu putriku sering bermain dengan koin ini.
Lho kok tidak ada ya? Tadi aku menaruhnya di sini.”
“Tenang, mungkin koin itu tidak hilang, kau hanya perlu mengambil jarak. Jangan terlalu dekat mencari.”
Abu mendengarnya sekilas dan mulai diam sejenak. Mundur beberapa langkah lalu menyapu pandangan di antara kotak-kotak buah.
“Ah ya benar. Kuselipkan dia ke dalam apel. Apel di luar kotak. Mana dia? Nah ini, baru ketemu,” Abu langsung memberikannya pada perempuan itu.
“Ngomong-ngomong. Boleh kutanya sesuatu?”
“Tentu.”
“Dari mana kau dapat koin itu?”
“Ah ya. Aku menyimpannya, warisan dari orang tuaku yang masih mengoleksinya. Aku juga biasa bermain dengan putriku dengan koin ini. Tapi ya… sayangnya aku tak bisa bertemu dengannya lagi. Dia sedang bersama ayahnya, ia menjaga dan melindunginya dengan baik. Dengan koin ini, aku bisa tahu mereka baik-baik saja.”
Abu tetiba tercengang. Cerita perempuan ini bak puzzle yang hilang dari hidupnya. Dengan suara terbata-bata, Abu bertanya sembari menelan ludah.
“Ba.. ba.. bagaimana kau tahu mereka baik-baik saja?”
“Aku melihatnya dari balik sungai. Setiap malam aku melihatnya. Oh ya sebagai imbalan, karena apelmu enak. Boleh kubeli satu lagi?” perempuan itu langsung mengganti topik.
Abu tak bisa berkata-kata, langsung berbalik badan dan mengambilkan apel.
“Tidak-tidak, bukan apel itu. Apel yang ada di sakumu.”
“Aku tidak menyimpan apel di saku.”
“Tidak penting apakah itu ada atau tidak, yang penting kau yakin dan bayangkan itu ada.”
Abu langsung terhenyak. Kata-katanya seperti yang dia dengar saat mengantar putrinya ke sekolah.
“Ayo cepat, aku sudah menjawab pertanyaanmu. Aku harus pergi sekarang.”
Abu langsung bergegas merogoh kocek dan memperagakan mengambil apel imajiner untuk diberikan pada perempuan itu. Perempuan itu lalu mengucap terima kasih dan berjanji akan kembali.
Setelah pertemuan dengan perempuan misterius itu, hari-hari Abu beda dari biasanya. Ia mulai memikirkan tentang istrinya yang hilang. Ia menganggap perempuan itu punya jawabannya. Abu juga sering susah tidur karena memikirkannya. Namun ia merasa tenang kalau Azalfa sudah lelap dan terus berada dalam perlindungannya. Sampai di suatu malam, sebelum tidur, putri tunggalnya bicara tentang satu hal yang mengguncang pikirannya.
“Ayah, sepulang sekolah, ketika aku menunggu ayah. Aku selalu lihat perempuan bepakaian dan berkerudung hitam. Dia selalu melihat ke arahku. Tapi saat aku melihatnya dia langsung pergi.”
Pikiran Abu langsung kacau balau bak disambar petir. Ia khawatir dengan putrinya. Apalagi, ia berpikir perempuan itu adalah orang yang sama seperti pembeli apelnya. Ia takut perempuan itu hendak berniat buruk pada putrinya. Sejak Azalfa bicara begitu, Abu tidak pernah terlambat menjemput putrinya. Ia selalu datang tepat waktu bahkan sebelum jam pulang, Abu sudah menunggu di depan sekolah. Abu juga ingin memastikan bahwa perempuan itu tidak berbuat macam-macam pada anaknya. Namun ketika Abu ke sekolah putrinya, ia sama sekali tak pernah melihat perempuan itu. Sejak pertemuan pertama dengan perempuan misterius itu di lapaknya, ia belum pernah kembali lagi membeli apel. Kadang saja Abu melihat ia berbelanja ke lapak lain tapi tidak ke lapak apelnya. Tapi, ia pernah berjanji akan kembali membeli apel.
“Aku menemukan koin ini, ayah,” Azalfa menunjukkan koin itu pada Abu saat menjemput di sekolah. Ia sama persis dengan koin dari perempuan itu.
“Mirip seperti koin waktu aku bermain sama ibu, ayah,” kata-kata putrinya langsung membuat Abu mau pingsan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Semakin lama, Abu mulai penasaran dengan sosok perempuan ini.
“Di mana kamu menemukan koin itu?”
“Tadi waktu jalan sehat bersama bu guru, aku menemukan koin ini di depan sekolah. Persis seperti tempat di mana aku melihat perempuan berpakaian hitam yang aku ceritakan ke ayah.”
Mata Abu mulai gelap. Ia mulai pusing, memejamkan mata dan sempoyongan mau jatuh. Abu mulai berpikir macam-macam. Ia ingin mengejar sosok perempuan itu. Siapa dia sebenarnya? Abu ingin memastikan bahwa jangan sampai dia mengganggu putrinya. Maka esok hari, sekali Abu melihat perempuan itu di pasar atau di mana pun juga, ia akan mengejarnya.
Beberapa hari berselang, perempuan misterius itu tak jua muncul. Abu masih harus menyimpan rasa penasarannya. Dia masih bingung ke mana dia harus mencarinya. Maka sejenak Abu mulai menenangkan diri. Menghela napas dalam-dalam untuk menjernihkan pikiran. Sampai kemudian tetiba muncul kata-kata perempuan itu di pikirannya.
“Kau hanya perlu mengambil jarak. Jangan terlalu dekat mencari.”
Akhirnya Abu mulai mengambil jarak untuk menemukan perempuan itu. Setelah mengantar Azalfa ke sekolah, Abu sengaja datang terlambat ke lapak. Ia menyamar jadi pembeli, melihat sekelilig pasar dan mengamati lapaknya dari jauh. Selang beberapa lama, dia masih belum melihat perempuan itu. Abu masih melihat dari kejauhan, sementara para pelanggannya sudah menunggunya. Para pedagang di sebelahnya juga tidak tahu keberadan Abu. Tidak biasanya Abu telat buka lapak. Namun tampaknya para pelanggannya masih setia menunggu. Setelah bertahan beberapa lama tak melihat jua perempuan itu, Abu akhirnya luluh. Ia akan membuka lapaknya, ia harus cari nafkah untuk Azzalfa. Demi masa depannya, putrinya harus belajar di sekolah terbaik.
Lapak Abu mulai dibuka. Para pelanggannya mulai mengeluh karena lama menunggunya. Abu hanya bisa minta maaf dan melayaninya satu per satu. Tak sampai tengah hari, dagangan apel Abu sudah habis. Ada yang memborong hari ini. Stok baru akan tiba nanti sore. Abu akan menunggunya bareng Azalfa setelah pulang sekolah. Meski sudah habis, Abu tak menutup lapaknya. Ia tetap melayani para pelanggannya. Mencatat pesanan dan berjanji akan menyediakannya besok. Satu per satu Abu dengan cermat menuliskan pesanan sampai akhirnya tiba pada pelanggan terakhir. Karena terlalu fokus mencatat, Abu hampir tak mengenali kehadirannya.
“Kau tak menyisakan apel untukku?” perempuan misterius itu muncul di hadapan Abu bak petir di siang bolong.
Abu diam membatu. Tubuhnya tetiba kaku, sembari menelan ludah berkali-kali.
“Hei. Sudah kubilang aku akan kembali. Apelmu masih yang terenak. Aku mau beli lebih banyak. Bisakah kau catatkan pesananku?”
Tatapan Abu kosong. Tapi ia bergegas mencatat jumlah pesanan perempuan itu. Dengan menahan kegelisahannya, Abu mulai membuka pembicaraan.
“Kau.. kau tinggal di sekitar sini?”
“Ya, aku baru saja pindah.”
Abu dengan hati-hati memilih kata-katanya agar tidak menyinggung pelanggan barunya ini. Sementara pikirannya masih terus berkecamuk. Ia harus bisa menggali alasan keberadaannya di sekolah putrinya.
“Kau biasa jalan sampai ke sekolah?”
“Sekolah? Aku belum pernah melihat sekolah di sekitar sini. Kenapa memangnya?”
“Aku menemukan koin itu di depan sekolah.”
Perempuan itu langsung merogoh koceknya.
“Maksudmu ini?” Abu melihat jelas koin itu ditunjukkan di depan mukanya sembari mengangguk.
“Aku masih menyimpannya dengan baik.”
Abu masih tak percaya. Kepalanya tambah pusing ditambah dengan hawa panas siang hari.
“Mungkin itu koinmu sendiri yang jatuh. Kalau tidak salah kau pernah cerita putrimu pernah bermain koin itu.”
Ya Abu tahu betul ia juga menyimpan koin itu. Koin yang menyimpan kenangan berharga.
“Satu lagi. Kau bilang setiap malam pergi ke tepi sungai untuk melihat keadaan putrimu. Apa yang kau lakukan di sana?”
Dengan menghela napas, perempuan itu menjawab santai sembari tersenyum.
“Tidak ada, aku hanya berdoa.”
Abu tak berani tanya lebih jauh. Perempuan itu tampaknya harus pergi. Ia meninggalkan pesan.
“Abu, bicaralah jujur tentang perasaanmu. Aku adalah seorang ibu. Aku tidak mau lancang bicara urusan keluargamu. Tapi percayalah, putrimu hanya rindu dengan ibunya,” setelah berpesan, perempuan itu langsung pergi.
Usai tengah hari, waktunya Abu menjemput Azalfa. Dia menyempatkan untuk pulang dulu ke rumah, mencari koin yang disimpannya. Benar, koin itu tidak ada. Mungkin benar perempuan itu, entah bagaimana ceritaya, Abu mencampurkan koin itu dengan koin lain dan menjatuhkannya di depan sekolah, lalu Azalfa menemukannya. Tapi bagaimana dengan perempuan berpakaian serba hitam yang dilihat putrinya? Abu masih menyimpan pertanyaan itu.
Abu bergegas untuk menjemput putrinya. Karena masih ada waktu, Abu sempatkan untuk menitip pesan pada warga-warga sekitar sungai itu agar kalau melihat sosok perempuan yang berdiri di tepi sungai untuk segera memberitahunya. Abu meragukan perkataan perempuan itu dan ingin mencari tahu sendiri tentang rahasia perempuan misterius itu. Setiap selesai mengantar putrinya ke sekolah, Abu menanyakan pada warga-warga tentang pesannya.
Satu malam tidak ada. Dua malam tidak ada. Sampai puluhan malam tak jua ada warga melihat perempuan berdiri di pinggir sungai malam hari. Abu semakin pusing. Bingung dengan apa yang dikatakan perempuan itu. Jangan-jangan ia dikibulin. Setelah pertemuan kedua dengan perempuan itu di lapaknya, Abu belum pernah melihatnya lagi. Pesanannya pun tidak diambil. Perempuan serba hitam itu lenyap.
Di suatu malam, Abu melihat putrinya terlelap. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Maafkan ayah. Ayah gagal memahami perasaanmu. Mungkin kau rindu sekali dengan ibumu. Percayalah, ayah sampai sekarang terus mencarinya. Ibumu pergi tanpa pesan apa pun. Ayah juga bingung. Tapi ayah janji akan membawanya kembali dan kita akan bersama lagi seperti dulu. Kau bisa bermain koin sepuasnya dengan ibu. Kau akan tumbuh dengan kebahagiaan, dengan kasih sayang penuh dari orang tua. Ayah akan selalu di sampingmu, menjagamu dan melihatmu tumbuh. Kau malaikat kecilku, seraphim kesayanganku. Aku akan mengantarkanmu terbang tinggi hingga menggapai cita-citamu,” Abu mulai menitikkan air mata dan memeluk putrinya sampai akhirnya tidur terlelap.
Esoknya hari berjalan seperti biasa. Abu mengantar Azalfa sekolah, berjualan di pasar, melayani para pelanggan. Namun tak ada tanda-tanda kehadiran perempuan itu. Sampai usai tengah hari, Abu saatnya menjemput putrinya dan hari yang berjalan seperti biasa itu tetiba berubah drastis. Abu melihat perempuan itu berdiri di depan sekolah putrinya. Tanpa berpikir panjang, Abu langsung menghampirinya.
“Kau tak ambil pesanan apelmu.”
“Oh astaga. Maafkan aku. Aku kemarin pulang ke kampung halamanku. Esok pagi aku ambil.”
“Tak masalah. O ya, kau sedang menunggu seseorang di sini?”
“Ya. Jadi ini sekolah yang kau ceritakan. Cukup dekat juga dari pasar.
Aku sedang menunggu kepala sekolah. Aku mau melamar jadi guru. Katanya sebelum pulang sekolah, beliau akan datang.”
Abu menunda perkataan perempuan itu, tak langsung memercayainya. Tak ingin membuang waktu, Abu langsung bertanya hal yang selama ini terngiang di kepalanya.
“Kau tak berdiri di tepi sungai setiap malam.”
“Aku tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa di tepi sungai. Meski saat pulang kampung, aku sempatkan barang sebentar.”
“Tak ada warga yang menyaksikan. Mereka biasa kerja di malam hari. Ada yang berjaga, ada yang berjualan. Tak satu pun melihatmu.”
Perempuan itu tersenyum manis.
“Sangat cermat. Kau masih mengingat perkataanku. Kebiasaan anehku yang kupikir tidak penting bagi orang lain. Tapi kau memperhatikannya.
Sayangnya kau selalu melewatkannya. Sungai Voz sangat indah, tapi di malam hari terasa beda. Seperti yang kubilang dulu. Kau hanya perlu berjarak, jangan terlalu dekat mencari.
Orang-orang itu sama sepertimu. Mereka fokus pada hal yang menyangkut dirinya. Kau fokus pada putri tercintamu dan menafkahinya. Sementara para warga sibuk dengan urusannya masing-masing, bekerja maupun berjaga. Itulah yang membuatnya terlewat. Apalagi, apa pentingnya seorang perempuan berdiri di tepi sungai bagi mereka? Apa pentingnya juga bagimu?
Ah sepertinya itu putrimu. Maaf aku harus pergi. Guru itu tampak memanggilku untuk masuk.”
Perempuan itu bersalipan dengan Azalfa yang berlari menghampiri ayahnya. Ia berpapasan sembari tersenyum. Azalfa tak menghiraukannya, ia fokus pada ayahnya.yang sudah menunggunya pulang. Abu memeluk hangat putrinya lalu menggendongnya sembari berbisik.
“Apakah itu perempuan yang kau lihat di depan sekolah?”
“Mana?”
“Itu yang baru saja berpapasan denganmu.”
“Mana ayah?” Azalfa menoleh ke kanan dan ke kiri tak menemukan perempuan itu.
Pikiran Abu semakin kalut melihat putrinya yang tak melihat perempuan itu. Sementara Abu melihatnya dari belakang dia masuk melewati pagar sekolah. Abu tak mau mengganggu pikiraan putrinya. Dia tak akan melanjutkan pertanyaannya.
“Aah ayah ingin tahu perempuan itu ya. Ayo kita cari sama-sama ayah. Siapa yang menemukan dapat 1 keranjang apel. Bila aku yang dapat, aku ingin membagikan apel-apel itu pada orang-orang yang lapar.”
Tanpa berpikir panjang. Abu menyatakan setuju sembari menganggukkan kepala dan mencium kening putrinya.
Sejak saat itulah Abu mulai serius mengungkap sosok perempuan itu. Abu memberi tahu warga-warga sekitar sungai bahwa siapa pun yang melihat perempuan berpakaian hitam berdiri di tepi sungai malam hari akan mendapat sekeranjang apel. Sebagian dari mereka tampak tertarik. Sebagian lainnya biasa saja. Siapa yang melihatnya duluan diharapkan langsung menghubungi Abu, termasuk anak-anak jalanan yang biasa hidup di kolong jembatan. Mereka antusias untuk menemukannya. Sesekali Abu juga mencarinya sendiri di malam hari. Kala Azalfa terlelap, Abu menaruhnya di sebuah gerobak buah dengan kasur. Ia biasa mengayuh gerobak itu untuk membawa apel dari pasar ke rumah dan sebaliknya. Kali ini, ia membawa putri kesayangannya dengan gerobak itu. Abu tak ingin meninggalkannya di rumah sendirian atau menitipkannya ke orang lain. Ia akan mencari perempuan itu di malam hari bersama putrinya. Kebiasaan perempuan itu kala berdiri di tepi sungai sama dengan yang dilakukan istrinya kala menghilang. Abu berpikir mungkin ia bisa menemukan jawaban atau mengungkap rahasia keberadaan istrinya dengan menyingkap sosok perempuan itu.
Satu malam berlalu. Dua malam, tiga malam lewat hingga malam-malam lainnya tak jua ditemukan perempuan misterius itu di tepi sungai. Sampai akhirnya Abu tak ingin meneruskannya lagi. Tak ada yang melihat perempuan itu. Abu pun juga tak melihatnya baik di pasar, di sekolah atau di mana pun. Hadiah sekeranjang apel akhirnya ia bagikan pada orang-orang yang lapar. Setiap malam Abu menyisakan beberapa apel untuk dibagikan pada mereka yang membutuhkan. Abu lebih nyaman dan lega melakukan kegiatan itu daripada terjebak pada pikiran menemukan perempuan itu. Sejak itu Abu kembali menjalani hidupnya seperti biasa.
Malam itu, pasar sedang ramai. Ya ada konser Seloin, komposer muda yang tengah naik daun. Pasar malam akan diadakan sebulan penuh. Di tengah peluang rezeki nomplok itu, Abu memilih tak membuka lapaknya. Dia hanya buka pagi hingga sore. Malamnya, dia ingin menemani putrinya. Kali ini, Abu ingin mengajak Azalfa bermain di pasar malam.
“Bersenang-senanglah, berteriaklah, tertawalah sesukamu. Ayah akan setia menemanimu. Seraphim kecilku, teruslah bermain. Itulah duniamu. Nikmatilah. Ayah juga akan menikmati setiap detik waktu bersamamu,” suara hati Abu bergema untuk putrinya.
Di tengah lampu yang berkelap-kelip, pasar yang ramai orang berlalu lalang, berbagai permainan yang seru dan makanan yang enak-enak, tak sengaja Abu melihat perempuan misterius berpakaian hitam itu dari kejauhan. Ya Abu yakin itu dia. Dia tampak melempar senyum dari jauh dan melambaikan tangan ke arah Abu. Sementara Azalfa sedang asyik menikmati permennya. Abu berbalas senyum. Hanya berdiam. Tak sejengkal pun kaki melangkah, hanya sebuah pesan yang dia kirim.
“Terima kasih sudah mengingatkanku. Apa yang sudah pergi tak kuasa manusia mengembalikannya. Terima kasih sudah memberitahuku tentang perasaan putriku, tentang pelajaran memahami putriku, tentang kerinduan yang dia simpan, dan ia kini harus melepaskannya. Aku pun juga begitu. Terima kasih telah mengajarkanku untuk lebih memahami diriku sendiri dan bagaimana melanjutkan hidup. Itulah yang bisa kuucapkan pada siapa pun kau, siapa pun yang mengirimmu. Aku akan mengingatnya baik-baik. Takdir yang terbaik adalah apa yang sedang kujalani, hadiah terbaik adalah apa yang kini kumiliki,” Abu balas melambaikan tangan padanya.***
………………………………………………………………………………………………………..
Kisah ini merupakan sepenggal dari rangkaian kisah Seraphim, baik berbentu novel maupun cerita pendek. Beberapa kisahnya bisa dinikmati di tautan >>> ini
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com

