Mitos Pedalungan

Kawasan pesisir utara Jawa Timur, yang terbentang dari Tuban, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, sampai Banyuwangi, secara historis memiliki kedekatan hubungan dengan pulau seberangnya, yang tak lain adalah Madura. Secara geografis, selat memang memisahkan keduanya, namun secara ekonomi dan kultural selat mampu menjalin sebuah kedekatan. Laut yang tampaknya memisahkan, sebenarnya juga menyatukan. Hubungan ekonomi dan kebudayaan lebih sering terjalin di antara pantai satu dengan yang lain, daripada di antara suatu daerah dengan daerah lain di pulau yang sama.[1] Dilihat secara geografis juga, pulau Madura tampak seperti kepanjangan pulau Jawa. Hal ini juga menjadi faktor pendorong migrasi berkelanjutan antarkeduanya. Bahkan sampai awal abad 20, perjalanan melalui laut lebih mudah dan murah dibanding daratan. Namun semenjak diresmikannya jembatan Suramadu tahun 2009, jalur daratan juga menjadi priorotas. Sebagai perbandingan, jalur laut dari pelabuhan Jangkar ke Kalianget sekitar 4-8 jam, sedangkan jalur jembatan dari Surabaya ke Bangkalan sekiar 30 menit. Keberadaan jembatan Suramadu pun juga semakin menambah derasnya laju migrasi dan intensitas hubungan antarpenduduk di kedua pulau tersebut.

Berdasarkan catatan Laurence Husson[2], migrasi penduduk Madura dimulai pada abad ke 13. Pada saat itu, kerajaan Madura dianggap sebagai bagian subordinat dari kerajaan Singasari. Dalam kurun abad 13-16, hutan Tarik – daerah sebelah selatan Surabaya – menjadi saksi kedatangan para pasukan dan pekerja dari Madura dalam rangka pembentukan awal kerajaan Majapahit. Di tengah-tengah hutan Tarik, kraton Majapahit mulai didirikan, di barat laut gunung Kelud, tak jauh dari kota Mojokerto sekarang. Orang-orang dari Madura secara berkelanjutan terus-menerus bermigrasi ke Jawa dengan berbagai motivasi. Abad ke 16-18, terjadi banyak peperangan baik antarkerajaan, maupun dengan melibatkan pasukan VOC. Ekspedisi militer ini membuat banyak orang-orang dari Madura menyebar dalam jumlah yang cukup signifikan, bahkan sampai mampu membuat zona pemukiman Madura di Lumajang dan Malang. Prajurit Madura banyak direkrut dalam perang oleh VOC karena terkenal dengan kekuatan dan ketangkasannya dalam berperang, mereka kemudian disebut dengan pasukan Barisan. Setelah masa kerajaan dan penjajahan, migrasi orang-orang Madura ke Jawa cenderung bermotif ekonomi, mencari lapangan pekerjaan dan urbanisasi.

Proses migrasi penduduk Madura ke Jawa bukannya tanpa persoalan. Banyak problem yang muncul kemudian, antara lain secara sosial dan kultural. Secara sosial, para migarn Madura memiliki kecenderungan eksklusif, mereka lebih erat menjalin hubungan dengan sesama Madura daripada dengan orang Jawa. Ada asosiasi kuat antarorang Madura yang datang dari desa yang sama berupa bentuk kekerabatan dan kepercayaan yang kuat. Eksklusifitas yang mensyaratkan penegasan batas identitas ini berpotensi besar memicu konflik. Namun, tak dapat disangkal juga, banyak migran Madura yang menjalin hubungan erat dengan orang Jawa, mereka hidup dan tinggal saling berdampingan, bahkan eksogami pun juga marak terjadi. Problem kulturalnya, orang Madura mendapatkan penamaan dan karakterisasi dari orang Jawa. Hubungan diantara keduanya selalu tidak dalam ruang yang kosong, hubungan itu dibentuk oleh konteks historis perihal identitas Madura sebagai migran. Mereka cenderung memperoleh stereotip-stereotip tertentu, karena mereka cukup terampil dalam pekerjaan kasar, mereka berwatak keras, berkarakter keras dan berbahasa kasar. Berdasarkan pengalaman Huub de Jonge di Surabaya, sudah tak terhitung lagi berapa kali ia diperingatkan agar tidak naik becak yang dikemudikan orang Madura malam-malam. Dikatakan ia akan dirampok, tukang becaknya tak tahu jalan dan hanya pura-pura tahu.[3] Pada intinya, ia disarankan untuk waspada ketika berhubungan dengan orang Madura, meskipun kejadian itu tidak pernah terjadi padanya.

Labelisasi terhadap orang Madura tak hanya berupa stereotip dan karakterisasi, namun politik mikro ini sampai pada arena pemberian nama. Identitas migran tidak pernah bisa dilepaskan dari diri orang Madura. Maka dari itu, mereka diberi nama pedalungan. Riset Retsikas di Alas Niser, Probolinggo tahun 1998-2000 menemukan istilah pedalungan, yang diperuntukkan bagi orang asli Madura yang tinggal dan menetap di luar pulau Madura, khususnya di pesisir utara Jawa Timur.[4] Pedalungan diberikan oleh orang Jawa di luar Probolinggo, seperti orang Jawa di Surabaya dan Yogyakarta. Istilah pedalungan berasal dari bahasa Jawa, yang merupakan gabungan dari dua kata, medal – satuan leksikal dari level karma – yang bermakna keluar atau meninggalkan, dan lunga, dari level ngoko, yang bermakna berangkat, pergi atau merantau. Di sisi lain, orang Madura memaknainya secara berbeda. Mereka memiliki agensi terhadap penamaan dan pemaknaan dari orang Jawa. Mereka memaknai pedalungan sebagai anak hasil perkawinan campur (eksogami), tak hanya antara Jawa dengan Madura, tetapi bisa dengan Cina maupun Arab. Pedalungan juga dialamatkan pada orang yang tidak jelas juntrungan keetnisannya, karena sudah mengalami percampuran dari sekian banyak generasi. Karena eksogami tersebut marak terjadi di daerah pesisir utara Jawa Timur, daerah itu kemudian juga dilabeli dengan nama pedalungan, yakni tempat di mana terdapat orang-orang dari berbagai etnis yang saling membaur.

Dari istilah pedalungan terlihat bahwa ada sebuah bentuk kuasa orang Jawa dalam ranah pemberian nama sekaligus makna, khususnya kepada orang Madura. Konstruksi subjek pedalungan (medal+lunga = perantau) bagi orang Jawa identik dengan orang Madura, yang secara politis bermaksud untuk mengingatkan bahwa mereka, orang Madura, adalah migran sekaligus tamu di tanah Jawa. Subjek pedalungan yang merujuk pada anak hasil eksogami, Jawa-Madura, secara implisit mengungkapkan praktik pihak Jawa dalam mengeksklusikan/mengeluarkan orang Jawa yang telah bercampur dengan Madura, bahwa mereka, orang Jawa yang telah bercampur bukan lagi orang Jawa, mereka secara tak langsung telah di-Madura-kan, dengan memberi nama pedalungan, yang identik dengan orang Madura. Di sisi lain, pihak Madura yang memaknai pedalungan sebagai anak Jawa-Madura, bukan lagi bermakna perantau atau migran, merupakan perlawanan pemaknaan terhadap otoritas Jawa. Fenomena ini menunjukkan sebuah kuasa pihak Madura dalam praktik pemaknaan pada sebuah identitas, pedalungan, atau power untuk mendefinisikan subjek yang eksis dalam komunitasnya. Ada semacam ketidakrelaan terhadap otoritas Jawa perihal pemaknaan, karena pihak Madura juga berhak memberikan pemaknaan terhadap suatu identitas mengingat keduanya hidup saling berdampingan dalam suatu masyarakat. Maka seraya menyanggah, fenomena ini berkata, “Maaf kami, orang Madura, bukan lagi tamu di tanah Jawa yang setia menuruti kuasa tuan rumahnya”.

Daftar Rujukan

[1] Denys Lombard, Nusa Jawa:Silang Budaya 1:Batas-Batas Pembaratan (cetakan keempat), (Jakarta:PT Gramedia Utama, 2008), hlm.14.

[2] Laurence Husson, “Eight Centuries of Madurese Migration to East Java”, Asia and Pacific Migration Journal 6 (1), 1997, hlm 77-102.

[3] Huub de Jonge, Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi:Esai-Esai tentang orang Madura dan Kebudayaan Madura, Yogyakarta:LKis, 2011) hlm.77.

[4] Konstantinos Retsikas, “The Power of the Senses Ethnicity, History and Embodiment in East Java, Indonesia, dalam Indonesia and the Malay World, (London:Routledge, 2007), hlm. 184-185.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *