Menikah karena Cinta Adalah Produk Budaya Modern, Dahulu Jatuh Cinta Dianggap Dosa dan Kegilaan

Brikolase.com – “(Penikahan itu) di bawah pengaruh hasrat yang paling keras, paling gila, paling menipu, dan paling bersifat sementara. Mereka diharuskan bersumpah untuk selalu dalam kondisi bersemangat, abnormal, dan melelahkan sampai maut memisahkan,” begitulah kata seniman dan penulis George Bernard Shaw.

Pikiran Shaw tentang pernikahan terasa lucu saat ia menulisnya di awal abad ke-20 hingga hari ini. Bagi Shaw, pernikahan itu menggambarkan ekspektasi yang tidak realistis dari sebuah ideal budaya yang sangat dijunjung tinggi, bahwa pernikahan seharusnya didasarkan pada cinta yang mendalam dan pasangan harus terus mempertahankan gairah itu hingga ajal menjemput. Selama ribuan tahun, lelucon semacam itu tidak mendapat tanggapan serius.

Dalam sebagian besar sejarah manusia, tidak terpikirkan bahwa orang akan memilih pasangan hidup mereka berdasarkan sesuatu yang rapuh dan irasional seperti cinta, lalu menumpahkan semua hasrat seksual, intim, dan kepedulian mereka dalam pernikahan tersebut.

Banyak sejarawan, sosiolog, dan antropolog menganggap cinta romantis (dua sejoli) sebagai penemuan baru dalam budaya Barat (modern). Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar.

Orang-orang selalu jatuh cinta, dan sepanjang zaman banyak pasangan yang saling mencintai dengan tulus. Namun sangat jarang dalam sejarah, cinta dilihat sebagai alasan utama untuk menikah. Ketika seseorang memperjuangkan keyakinan (menikah karena cinta) yang aneh seperti itu, hal ini dianggap sebagai ancaman serius bagi tatanan sosial, bukan sebagai bahan lelucon.

Di beberapa budaya dan waktu tertentu, cinta sejati bahkan dianggap tidak sejalan dengan pernikahan. Plato menganggap cinta sebagai emosi yang indah yang mendorong pria untuk berperilaku terhormat, tetapi yang ia maksud bukanlah cinta terhadap wanita, melainkan cinta antara sesama pria.

Beberapa masyarakat menganggap cinta yang berkembang setelah pernikahan adalah hal yang baik atau melihat cinta sebagai salah satu pertimbangan, meskipun bukan yang utama, dalam memilih pasangan. Bahkan ketika masyarakat di masa lalu menerima atau mendorong cinta dalam pernikahan, cinta tersebut diatur dengan ketat. Pasangan tidak boleh menempatkan perasaan mereka di atas komitmen yang lebih penting, seperti ikatan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau Tuhan.

Baca juga: Sejarah Kelam AS, Joe Biden Minta Maaf pada Penduduk Asli atas Kekerasan di Sekolah Asrama Suku Indian, Begini Sejarahnya

Di India kuno, jatuh cinta sebelum menikah dipandang sebagai gangguan sosial, nyaris antisosial. Orang Yunani menganggap jatuh cinta sebagai jenis kegilaan, yang turut diadopsi dalam budaya Eropa di abad pertengahan. Di abad pertengahan, orang Prancis mendefinisikan cinta sebagai “gangguan pikiran” yang bisa disembuhkan dengan hubungan seksual, baik dengan orang yang dicintai atau dengan pasangan lain. Sastrawan Oscar Wilde pernah mengatakan bahwa cara tercepat untuk mengatasi kerinduan dan godaan (cinta) adalah segera menyalurkannya dan lanjut ke hal-hal lain yang lebih penting.

Di China, cinta yang berlebihan antara suami dan istri dianggap sebagai ancaman terhadap soliditas keluarga besar. Orang tua bisa memaksa anak laki-laki untuk menceraikan istrinya jika perilaku atau kebiasaan kerja si istri tidak memuaskan mereka, terlepas dari apakah ia mencintainya atau tidak.

Mereka juga bisa memaksanya untuk mengambil selir jika istrinya tidak melahirkan anak laki-laki. Jika keterikatan romantis seorang anak laki-laki kepada istrinya menyaingi klaim orang tua atas waktu dan kinerja pasangan tersebut, orang tua bahkan bisa mengembalikan istri tersebut ke keluarganya. Kata ‘cinta’ dalam Bahasa China secara tradisional juga tidak merujuk pada perasaan suami-istri tetapi menggambarkan hubungan terlarang dan tak disetujui secara sosial.

Pada abad ke-12 dan ke-13 di Eropa, perzinaan justru dipandang sebagai bentuk cinta tertinggi di kalangan bangsawan. Menurut Countess of Champagne, cinta sejati tidak mungkin “memancarkan kekuatannya satu sama lain antara dua orang yang sudah menikah.

Andreas Capellanus, seorang pendeta untuk Countess Marie of Troyes di Prancis abad ke-12, menulis risalah tentang prinsip-prinsip cinta kesatria. Aturan pertama yang diutarakannya adalah bahwa “pernikahan bukan alasan untuk tidak mencintai.” Namun, yang dia maksud adalah mencintai seseorang di luar pernikahan. Hingga abad ke-18, esais Prancis Montaigne juga menyatakan bahwa pria yang mencintai istrinya adalah orang yang begitu membosankan karena tidak ada orang lain yang boleh mencintainya.

Cinta kesatria mungkin lebih sering muncul dalam karya sastra daripada kehidupan nyata. Namun, selama berabad-abad, para bangsawan dan raja juga jatuh cinta kepada para pelacur ketimbang istri yang mereka nikahi karena alasan politik. Ratu dan wanita bangsawan harus lebih berhati-hati dibandingkan suami mereka, tetapi mereka juga mencari cinta dan keintiman di luar pernikahan.

Perbedaan tajam antara cinta dan pernikahan ini juga lazim di kalangan kelas bawah dan menengah. Banyak lagu dan cerita populer di kalangan petani Eropa abad pertengahan yang mengejek cinta dalam pernikahan.

Kisah cinta paling terkenal di abad pertengahan adalah antara Peter Abelard, seorang teolog terkenal di Prancis, dan Héloïse, keponakan cerdas dari rekan seimannya di Notre Dame. Keduanya kawin lari dan Héloïse melahirkan seorang anak. Abelard, demi menyelamatkan kariernya dan meredakan kemarahan pamannya Héloïse, mengusulkan pernikahan rahasia. Héloïse menolak gagasan tersebut, dengan alasan bahwa pernikahan tidak hanya akan merusak karier Abelard tetapi juga akan menggerus cinta mereka.

Di masyarakat yang menghargai cinta dalam pernikahan, pasangan tetap diharapkan untuk mengendalikan ekspresi kasih sayang mereka. Menunjukkan kasih sayang secara terbuka antara suami istri dianggap tidak pantas. Seorang senator Romawi dikeluarkan dari Senat karena mencium istrinya di depan putrinya. Filsuf Plutarch mengakui bahwa hukuman itu berlebihan tetapi menyatakan bahwa semua orang tahu mencium istri di depan orang lain itu “memalukan.”

Beberapa filsuf Yunani dan Romawi bahkan mengatakan bahwa seorang pria yang mencintai istrinya dengan hasrat berlebihan adalah seorang “pezina.” Berabad-abad kemudian, teolog Katolik dan Protestan berpendapat bahwa suami istri yang saling mencintai terlalu dalam telah melakukan dosa penyembahan berhala. Para teolog mengecam istri yang menggunakan panggilan mesra untuk suami mereka, karena kedekatan semacam itu merongrong otoritas suami dan rasa hormat yang seharusnya dirasakan istri.

Meskipun pemikir Islam abad pertengahan lebih menerima hasrat seksual antara suami dan istri dibandingkan teolog Kristen, mereka juga menegaskan bahwa kedekatan yang berlebihan dapat melemahkan kesalehan seorang mukmin kepada Tuhan. Laiknya di Eropa, penulis sekuler di dunia Islam percaya bahwa cinta tumbuh lebih subur di luar pernikahan.

Banyak budaya masih menganggap cinta bukan inti dari pernikahan. Di Afrika, suku Fulbe di Kamerun utara menganggap cinta bukan emosi yang sah, terutama dalam pernikahan. Seorang pengamat melaporkan bahwa wanita Fulbe “menolak keras keterikatan emosional terhadap suami” dalam percakapan dengan tetangga mereka. Di banyak komunitas petani dan kelas pekerja, cinta yang terlalu besar antara suami dan istri juga dianggap mengganggu karena mendorong pasangan untuk menarik diri dari ketergantungan terhadap jejaring sosial yang lebih luas sehingga mengganggu fungsi sosial masyarakat.

Akibatnya, pria dan wanita sering berinteraksi di muka umum, bahkan setelah menikah, sebagai pertarungan gender dan menyembunyikan kehangatan yang mungkin mereka rasakan. Mereka menggambarkan perilaku pernikahan mereka, betapapun idealnya, demi kenyamanan, meski terpaksa, atau untuk kepentingan diri sendiri daripada demi cinta atau perasaan.

Cinta sering dilihat sebagai hasil yang diinginkan dari pernikahan, bukan alasan utama untuk menikah. Tradisi Hindu merayakan cinta dan seksualitas dalam pernikahan, tetapi cinta dan ketertarikan seksual tidak dianggap sebagai alasan sah untuk menikah. “Pertama kita menikah; kemudian kita akan jatuh cinta” adalah rumusannya. Hingga tahun 1975, survei terhadap mahasiswa di negara bagian Karnataka, India, menemukan bahwa hanya 18 persen yang sangat mendukung pernikahan berdasarkan cinta, sementara 32 persen sepenuhnya menentangnya.

Demikian pula di Eropa modern awal, kebanyakan orang percaya bahwa cinta tumbuh berkembang setelah menikah. Para moralis abad ke-16 dan ke-17 berpendapat bahwa jika suami dan istri memiliki karakter yang baik, mereka mungkin akan saling mencintai. Tetapi mereka menegaskan bahwa pemuda harus dibimbing oleh keluarga dalam memilih pasangan yang layak untuk dicintai. Orang tua dan kerabat lainnya bertugas memastikan bahwa wanita memiliki mas kawin atau pria memiliki penghasilan tahunan yang baik, yang dianggap dapat membantu tumbuhnya cinta.

Pernikahan dan cinta selalu menjadi topik kompleks dalam sejarah umat manusia, dengan norma yang bervariasi di seluruh budaya dan zaman. Ini berbeda dengan pandangan modern yang sering memandang cinta sebagai fondasi utama pernikahan. Masyarakat masa lalu memiliki pendekatan yang jauh lebih pragmatis. Cinta dalam pernikahan dipandang sebagai bonus, bukan sebagai kebutuhan atau syarat mutlak.

Contoh mencolok dapat dilihat dari hubungan antara Cicero, negarawan Romawi terkenal, dan istrinya, Terentia. Meskipun mereka kerap saling bertukar surat-surat penuh kasih selama tiga puluh tahun pernikahan, Cicero akhirnya menceraikan Terentia saat dia tak lagi bisa mendukung gaya hidupnya yang mewah. Hal ini mencerminkan bahwa, di masa lalu, pernikahan lebih dilihat sebagai alat untuk mendukung status sosial dan ekonomi daripada hubungan emosional yang dalam.

Namun, tak semua individu di masa lalu harus menghadapi pilihan sulit tersebut. Anne Bradstreet, penyair Amerika abad ke-17, menikah dengan seorang teman masa kecilnya yang juga menjadi gubernur Massachusetts. Dalam puisinya, Anne menggambarkan perasaan cintanya dengan jelas, yang menentang ajaran Puritan yang melarang pasangan menempatkan pasangan mereka di atas hal lain. Anne menulis kepada suaminya, “Jika pernah ada dua menjadi satu, maka itulah kita. Jika seorang lelaki pernah dicintai oleh istrinya, maka dia adalah engkau.”

Meskipun demikian, sebagian besar orang di masa lalu cenderung menerima perjodohan oleh orang tua atau komunitas. Ada pepatah populer di Eropa awal modern yang berbunyi, “Dia yang menikah karena cinta akan menikmati malam yang baik dan hari yang buruk.” Ini menunjukkan bahwa, meski cinta diharapkan ada dalam pernikahan, hal itu bukanlah faktor utama dalam keputusan menikah.

Pandangan terhadap pernikahan di masa lalu juga dipengaruhi oleh budaya. Di China kuno, misalnya, hubungan yang paling kuat dalam kehidupan keluarga adalah antara ayah dan anak laki-laki serta antara saudara laki-laki, bukan antara suami dan istri. Loyalitas terhadap orang tua sering kali mengesampingkan perasaan pribadi. Dalam salah satu kasus, seorang hakim pernah menyuruh seorang suami meninggalkan istrinya meskipun sang istri menjadi korban kekerasan dari ayah mertuanya. Ini menunjukkan betapa dominannya konsep bakti dan kepatuhan terhadap orang tua.

Di masyarakat Eskimo, praktik pernikahan dan hubungan seksual juga sangat berbeda dari norma modern di Barat. Pasangan suami istri sering memiliki pengaturan antarkeluarga, di mana masing-masing pihak memiliki hubungan seksual dengan pasangan orang lain. Anak-anak dari pasangan tersebut merasa bahwa mereka memiliki ikatan khusus, dan masyarakat menganggap mereka sebagai saudara. Hal ini mencerminkan bahwa di masyarakat tertentu, rasa cemburu dianggap tidak sopan dan pernikahan dipandang sebagai ikatan yang lebih fleksibel.

Di banyak budaya, kesetiaan seksual tidak selalu dianggap sebagai prioritas utama dalam pernikahan. Penelitian antropologis terhadap 109 masyarakat menunjukkan bahwa hanya 48 di antaranya yang melarang seks di luar nikah untuk kedua belah pihak. Pada masyarakat tertentu, seperti suku Dogon di Afrika Barat, wanita didorong untuk menjalin hubungan di luar pernikahan pertama mereka dengan persetujuan ibu mereka. Praktik ini begitu mendarah daging sehingga sang kekasih memiliki hak untuk meminta putri mantan kekasihnya untuk menikah dengan putranya.

Masyarakat Bari di Venezuela juga memiliki pandangan unik tentang peran ayah biologis. Mereka percaya bahwa semua pria yang berhubungan seksual dengan seorang wanita (yang bukan istrinya) selama kehamilannya menyumbangkan “sebagian substansi biologis” pada anak tersebut. Suami dari wanita tersebut dianggap ayah primer sedangkan lelaki lain yang berhububgan badan disebut ayah sekunder yang juga turut punya tanggung jawab sebagai orang tua dengan memenuhi kebutuhan anak. Praktik ini dianggap demi kepentingan terbaik anak. Alhasil, anak-anak yang memiliki “ayah sekunder” ini memiliki peluang hidup hingga usia lima belas tahun dua kali lebih besar dibandingkan saudara mereka yang tidak memiliki ayah sekunder.

Contoh-contoh dari berbagai budaya tersebut menunjukkan bahwa tidak ada model universal untuk kesuksesan atau kebahagiaan dalam pernikahan. Perbedaan dalam norma dan ekspektasi pernikahan memperkaya pemahaman kita tentang fleksibilitas dan keragaman hubungan manusia. Apa yang dianggap skandal di satu budaya bisa jadi merupakan kebiasaan yang diterima dengan nyaman di tempat lain. Jadi, meskipun sejarah mencatat pola-pola tertentu dari pernikahan yang tidak bahagia, pernikahan yang sukses selalu memiliki jalan ceritanya sendiri, unik dan berbeda di setiap budaya serta zaman.***

Sumber

Coontz, S. (2016). The Radical Idea Of Marrying For Love, The Sun Magazine