Kritik Tajam, Begini Duduk Perkara Pembatalan Pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional

Lukisan Konoha I karya Yos Suprapto

Brikolase.com – Pameran lukisan tunggal Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan Tanah dan Kedaulatan Pangan”, yang dijadwalkan dibuka pada 19 Desember 2024 di Galeri Nasional, akhirnya dibatalkan.

Pembatalan ini memicu perdebatan antara pihak Galeri Nasional, kurator Suwarno Wisetrotomo, dan Yos Suprapto sebagai seniman.

Permasalahan utama yang memicu penundaan pameran adalah ketidaksepahaman antara Yos Suprapto dan kurator, Suwarno Wisetrotomo, terkait relevansi beberapa karya seni dengan tema besar pameran.

Kurator menilai beberapa karya Yos, seperti lukisan petani memberi makan orang kaya, tidak sejalan dengan konsep pameran.

Baca juga: Kenapa Karya Seni Pisang ‘Comedian’ Dihargai Mahal 98 Miliar? Ini 5 Alasannya

“Karya itu mengurangi bobot tema pameran. Sebagai kurator, saya bertanggung jawab memastikan semua karya memiliki relevansi dengan konsep yang telah disepakati,” ujar Suwarno.

Yos, di sisi lain, merasa bahwa karya-karyanya justru mencerminkan realitas sosial yang erat kaitannya dengan tema kedaulatan pangan.

“Bahasa seni itu multitafsir. Kalau mereka menganggap itu vulgar, itu hanya menunjukkan keterbatasan pemahaman mereka terhadap seni,” tegas Yos​.

Salah satu karya yang menjadi sorotan adalah lukisan petani memberi makan anjing, yang dianggap vulgar oleh kurator.

Yos membantah tuduhan tersebut dengan menjelaskan makna simbolis karya itu.

“Petani memberi makan anjing adalah gambaran nyata kehidupan petani yang harus melindungi ladangnya dari babi hutan.

Ini adalah bagian dari perjuangan mereka dalam mempertahankan pangan,” jelas Yos.

Ada pula lukisan Yos yang dianggap kurator terlalu vulgar dan tokoh yang mirip Jokowi yang digambarkan sebagai raja yang jadi kontroversial.

Yos menganggap bahwa penggunaan elemen telanjang dalam seni rupa adalah simbol kejujuran dan kepolosan, bukan kemesuman sebagaimana dituduhkan​.

Yos Suprapto menjelaskan bahwa penggunaan simbol raja dalam karya-karyanya adalah bentuk kritik terhadap kekuasaan yang berjarak dari rakyat.

“Untuk menyimbolkan bahwa figur itu adalah figur penguasa, saya menggunakan simbol kekuasaan dong.

Penguasa kalau hanya kopiahnya pak ustaz, belum tentu dia seorang penguasa kan? Itu mahkota raja yang saya pakai,” ujar Yos Suprapto, dikutip dari kanal YouTube Jakartanicus.

Menurutnya, mahkota atau topi yang digambarkan adalah simbol kekuasaan, namun dengan lekukan-lekukan garis yang keras, yang menggambarkan kekakuan dalam hubungan antara rakyat dan penguasa.

Simbol ini menyiratkan bahwa kekuasaan tidak lagi bersifat harmonis, melainkan timpang dan menindas.

Lukisan-lukisan Yos juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia, terutama peristiwa 1965 yang meninggalkan trauma mendalam.

Yos Suprapto menilai bahwa tragedi ini memunculkan budaya kebohongan dan individualisme ekstrem di masyarakat.

“Pembantaian 65 itu mengakibatkan bangsa Indonesia trauma psikologis yang luar biasa.

Mereka hidup di dalam sebuah ketakutan, sehingga untuk menyelamatkan diri sendiri, orang sering berbohong,” jelas Yos.

Dalam lukisan-lukisannya, Yos kerap menggambarkan rakyat kecil yang tertindas, sementara figur penguasa menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat.

Salah satu lukisan memperlihatkan seorang penguasa yang duduk santai menikmati anggur dan buah, sementara di bawahnya rakyat kecil hanya mendapatkan remah-remah.

“Lihatlah yang di samping itu ada rakyat kecil yang berteriak-teriak tapi enggak digubris, mereka tetap jilat pantat untuk mencapai tujuan,” tambahnya.

Lukisan Yos Suprapto juga menyoroti bagaimana kekuasaan dan korupsi saling berkaitan erat.

Ia menggambarkan figur-figur yang memanjat tangga menuju kekuasaan dengan cara menjilat dan menindas orang lain.

“Hyper individu ini dalam konteks kultur Jawa dan Surabaya adalah orang yang suka ‘jilat pantat.’

Itu adalah ungkapan budaya rakyat kecil. Dari bawah sampai ke atas, mereka saling menjilat,” tegasnya.

Menurut Yos, hilangnya gotong-royong sebagai budaya bangsa merupakan dampak dari individualisme yang tumbuh sejak peristiwa 1965.

Inilah yang membuat korupsi di Indonesia sulit diberantas, karena semua orang berusaha menyelamatkan diri sendiri tanpa peduli terhadap orang lain.

Yos Suprapto menegaskan bahwa karyanya adalah bentuk kesaksian sejarah, bukan sekadar ekspresi estetika.

Lukisan-lukisan tersebut mencerminkan realitas yang dilihat dan dialami oleh Yos, yang juga merupakan seorang aktivis sejak tahun 1970-an.

“Saya berkata jujur kok. Enggak ada tendensi politik. Itu adalah ungkapan kesenian saya sebagai saksi sejarah,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bagaimana karya seni sering kali disalahartikan sebagai ancaman politik.

Lukisan-lukisan yang menggambarkan ketidakadilan sosial kerap mendapat tekanan, bahkan beberapa kali diminta untuk diturunkan dari pameran.

“Kesenian itu harus dilihat dengan bahasa seni. Selama tidak dilakukan, enggak akan ketemu maknanya,” tegas Yos.

Yos Suprapto menganggap penundaan ini sebagai bentuk pembredelan, meskipun pihak Galeri Nasional menyebutnya sebagai langkah mediasi.

Sejak malam 19 Desember, Yos tidak lagi diizinkan mengakses ruang pameran.

“Mereka bilang ini hanya penundaan, tapi tidak ada jadwal yang pasti.

Bahkan saya sebagai seniman tidak diizinkan masuk ke ruang pameran. Bagi saya, ini adalah pembredelan,” tegas Yos​.

Sebelumnya kurator Suwarno memutuskan mundur dari pameran pada 16 Desember 2024.

Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa ketidaksepahaman dengan Yos terkait relevansi karya menjadi alasan utama.

“Saya merasa tidak cocok sebagai kurator jika karya yang dipamerkan tidak mencerminkan tema yang telah disepakati bersama,” kata Suwarno​..

Sementara Yos mengungkapkan bahwa penundaan ini telah menyebabkan kerugian material, termasuk biaya akomodasi tamu dari luar negeri yang sudah datang untuk menghadiri pembukaan pameran.

“Saya sudah mengundang tamu dari Australia, Filipina, dan Belanda. Penundaan ini membuat semua rencana hancur,” ujar Yos dengan nada kecewa​.

Pihak Galeri Nasional menekankan pentingnya menjaga kesesuaian tema, sementara Yos Suprapto menganggap pembatasan ini sebagai upaya pembungkaman terhadap kritik sosial yang ia usung melalui seni.

Komnas HAM telah menyatakan akan menyelidiki dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi dalam kasus ini.***