Gerakan seni dan aktivisme, paling tidak pada tiga tahun belakangan ini, menjadi tema-tema utama yang sering muncul dan dibicarakan di sekeliling kita. Gerakan seni dan aktivisme sepertinya tidak bisa dilepaskan dari masa-masa berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Rezim fasis ini resmi digulingkan pada tahun 1998. Sebelumnya, pada 1997-1998 mulai bermunculan bentuk-bentuk aksi dan gerakan seni yang dilakukan oleh berbagai lapisan sosial masyarakat. Mulai dari mahasiswa, aktivis, maupun seniman –salah satunya oleh penyair Widji Tukul yang dikenal melalui puisi-puisi perlawanannya.
Beberapa tahun belakangan, seniman yang berkarya pada ranah aktivisme mulai banyak dijumpai pada aktivitas seniman. Dapat diamati pada perhelatan Jogja Biennale XIII 2015, Jakarta Biennale 2015, Jatiwangi Art Factory, pameran-pameran kolektif yang diselenggarakan oleh kurator-kurator muda seperti Sita Magfira atau Angga Wijaya. Pun tak ketinggalan dengan aktivisme seni jalanan (street art) yang digawangi oleh Anti Tank Project, komunitas Taring Padi, Here Here, Ketjil Bergerak, Serrum, serta Lifepatch. Sementara di bidang teater ada pementasan-pementasan yang bergerak pada ranah aktivisme yang disutradarai, salah satunya, oleh Joned Suryatmoko. Hal ini menegaskan bahwa gerakan aktivisme seni semakin banyak dihadirkan pada lingkup kegiatan dalam penciptaan karya seni oleh seniman.
Seniman memilih seni aktivisme sebagai medium berkarya karena dinilai lebih efektif dalam memilih bentuk seni atau kesenian yang dekat dengan problem sosial keseharian masyarakat. Selain itu, faktor kedekatan persoalan ini juga memungkinkan masyarakat terlibat langsung dalam proses penciptaan karya seni. Aktivitas seni kemudian betul-betul beranjak dari persoalan sosial bersama dan dilakukan secara bersama-sama oleh seniman dan masyarakat.
Harapannya agar seni terlibat dan masuk ke dalam lingkup masyarakat luas untuk digunakan sebagai medium atau alat gerakan sosial yang lebih efektif. Kekhawatiran seniman terhadap fungsi seni semakin terjawab dengan seni sebagai medium dari aktivisme sosial. Dengan begitu, anggapan bahwa seni dan berkesenian cenderung hanya diciptakan dan dinikmati oleh dan kepada kelas atas, masyarakat elit semata, semakin terpatahkan. Bahwasanya, seni jauh berperan lebih efektif dalam aktivisme seni pada masyarakat golongan menengah dan bawah. Usaha tersebut dapat dikatakan berhasil dengan respon yang cepat dalam menanggapi hal fenomena aktivisme seni ini.
Akan tetapi, jika dilihat lebih jauh akan menimbulkan pertanyaan: bagaimana seniman merawat isu-isu tersebut sebagai kebutuhan atas seni dan kesinambungannya gerakan tersebut dengan masyarakat? Apakah bentuk aktivisme seni dapat benar-benar efektif jika dilembagakan dalam sebuah struktur di mana bantuan donor (funding) terlibat di sana? Kedua hal itu perlu ditanggapi dan dipertimbangkan lebih jauh dengan adanya gerakan seni sebagai bentuk aktivisme sosial.
Meningkatnya gerakan seni sebagai aktivisme sosial menghadapi tantangan lain yakni sikap apatis dan apatisme terhadap isu tersebut. Apatisme bisa jadi sebagai respon kedua –respon pertama dalam bentuk simpati, empati, dan seterusnya- dari gerakan yang serba cepat tanggap pada isu-isu sosial yang marak saat ini. Media tentu tidak ketinggalan memberitakan dan menayangkan laporan dari aktivitas gerakan sosial tersebut. Pun tak ketinggalan mewawancarai aktivis dan seniman yang menggawangi aksi-aksi sosial tersebut. Akan tetapi, peran media hanya semata memantau dari jarak jauh tentang keberlanjutan gerakan sosial tersebut. Karena, ada banyak isu dan persoalan sosial, politik, ekonomi lainnya yang jauh lebih menarik bagi media. Alhasil, seni aktivisme di mata media, lebih sering diberitakan dan muncul hanya sebagai respon reaktif yang kemudian hilang seiring dengan munculnya isu sosial lain yang dianggap lebih penting dan menjual.
Di balik tabiat media yang lebih condong memberitakan peristiwa terbaru dan terkini, respon sesaat media atas gerakan seni aktivisme dapat dijelaskan sebagai bentuk ketidak-matangan konsep gerakan sosial yang dibangun. Ketidak-matangan ini bentuk lain dari ketidak-siapan seniman-aktivis dalam menanggapi isu sosial yang tengah mereka perjuangkan melalui seni dengan peran media. Ketidak-siapan ini berupa kurang kuatnya landasan dalam berkarya.
Seniman dapat dikatakan sebagai aktivis sosial jika memiliki pedoman yang kuat untuk merespon permasalahan sosial yang ada. Kemampuan merespon ini tidak semata-mata sebagai respon sesaat dan reaktif terhadap isu yang dihadirkan oleh media. Landasan yang kuat dapat dijadikan sebagai modal utama untuk berkarya bagi seniman dengan mengangkat isu-isu sosial tertentu. Dengan begitu karya seni seorang seniman adalah buah dari perjalanan refleksi yang panjang atas kondisi sosial di sekelilingnya. Karena, ini berkaitan dengan pertanggungjawaban seniman terhadap masyarakat atau komunitas. Seniman haruslah paham akan posisinya di tengah masyarakat dengan tidak meninggalkan begitu saja masyarakat dengan problem sosialnya.
Selama akhir April sampai akhir Mei kemarin berlangsung pameran seni rupa Bara Nyala Mama Mama di Ark Galerie yang merupakan galeri seni rupa kontemporer. Pameran ini merupakan pameran kolaborasi antara Moelyono (seniman realis) dengan Paskalena Daby (aktivis Papua) dan Benny Wicaksono (seniman multimedia). Moelyono merupakan seniman yang konsisten bergerak pada ranah aktivisme seni dengan terjun langsung ke daerah-daerah konflik dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Ia bergelar sebagai Pak Moel Guru Gambar. Bersama warga dan anak-anak di kawasan konflik, Moelyono hadir dan mengajak mereka menggambar apa saja yang mereka sukai. Aksi ini merupakan cara Moelyono dalam melakukan pendekatan dan menyelami persoalan kehidupan masyarakat di kawasan berkonflik secara langsung. Kali ini Moelyono menghadirkan bentuk aktivisme seni tentang permasalahan masyarakat Papua dengan pendekatan estetika.
Ketika karya seni aktivisme tersebut masuk ke galeri seni (ruang pameran) dengan rancangan ide sang kurator, pemaknaan atas karya seni aktivisme semacam ‘direduksi’ pada pemaknaan yang sarat akan unsur dan tanda estetika seni. Hal ini dapat dimengerti karena ia menjadi bagian dari formasi estetika seni aktivisme yang lebih luas. Tak dapat ditampik bahwa politik galeri atau ruang pameran tidak bisa dilepaskan dari profil pengunjung, penikmat, atau konsumen yang datang dari berbagai latar kelas sosial, jenjang pendidikan, serta beragam profesi. Dengan begitu, sudut pandang pemaknaan akan seni aktivisme di ruang galeri pun sangatlah beragam dan luas.
Kesadaran seniman terhadap seni aktivisme dan memilih jalan tersebut sebagai medium berkarya merupakan pengujian panjang terhadap kekaryaan mereka. Jika konsisten, terus memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dalam berkesenian akan dapat memberikan jalur mediasi yang baik. Problem sosial akan lebih baik jika disikapi oleh jalan seni yang mengedepankan harmonisasi dan seni sebagai medium estetis. Penggabungan keduanya merupakan jalan tengah bagi seniman untuk berkarya dengan mengangkat persoalan sosial dalam karyanya. Seni pasti abadi. Dan, aktivisme seni merupakan jalan alternatif-terbaik bagi seniman untuk berkarya dalam merespon problem sosial yang belum sepenuhnya terselesaikan oleh negara.
Keterangan
Makalah ini disampaikan dalam diskusi bertajuk Seni dan Aktivisme Sosial, bersama Taring Padi dan Malmime-Ja. Diskusi diadakan oleh Ketjil Bergerak dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat, Jumat 22 April 2016, di Jogja National Museum.
Bacaan terkait

Belajar Filsafat, gemar melihat pameran seni rupa dan pertunjukan, serta hobi menonton film. Bagian riset dan pengembangan Brikolase.