Babad Diponegoro terpilih sebagai Memory of the World oleh UNESCO pada 2013 lalu. Babad Diponegoro itu ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado 1831-1832. Pentingnya nilai sejarah Babad Diponegoro ini membuat sejumlah kalangan merasa perlu untuk menghidupkannya secara terus-menerus kepada khalayak umum. Berangkat dari kepentingan ini, gagasan awal kemudian muncul dari Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) yang kemudian bersambut ke Jogja Gallery untuk menyelenggarakan Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro, dengan kurator Mikke Susanto dan Sri Margana.
Pameran yang diadakan 1-24 Februari 2019 tersebut melibatkan 51 pelukis dengan 50 lukisan. Proses kurasi dilakukan dengan memberikan tema dalam Babad Diponegoro kepada setiap pelukis sesuai dengan gaya, corak, dan spesialisasi lukisannya. 50 adegan diambil dari 50 pupuh Babad Diponegoro lalu dijadikan 50 karya lukis. Adegan tersebut merangkum perjalanan hidup Pangeran Diponegoro mulai kecil, melakoni Perang Jawa, sampai berakhir dijebak Belanda di Magelang.
Pelukis setia pada penggambaran kisah nyata dalam Babad yang dituangkan dalam karya lukisnya. Para seniman diberi kebebasan untuk memvisualisasikan wajah Pangeran Diponegoro, karena tak ada dokumen foto Pangeran Diponegoro. Begitu juga dengan penampilan sosok Pangeran Diponegoro, pelukis bebas memvisualisasikannya. Hal ini dimaksudkan untuk menyuguhkan keberagaman sosok Pangeran Diponegoro sebagai manusia Jawa. Sehingga Pangeran Diponegoro, tak melulu digambarkan secara seragam dengan sosok gagah, yang menunggang kuda dan memakai jubah yang berkibar.
“Yang dicari adalah kedalaman penggambaran hidup Pangeran Dipoegoro, bukan kebenaran atau ketepatan potret dirinya”, tutur Mikke Susanto dalam diskusi di Jogja Gallery (5/2/2019). Mikke melanjutkan, “Setiap pelukis menangkap gejala kontekstual yang terjadi ke dalam lukisannya. Hal ini merupakan sifat kontemporer dari lukisan. Sebagai perbandingan, ada 4 lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro. Pertama karya Pieneman, bertajuk Penyerahan Diri Diponegoro. Kemudian karya Raden Saleh, bertajuk Penangkapan Pangeran Diponegoro. Hari ini ada dua lukisan Pangeran Diponegoro saat ditangkap yakni karya Haris Purnomo, Suluk ke 51 Babad Diponegoro, dan Ronald Manullang, Magelang Pagi Hari 28 Maret 1830”.
Mikke menjelaskan bahwa keempat lukisan ini hampir tak bisa disebut sebagai visualisasi yang paling dekat dengan sejarah. Pelukis Pieneman memvisualisasikannya berdasarkan kesaksian de Kock. Raden Saleh melacak sendiri dari saksi-saksi yang ada di Jogja. Sedangkan Haris dan Ronald berangkat dari versi Babad Diponegoro. Dua lukisan Pieneman dan Raden Saleh adalah visualisasi penangkapan Diponegoro di luar gedung. Sedangkan karya Haris dan Ronald adalah visualisasi di dalam gedung. Keempat lukisan memiliki kisah dan subjektivitas pelukis masing-masing yang saling melengkapi. Kasus menarik yakni lukisan Pieneman, yang tersimpan di Rijksmuseum Amsterdam, hari ini bingung akan ditempatkan di posisi mana. Ia tidak bisa ditempatkan di lokasi terhormat karena fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa de Kock menipu dan menjebak Pangeran Diponegoro. De Kock tidak menang perang secara jantan, tetapi menggunakan cara-cara licik. Pangeran Diponegoro juga tak pernah menyerahkan diri pada Belanda. Pada akhirnya lukisan Pieneman telah mencoreng muka Belanda.
Babad Diponegoro bisa dikatakan sebagai karya sastra. “Babad menyajikan fakta sejarah dalam langgam sastra. Dalam babad, tersaji narasi dan fakta sejarah yang dituturkan melalui tembang, syair maupun puisi. Itulah mengapa Babad juga bisa masuk dalam kategori sastra”, tutur Sri Margana. Peralihan wahana dari media bahasa tulis ke lukisan, melalui pameran ini, dimaksudkan untuk lebih mengenalkan Babad Diponegoro kepada khalayak umum, juga sebagai sarana bertemu dengan tokoh Pangeran Diponegoro secara visual, melalui imajinasi pelukis.
Dekonstruksi dalam Alih Wahana Babad ke Lukisan
Setiap perupa punya pengalaman masing-masing dalam menuangkan cerita Babad Diponegoro ke dalam karya lukisannya. Seorang pelukis yang juga keturunan Pangeran Diponegoro, Astuti Kusumo, menceritakan proses kreatifnya. “Saya mendapatkan pupuh 37 di dalam Asmarandana. Di situ ditulis bahwa Pangeran Diponegoro dalam kondisi bersedih karena kehilangan tiga orang pengikutnya sekaligus secara bersamaan di medan perang. Mereka adalah sang paman Ngabehi Joyokusumo yang sekaligus gurunya dan dua anaknya. Untuk melukiskannya, saya melakukan penelitian dengan membaca buku. Bagi saya ini cukup sulit. Saya berusaha untuk menggambarkan suasana batin Pangeran Diponegoro. Saya diberi waktu 3 bulan. Saya melakukan perjalanan ke makam Joyokusumo, di Imogiri pada malam hari. Ketika saya berdoa di makam dalam suasana malam, tiba-tiba ada angin kencang yang demikian hebat. Setelah saya sampai di rumah, saya salat malam, lalu saya dapat gambaran. Waktu itu jelas sekali bayangan dalam kepala termasuk warna lukisannya. Setelah itu saya menuangkannya dalam lukisan”.
Pengalaman pelukis, konteks yang melingkupinya, serta gaya dan corak karya lukisnya jadi dasar seperti apa ia menggambarkan sosok dan kehidupan Pangeran Diponegoro. Setiap generasi juga memiliki sejarahnya sendiri. Karya Pieneman dan Raden Saleh juga punya konteks, pengalaman, dan sejarahnya sendiri. Hal inilah yang memungkinkan adanya proses dekonstruksi simbolik.
Tokoh populer pengusung dekonstruksi adalah Jacques Derrida. Dekonstruksi adalah metode pembacaan deskripsi sekaligus transformasi makna teks. Ia menggambarkan makna dari teks sekaligus juga mengubah teks yang kemudian punya makna baru. Lukisan F. Sigit Santoso bertajuk Abdulrohim Jokowibowo Namaku, berusaha mendekonstruksi citra Pangeran Diponegoro. Lukisan tersebut menunjukkan wajah Joko “Jokowi” Widodo, Presiden Indonesia sekaligus calon presiden pada pemilihan umum April 2019 kelak, yang berpakaian ala Pangeran Diponegoro.
Lukisan tersebut berdasar pada pupuh XIV Sinom, Babad Diponegoro, yang menuturkan pada usia 20 tahun, Pangeran Diponegoro berkelana ke pesantren dan hutan-hutan untuk bertapa dengan menggunakan pakaian yang lusuh sehingga tak ada yang tahu. Pangeran Diponegoro menyamar dengan nama Abdulrohim. Sang pelukis menemukan ruang kosong teks “tak ada yang tahu” yang kemudian ditafsir dan direkontekstualisasikan pada zaman sekarang. Sosok Jokowi diambil dengan mengacungkan jari telunjuk, yang bisa dimaknai nomor urut capresnya. Tahun 2019 adalah tahun politik yang panas dengan pemilu serentak: pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota legislatif. Sosok Jokowi yang berpakaian ala Pangeran Diponegoro bisa ditafsir Jokowi sebagai manusia Jawa yang bertarung dalam perang Jawa atau pada konteks sekarang pilpres 2019.
Secara estetika, dekonstruksi simbolik ini, seturut dengan konsep postmodern Linda Hutcheon. Estetika postmodern bersifat teoritis dan praktis yang merekontekstualisasi dan menghubungkan kembali estetika dalam dan dengan masyarakat, sejarah dan politik. Model hubungan ini membentuk dua karakteristik yakni ironi –efek nostalgia, rekontekstualisasi bentuk masa lalu akan membuat pernyataan ideologis– dan parodi –hubungan paradoks dengan objeknya, dalam hal ini masa lalu historis dan estetis. Rekontekstualisasi sosok Pangeran Diponegoro menjadi Jokowi menjadi pernyataan ideologis bahwa Jokowi sebagai sosok pemimpin layaknya Pangeran Diponegoro. Hal ini juga bermakna parodi yakni mengutip sosok Pangeran Diponegoro, dijadikan sosok Jokowi, untuk kesenangan estetika.
Dekonstruksi simbolik turut menjadi dekonstruksi historiografi yang selama ini jadi monopoli sejarawan, atau jadi versi sejarah negara yang tunggal atas peristiwa sejarah. Dekonstruksi ini muncul sebagai tafsir para pelukis terhadap peristiwa sejarah, dalam hal ini, sejarah kehidupan Pangeran Diponegoro. Dekonstruksi simbolik turut melahirkan historiografi visual yang punya kekuatan estetis dan bahasa visual dalam warna, ikon dan bentuk yang memperkaya bahasa tulis dalam sejarah buku teks.
Unduh katalog pameran di sini
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com