Teater dan Ekologi
Perkembangan kapitalisme dan industri dalam kehidupan masyarakat sekarang membawa dampak serius pada soal lingkungan. Alam tempat manusia dan makhluk hidup lain tinggal mengalami eksploitasi besar-besaran. Industrialisasi bekerja dengan mesin yang tak ramah lingkungan. Alam dieskploitasi demi menunjang produksi industri secara besar-besaran dan terus-menerus. Polusi terjadi, kerusakan lingkungan tak bisa dihindari. Manusia menjadi satu-satunya tertuduh yang menyebabkan segala kerusakan alam. Serta manusia juga lah, satu-satunya, yang mampu menghentikannya, atau bahkan harus memperbaikinya. Dari sinilah kemudian, semangat perhatian dan kepedulian terhadap alam muncul. Usaha kepedulian itu antara lain melahirkan paham tentang etika lingkungan. Manusia perlu punya moral dalam berhubungan dengan alam. Manusia dan makhluk hidup lain sama-sama memiliki hak untuk hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan/alam. Paham ini kemudian juga disebut sebagai ekologi.
Ekologi yang sedang terancam ini melahirkan sikap serta ekspresi manusia dalam usaha untuk menunjukkan kepedulian dan menghentikan kerusakan alam. Ekspresi tersebut antara lain terwujud dalam teater. Dalam kumpulan esainya Theatre Ecology, Baz Kershaw menggunakan istilah ekologi dalam teater sebagai metafora dan model teori yang menjelaskan tentang hubungan kompleks antara teater, media kontemporer, sikap protes dan masyarakat kekinian. Perkembangan media baru pada seni, khususnya teater turut memicu eksperimentasi dalam proses kreatif. Seni teater juga dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kondisi zaman sekarang. Salah satunya beradaptasi dengan isu lingkungan dengan menunjukkan sikap melalui ekspresi seni. Munculnya media baru di zaman sekarang memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, keprihatinan, kepedulian dan bahkan protes tentang kondisi lingkungannya. Sikap-sikap ini menjadi lebih efektif jika disampaikan dengan cara performatif. Hal ini turut sesuai dengan karakter masyarakat kontemporer yang bersifat performatif. Di zaman sekarang, orang cenderung ekspresif, dengan kerap menunjukkan identitas dirinya melalui simbol-simbol kebudayaan atau melalui barang yang ia konsumsi. Karakter performatif merupakan wujud aktualisasi diri dengan memproduksi makna sebagai cara dia bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku sehari-hari kerap dipertunjukkan kepada publik untuk membentuk citra diri atau pandangan publik tentang dirinya. Dari sinilah, seni pertunjukan teater menjadi cara yang cukup efektif dalam mengkonstruksi pandangan publik, antara lain perihal isu ekologi.
Sikap terhadap Isu Lingkungan
Berangkat dari semangat inilah, komunitas Sakatoya berkolaborasi dengan Snooge Artwork meyajikan pertunjukan teater ekologi bertajuk #Octagon Syndrome di panggung PKKH UGM. Pentas teater ini dihelat pada 4 dan 5 Agustus 2018 dengan dukungan penuh hibah seni PKKH UGM. Teater yang disutradarai oleh B.M. Anggana ini berusaha mengekspresikan keprihatinan ekologi dengan simbol botol dan sampah plastik. Ekologi terancam dengan banyaknya sampah plastik yang notabene membutuhkan waktu 450-1.000 tahun untuk bisa terurai. Sampah plastik semakin meningkat dengan menjamurnya mini market dan mall yang banyak menjual makanan serta minuman instan dalam wadah plastik. Tempat-tempat belanja ini kerap menjadi pilihan masyarakat, yang kemudian juga membungkus belanjaannya dengan kantong plastik. Keprihatinan ini yang menjadi inspirasi dalam mempertontonkan botol dan sampah plastik sebagai estetika visual dan tema cerita #Octagon Syndrome.
Secara umum, #Octagon Syndrome bercerita tentang seorang ayah, bernama Octagon, yang mendongengkan sebuah kisah kepada kedua anak perempuannya di tempat tidur. Seorang ayah dan kedua anaknya tersebut berada dalam ruang isolasi yang dibangun dari botol dan sampah plastik. Sang ayah, dengan membaca buku, menceritakan berbagai macam peristiwa yang dialminya dari mulai cerita kakek, saudara-saudaranya, istrinya sampai kejadian bersama kedua putrinya. Sang ayah bercerita sebagai pengantar tidur baginya dan putrinya, yang sebenarnya adalah pengantar menuju kematian. Tempat yang didiaminya merupakan sebuah ruang isolasi yang memungkinkan mereka bisa hidup karena udara di luar sudah tercemar. Ruang isolasi tersebut lama-kelamaan semakin kehabisan fungsinya, yang mau tidak mau membuat siapapun yang berada di dalam akan mati tercemar. Octagon menyadari bahwa kematian sudah dekat, maka ia akan membawa anaknya ke dalam roket sebagai tempat peristirahatan terakhir. Roket tersebut diceritakan Octagon akan sanggup membawanya dan kedua putrinya menuju surga, memeprtemukan putrinya dengan ibunya. Serta menjadikan semua keluarga besar berkumpul menjadi satu.
Sampah dan botol plastik, dalam pentas #Octagon Syndrome, turut memenuhi area penonton. Panggung didesain dalam bentuk arena dengan para aktor dan aktris berada di tengah lingkaran penonton. Penonton turut dapat bersinggungan langsung dengan artistik sampah dan botol plastik serta beberapa properti yang terbuat dari botol seperti roket, pohon, kolam dan perabotan rumah lain. Penonton diajak untuk melihat sekaligus merasakan betapa kotor dan banyaknya botol dan sampah plastik di sekelilingnya, yang mewakili kondisi lingkungan di masyarakat yang sedang terancam akibat sampah plastik. Dalam ruang itu, penonton juga susah berjalan, duduk dan bergerak karena penuhnya botol dan sampah plastik. Kesulitian berjalan tersebut sengaja dibuat untuk menunjukkan betapa susahnya hidup manusia jika lingkungan sudah penuh sampah plastik. Pesan keprihatinan, kepedulian dan sikap protes akan ancaman ekologis disalurkan melalui botol dan sampah plastik. Pesan menjadi sampai kepada penonton dengan cara memberikan sentuhan langsung penonton dengan botol dan sampah plastik. Bahkan beberapa penonton nampak berinteraksi dengan sampah dan botol plastik, entah sekedar melihat, memegang, sesekali melempar ke atas serta memainkannya. Persentuhan langsung penonton dengan botol dan sampah plastik memungkinkan munculnya isi keprihatinan yang sama tentang ancaman ekologis.
Kritik terhadap Teater yang Eksklusif
Teater, sebagai seni pertunjukan, kerap menunjukkan sifat-sifat eksklusifitasnya antara lain penggunaan metafora. Memakai bahasa metafora secara berlebihan demi mengejar estetika yang tinggi telah membuatnya jauh meninggalkan sifat material dirinya. Dalam titik tertentu, perlakuan terhadap metafora tersebut telah meninggalkan para penontonnya. Teater tak lagi berbicara pada penonton tetapi pada dirinya sendiri (performer), yang sebenarnya menyangkal sifat alamiahnya sediri. Teater ada karena ada panggung dan penonton. Hal-hal material yang disangkal ini membuatnya mengeksklusikan diri akibat bahasa metafor yang berlebihan.
Teater, sebagai seni pertunjukan modern, turut berjasa besar dalam mendukung pemisahan alam (nature) dan budaya (culture), serta manusia dengan alam. Demi mengejar estetika tinggi dan tata artistik yang indah, produksi teater kerap menggunakan teknologi (canggih) buatan manusia. Seperti membuat perlengkapan panggung, latar panggung dan berbagai perlengakapn pentas. Bermacam teknologi untuk keperluan pentas dan produksi teater tersebut membuatnya terpisah/eksklusif dengan alam. Ditambah lagi, banyak pentas teater sering diadakan di dalam gedung tertutup (indoor). Inilah ambisi modernisme melalui praktik merekayasa alam, mengunggulkan produk manusia, teknologi buatan manusia yang berakibat pada keterasingannya dengan alam tempatnya tinggal. Teater modern salah satu wujudnya.
Jika tetap mempertahankan ciri eksklusifnya, teater bukan tidak mungkin akan menuju masa senjakala. Teater mesti bisa beriteraksi dengan lingkungan dan perubahan-perubahannya. Bentuk interaksi tersebut merupakan cara adaptasi terhadap keberlangsungan eksistensinya. Teater mesti mampu keluar dari sifat eksklusifnya dan menengok kembali realitas material dan konteks sosial masyarakat yang lebih luas.
Teater ekologi berusaha untuk menghilangkan sifat eksklusif teater dengan mendekatkannya kembali dengan alam dan konteks sosial masyarakat. Dengan memilih properti, perlengkapan, tata artistik yang berasal dari bahan-bahan sederhana seperti botol dan sampah plastik, teater ekologi telah mendekatkan kembali manusia dengan lingkungan/alam. Teater ekologi turut sadar terhadap kondisi dan keprihatinan masyarakat, terutama perihal krisis lingkungan. Maka dari itu ia menyuarakan keprihatinan, kepedulian dan menunjukkan sikap bersama-sama dengan masyarakat untuk turut memikirkan lingkungannya. Teater ekologi, dalam hal ini, begitu dekat dengan masyarakat.
Teater ekologi turut menyumbang terhadap efektivitas usaha penyelesaian persoalan di masyarakat, khususnya soal ancaman ekologi. Dalam teater ekologi, sifat eksklusif teater modern digantikan dengan sifat etis dan politis. Teater ekologi mengandung nilai moral yang dianjurkan kepada penonton/publik. Nilai moral ini berdasar pada paham etika ekologi berupa norma-norma ketika manusia berhubungan dengan alam dan makhluk hidup lain, agar tak terjadi eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang lebih besar. Selain itu, sifat politis turut melekat pada teater ekologi yang ditunjukkan dengan bagaimana ia ikut membangun kesadaran publik untuk sensitif terhadap tindakan perusakan alam. Teater ekologi berperan dan mampu mengajak masyarakat/publik untuk peduli dan perhatian terhadap krisis alam yang sedang dihadapi di zaman sekarang.
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com