Max Lane: Mustahil Satu Negeri pada Abad 21 Bisa Bangkit dan Melawan AS dan Uni Eropa tanpa Rakyat Sendiri Mengerti Dunia

Indonesia hari ini sedang menghadapi tahun-tahun politik yakni sederetan pemilu serentak mulai dari pilkada yang sudah dihelat Juni lalu hingga pileg dan pilpres pada 2019 mendatang. Situasi panas tercermin dari beragam isu yang berkembang. Berbagai isu berhembus mulai dari kedaulatan ekonomi, radikalisme, terorisme, Pancasila, toleransi, dan populisme Islam. Segala perhatian publik seolah tersedot ke dalam isu-isu tersebut, karena kerap diberitakan di berbagai media nasional. Pemilu 2019 menjadi ajang bagi masyarakat dalam memilih pemimpin dan menaruh harapan perubahan kepadanya. Partai politik menjadi kendaraan utama bagi para calon pemimpin yang diharapkan membawa visi dan misi perubahan bagi Indonesia.

Apakah partai politik dalam sistem politik Indonesia hari ini bisa mewakili kepentingan masyarakat? Soal mengentaskan masalah kesejahteraan, keadilan, kesehatan, dan pendidikan? Atau hanya sekadar mewakili kepentingan elit? Apakah pemimpin yang terpilih nanti, dalam sistem politik dan budaya Indonesia hari ini, sanggup membawa perubahan sampai ke elemen masyarakat paling bawah? Apakah ada strategi politik dan budaya yang ditawarkan untuk pembangunan/perubahan Indonesia? Jika tidak, bagaimanakah kemungkinan perubahan datang dari inisiatif rakyat sendiri dan hanya bisa dilakukan oleh rakyat menuju Indonesia yang lebih baik?

Untuk menggali wacana-wacana tersebut, ada baiknya kita melihat pandangan Max Lane, seorang pemerhati Indonesia yang berkebangsaan Australia. Penerjemah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini bicara banyak soal gerakan masyarakat sipil, strategi politik dan ekonomi negara-negara berkembang, radikalisme-terorisme, sastra nasional dan peradaban suatu bangsa, hingga proses penerbitan buku-bukunya sendiri tahun depan. Berikut petikan wawancara Yongky dari Brikolase dengan Max Lane.

Apa kegiatan sehari-hari Anda sekarang?

Saya sedang membuat dua macam buku. Satu buku tentang politik Indonesia untuk sebuah lembaga di Singapura, dengan sumbangan artikel (kumpulan tulisan) dari kira-kira 13 akademisi, mayoritas dari Indonesia. Saya harap sebelum April tahun depan sudah terbit. Satu lainnya, saya tulis sendiri.  Saya juga menulis dua buku, satu tentang politik dan seni W.S. Rendra, khususnya drama dan sajaknya tahun 1970an. Saya harap Desember ini akan terbit. Satu lagi buku tentang makna dan usaha dari karya-karya Pramoedya Ananta Toer, penerbit Hasta Mitra. Buku ini akan bicara politik dan budaya Indonesia tahun 1980an sampai sekarang. Rencana akan terbit satu tahun lagi. Rencana awal akan terbit dalam bahasa Inggris. Saya pernah menerbitkan satu buku kecil tentang itu, tapi ini saya kembangkan lebih komprehensif. Juga saya memanfaatkan wawancara yang dulu saya lakukan dengan Pramoedya Ananta Toer, Joesoef Ishak, dan Hasyim Rahman

Bagaimana proses penggarapan buku tersebut?

Untuk buku Pramoedya saya pakai empat sumber materi yang sudah saya kumpulkan. Saya kenal Pramoedya dan penerbit Hasta Mitra tahun 1980an. Sejak tahun 1980an sampai sekarang saya cukup banyak kumpulkan materi. Materi itu antara lain buku-buku yang ditulis orang lain yang mengandung dokumen-dokumen asli. Lalu, materi lain dari wawancara yang saya lakukan dengan Pramoedya, Joesoef Ishaq, dan Hasyim Rahman. Kemudian materi berikutnya dari berbagai arsip milik Pramoedya ataupun Joesoef Ishaq. Juga pengalaman langsung saya berbincang-bincang dengan tiga orang itu sejak tahun 1980an sampai mereka meninggal. Saya gunakan empat materi itu untuk menulis satu analisa terhadap makna dan kerjaan-kerjaan mereka. Tentang pendanaan, saya punya pekerjaan di mana saya terima gaji, ya saya pakai subsidi silang. Di waktu luang, libur kerja, saya menulis. Kalau soal penerbit, saya berencana pakai literary agent, satu kantor agency di luar negeri yang saya minta mencari penerbit. Saya prioritaskan penerbit Amerika, karena pembaca Pramoedya, dalam edisi bahasa Inggris, paling banyak di Amerika Serikat.

Kalau proses menulis mulai enam bulan lalu, tapi proses saya mengumpulkan materi dari tahun 1980an. Waktu itu materi saya kumpulkan tapi belum jelas apakah saya akan menulis buku atau tidak, karena saya bukan peneliti (academic researcher). Saya bukan peneliti akademik yang profesinya kumpulkan bahan lalu ditulis. Saya aktivis, penulis, dan pengamat. Materi saya kumpulkan sebagai bagian dari pengalaman. Saya pernah jadi wartawan, pejabat kedutaan, penerjemah, tapi paling banyak waktu saya jadi aktivis di Australia.

Bicara soal aktivis, bagaimana anda melihat aktivisme dan civil society sekarang?

Istilah civil society sebenarnya dalam penggunaan zaman sekarang berbeda dengan penggunaan 100 tahun yang lalu. Kalau penggunaan dalam 30-40 tahun terakhir ini, civil society muncul sebagai cerminan dua gejala. Pertama, munculnya NGO (Non Government Organization) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM atau NGO ini pada banyak negeri muncul karena kelemahan partai politik yang berakar di akar rumput, yang berbasis rakyat. Semakin banyak partai politik, di berbagai negeri, mencerminkan kelompok/kepentingan elit, semakin ada kekosongan yang kemudian diisi oleh LSM. Muncul banyak LSM yang mengangkat berbagai macam isu yang kemudian disebut dengan civil society. Buat saya, sebagian besar LSM tidak punya mekanisme di mana LSM-LSM itu memang mewakili sektor-sektor masyarakat. Memang mereka mengangkat isu yang sering mengadvokasi sektor-sektor kepentingan masyarakat, tetapi sebagai organisasi, mereka tidak punya basis keanggotaan yang luas dan banyak. Basis keanggotaan massal. Sehingga hubungan organik dengan lapisan bawah sebenarnya sangat rapuh.

Kedua, civil society dalam ilmu sosial, muncul sebagai ganti analisis kelas. Kalau analisis kelas Marxis yang tradisional membedakan ada kelas kapitalis dan proletar. Ada kelas borjuis dan borjuis kecil serta kelas proletar mapan dan informal seperti di negeri berkembang ada pekerja informal. Kelas-kelas tersebut menggambarkan perkembangan sejarah sebagai manifestasi atau cerminan konflik antarkelas. Civil society muncul sebagai tandingan terhadap analisa kelas di mana konflik di suatu negeri tidak dilihat punya motor gerak konflik antarkelas, tapi konflik antara negara dan masyarakat. Masyarakat yang berkonflik dengan negara dalam paradigma itu disebut civil society. Dengan cara itu, orang bisa menghindari memakai istilah atau analisa kelas. Tapi buat saya pribadi, analisa itu kurang menjawab pertanyaan, karena tidak menganalisa negara itu mewakili kepentingan siapa. Seolah-olah negara mewakili kepentingan negara, entah itu apa, dan civil society mewakili kepentingan masyarakat. Tapi apakah ada negara demi negara sendiri (state for state’s sake)? Atau apakah negara juga mewakili kepentingan suatu sektor masyarakat? Bagi saya negara masih mewakili sektor masyarakat elit, mereka yang bermodal. Jadi civil society dalam penggunaan modern kurang menarik buat saya.

Bagaimana soal aktivisme dan gerakan rakyat khususnya di Indonesia?

Gerakan rakyat dalam buku Unfinished Nation pada bab awal membicarakan gerakan aksi masa di zaman kolonial. Organisasinya antara lain Sarekat Islam yang menyebar ke seluruh kepulauan Hindia-Belanda waktu itu. Menggerakkan massa untuk mengadakan rapat-rapat akbar (gathering), pemboikotan seperti pada kegiatan Belanda, tak mau bayar pajak, dan demonstrasi. Kemudian muncul PKI (Partai Komunis Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia) yang semuanya menggerakkan massa untuk melakukan berbagai bentuk protes-protes untuk menuntut, kadang-kadang, reformasi pemerintahan Hindia-Belanda, tapi lebih sering menuntut supaya pemerintah Hindia-Belanda pulang ke negerinya. Kalau sebagian besar buku itu fokus pada munculnya gerakan aksi massa selama tahun 1990an, atau dari 1989 dari aksi Kedung Ombo di Jawa Tengah sampai Soeharto jatuh.

Organisasi-organisasi yang berkembang pada waktu itu terutama adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik), yang memang dengan sadar dan sengaja mengampanyekan supaya orang lebih banyak melakukan aksi di jalan. Melakukan mobilisasi, protes, demonstrasi, delegasi, dan pemogokan. Dan di buku itu saya berargumentasi bahwa semua itu dilakukan sebagai strategi untuk mengadvokasi, melakukan aksi massa di jalan dan itu berhasil. Sehingga dari tahun 1991, 1992 sampai 1998, jumlah massa yang berani dan mau turun ke jalan dalam bentuk demonstrasi dan aksi semakin besar dan membesar. Sehingga tahun 1997-1998 eskalasi jumlah dan militansi orang yang mau turun ke jalan memang mengancam kekuasaan. Daripada membiarkan aksi massa-aksi massa itu semakin besar dan militan, para elit mengorbankan saja presiden Soeharto jatuh, untuk meredakan aksi massa yang terus bangkit.

Bentuk organisasinya dalam sejarah seperti Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, PKI, PNI, Serikat Buruh, dsb. Kalau zaman orde baru tahun 1990an seperti PRD dan berbagai komite aksi yang memang menggerakkan orang untuk melakukan demonstrasi di jalan. Saya melihat saat ini yang melakukan aksi massa seperti itu sudah tidak ada. Ada yang melakukan aksi-aksi kecil tapi belum mampu berekskalasi. Contohnya seperti aksi mahasiswa kelompok Papua yang melakukan aksi 10-50 orang, tapi belum berekskalasi besar. Ada yang bisa melakukan aksi massa besar-besaran seperti aksi 212? Tapi saya tidak sebut itu aksi massa dalam arti gerakan aksi massa karena mereka tidak menuntut, tidak melawan kekuasaan. Mereka hanya menjadi suara sebuah fraksi dari kekuasaan.

Saya belum tahu bentuk organisasi yang berkembang ke depan. Saya belum bisa meramal persisnya akan bagaimana. Namun dilihat dari kegiatannya, gerakan aksi massa bergerak meyakinkan orang bahwa untuk mencapai perubahan dan melawan kekuasaan maka harus bergerak secara massa melaui demonstrasi, protes, rapat akbar, mogok di pabrik atau di kantor. Sebenarnya dari tahun 2011-2013, ada gerakan aksi massa cukup besar di Indonesia oleh serikat buruh dalam proses menuntut kenaikan gaji dan perbaikan kondisi kerja. Waktu itu dipelopori oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia. Tapi tahun 2013, mereka menandatangani kesepakatan berharmoni dengan pengusaha dan pemerintah. Dan sejak itu gerakan aksi massa yang memang berekskalasi itu semakin surut. Tahun 2014 serikat buruh itu mendukung pasangan calon presiden Prabowo-Hatta. Sejak itu eskalasi gerakan aksi massa buruh surut, baik jumlahnya maupun tuntutannya. Tapi dari 2011-2013 aksinya sangat besar, militan, dan sangat berhasil mencapai kenaikan gaji. Namun kemudian semakin surut dan terseret ke dalam politik elit. Memang untuk mencapai perubahan kita harus melakukan politik praktis, tapi kita mesti lihat politik praktis itu keberpihakannya kepada siapa. Kalau hanya jadi pengamat, jangan kira ada perubahan.

Max Lane di Perpustakaan Rumahnya, Open Page Reading Room, di Yogyakarta. Dok. YGP.

Bagaimana anda melihat realitas organisasi massa, ideologi, dan pemerintahan Indonesia hari ini?

Semua organisasi yang bergerak di bidang sosial dan politik punya ideologi, yaitu pandangan tentang bagaimana situasi negerinya dan pandangan tentang apa yang harus diperbuat. Semua kelompok punya. Cuma masalahnya isi ideologinya apa? Kalau organisasi Islam mereka menawarkan solusi terhadap masalah-masalah yang mereka lihat atau yang sering dibicarakan masyarakat seperti korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, dsb. Solusi yang mereka tawarkan adalah sebuah politik otoriter yang dibenarkan oleh hukum Islam menurut tafsir mereka. Dan dengan memberi peran besar kepada ulama secara umum, secara khusus ulama-ulama mereka. Kalau kita memberikan kedudukan tinggi pada hukum Islam, syariat atau peran besar pada ulama yang menguasai ilmu agama, problem masyarakat bisa selesai. Itu tawarannya kalau kita baca dokumen-dokumen atau pernyataan-pernyataan mereka.

Situasi Indonesia pada umumnya cukup baik. Memang masih butuh perbaikan dan itu bisa dijalankan dan dicapai dengan kerja, kerja, dan kerja. Dengan kinerja yang lebih baik tentunya. Arah perkembangan ekonomi dan struktur politik tidak perlu terlalu dipertanyakan, asal kinerjanya lebih baik. Itulah ideologinya rezim sekarang termasuk pendukung-pendukungnya. Jadi asumsinya adalah bahwa strategi pembangunan, ekonomi, dan perkembangan politik cukup baik, cuma harus ada perbaikan dan itu bisa dicapai kalau punya pimpinan negeri yang kinerjanya bagus dan tidak korupsi.

Kalau kita tanya apakah ada kelompok yang punya ideologi lain yang mempertanyakan strategi dan struktur ekonomi yang ada? Biasanya mereka adalah kelompok-kelompok kiri, sosialis atau radikal, tapi di Indonesia jumlahnya sangat kecil. Karena tradisi diskursus, tradisi membicarakan solusi-solusi sosialis, bahkan sosial-demokrat atau welfare state sudah sekitar 50 tahun tidak ada. Yang ada selama 50 tahun ini adalah ideologi pembangunan, bahwa pembangunan yang dilakukan sekarang sudah baik, cuma perlu kinerja lebih baik lagi. Ini bisa dikatakan persisnya sebagai ideologi pertumbuhan. Bahwa kalau ekonomi tumbuh semua akan jadi baik lebih, masyarakat lebih baik, dan situasi ikut lebih baik. Pembanding ideologi tersebut ialah yang menjadikan peran ulama sebagai solusi seperti pada aksi 212. Sekarang pertarungannya di antara dua kelompok ideologi itu.

Ideologi Partai Demokrat, Gerindra, PDIP dan partai-partai pemerintah lain sebenarnya tidak banyak berbeda. Selama empat tahun ini, apakah ada anggodata dewan di DPR yang bersuara tentang arah pembangunan ini salah, kita harus banting setir? Kan tidak ada. Mungkin waktu APBN diperdebatkan di DPR ada yang mempersoalkan ini dan itu, tapi arah dasar dari APBN tidak dipertanyakan dan waktu voting pada umumnya semua terima. Semua setuju. Persoalannya mungkin tentang kinerja yang fokusnya pada perseorangan. Tapi tak ada yang memperdebatkan strategi ekonomi, politik maupun budaya. Yang ada sekarang ayo kita lanjutkan. Dengan kinerja lebih bagus, mengubah ini itu sedikit. Yang mempertanyakan ini (arah strategi) sebenarnya ada di masyarakat. Cuma masih kecil. Tapi kita juga mesti ingat hal-hal besar, gejala besar memang selalu tumbuh dari yang pada awalnya kecil. Jadi jangan meremehkan yang kecil. Kadang yang kecil bisa jadi besar tergantung berapa banyak orang yang mendorongnya untuk tumbuh.

Bagaimana tentang isu radikalisme dan ideologi Pancasila?

Isu radikalisme, belakangan ini, muncul dengan menawarkan solusi tentang masalah-masalah negeri dengan memakai ideologi yang lebih bersandar pada suatu agama tertentu. Pemerintah menjawab bahwa situasi yang ada sekarang sudah baik. Pancasila kan sudah dipakai sejak 1945. Pancasila mencerminkan situasi sekarang (status quo). Kalau orang bilang Pancasila sudah bagus, berarti tidak menawarkan perubahan. Sudah puas dengan ideologi negara “Pancasila”. Pemerintah dan pendukungnya tidak setuju dengan mereka yang mau membuang Pancasila. Atau tidak setuju mendefinisikan kembali Pancasila demi mengunggulkan suatu agama tertentu. Pancasila mengakui sekian agama dan secara formal statusnya sama. Kalau pada Kementerian Agama Indonesia, semua agama ada divisinya dan kedudukannya secara formal sama. Kedudukan yang sama untuk semua agama dibela oleh pendukung Pancasila. Tetapi di luar masalah kedudukan formal agama, soal bagaimana menghadapi masalah sosial, budaya, dan ekonomi tetap pada ideologi tadi: arah pembangunan sekarang baik yang penting korupsi dihilangkan dan kinerja yang bagus oleh pemerintah. Jadi membela situasi sekarang adalah dengan menuntut kinerja lebih bagus, korupsi dihilangkan.

Tapi apakah itu jawaban yang cukup? Sebenarnya tergantung pada analisa kita terhadap situasi objektif masyarakat Indonesia. Apakah memang betul struktur dan strategi ekonomi sekarang sudah baik dengan kinerja lebih baik dan mengurangi korupsi? Apakah problem masyarakat bisa diperbaiki dan diselesaikan? Kalau memang benar bisa menyelesaikan masalah, mungkin radikalisme akan kehilangan daya tariknya. Tapi kalau masalah ekonomi, sosial, budaya tidak terselesaikan, bisa juga radikalisme tetap mendapat banyak pendukungnya.

Bagaimana soal isu terorisme di Indonesia?

Terorisme adalah pinggiran ekstrim dari radikalisme. Terorisme agama lebih pada persoalan global. Di dunia selama 20-30 tahun terakhir ini persoalan ini muncul khususnya di negeri-negeri sedang berkembang atau negeri tidak sedang berkembang seperti di Asia dan Timur Tengah (India, Pakistan, Afrika, dan Indonesia). Kemunculan terorisme di Indonesia dapat dijadikan contoh yang bisa mewakili situasi yang sama dengan banyak negeri lain yang dulu dijajah dan oleh karena itu tetap miskin sampai sekarang.

Saya pertama kali datang ke Indonesia tahun 1970. Saya sering, hampir setiap tahun ke Indonesia selama tahun 1970-1980an. Tahun 1980-1981 saya tinggal di Indonesia. Tahun 1975 kalau tdak salah saya juga tinggal di Indonesia. Lainnya, saya berkunjung mondar-mandir, Australia-Indonesia. Jadi saya bisa melihat di periode itu, mantra yang jadi kepercayaan cukup banyak masyarakat bahwa Indonesia sudah masuk tahap pembangunan. Dan pada suatu saat pembangunan setiap tahun akan tambah baik. Indonesia akan bisa membangun.

Sebenarnya sebelum tahun 1965 pun, kalau kita baca buku-buku, kebanyakan rakyat Indonesia dan orang yang terlibat dalam politik Indonesia sangat yakin Indonesia bisa membangun sesudah merdeka. Ada yang yakin Indonesia bisa membangun lewat jalur sosialis, ada yang yakin lewat jalur kapitalis. Sesudah 1965, karena kekuasaan ada di tangan Orde Baru, keputusannya adalah membangun Indonesia lewat jalur kapitalis. Dan cukup banyak masyarakat yakin Indonesia akan membangun. Tetapi sesudah krismon (krisis moneter) tahun 1997, kalau kita periksa surat kabar-surat kabar sesudah krismon 1997 hingga 2000, ada satu kata yang hampir hilang dari peredaran. yaitu kata pembangunan. Kata ‘pembangunan’ hilang dari peredaran diskursus dan debat. Dulu Soeharto disebut Bapak Pembangunan. Lalu satu hal yang sering jadi fokus perhatian adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Hal-hal pembangunan sering jadi perbincangan. Kita bisa perdebatkan isi pembangunan ini bagus atau tidak tapi konsepnya tetap pembangunan, pembangunan, dan pembangunan. Tapi sesudah krismon dan Soeharto jatuh kata pembangunan hilang.

Buat saya itu agak mencerminkan situasi di mana harapan yang sangat kuat sejak tahun 1920an hingga 1980an bahwa Indonesia akan bisa membangun. Di masa depan Indonesia bahkan mungkin bisa mengejar dan mencapai kemakmuran seperti di kawasan/negeri barat. Tapi sesudah krismon, bahkan mungkin sebelum krismon, buat banyak orang, harapan bahwa Indonesia bisa membangun dan makmur seperti negeri barat itu hilang. Dan untuk segelintir orang, kehilangan harapan itu bikin mereka frustasi, marah, pahit, benci pada Barat. Dan saking tajamnya, mereka diyakinkan pada solusi-solusi yang memang tidak rasional. Sehingga jadi teroris. Dan fenomena itu juga terjadi di banyak negeri yang miskin. Belum tentu orang miskin yang melakukan aksi terorisme, bisa jadi orang kelas menengah dan makmur tapi melihat negerinya tak punya masa depan, mereka menjadi benci. Ini bukan analisa yang menyatakan orang miskin jadi teroris, tetapi bisa juga orang professional, makmur, kelas menengah bisa jadi benci karena lihat negerinya tak punya harapan membangun.

Kalau pendirian pribadi saya, dengan struktur ekonomi global di dunia sekarang memang Indonesia tidak bisa membangun, tidak akan mungkin membangun. Tiongkok tak akan mungkin membangun, India juga, Brazil juga. Omong kosong. Ini karena struktur ekonomi global memusatkan kekayaan dan kekuasaan ekonomi pada 10 negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Kanada, atau mungkin Australia punya peran kecil. Mereka menguasai apapun. Kalau struktur global tak diubah, negeri-negeri dunia ketiga itu akan tetap miskin. Masalahnya, solusinya apa? Apakah solusinya khilafah? Atau hukum Islam? Atau solusi Kerja! Kerja! Kerja! saja tapi dengan program ekonomi sama. Solusi itu yang harus diperdebatkan. Sistem ekonomi global sekarang tidak memungkinkan negeri-negeri dunia ketiga berkembang sebagaimana seharusnya.

Memang mengubah struktur global itu susah, tapi tujuan akhirnya struktur global harus berubah. Itu tidak mungkin dilakukan kecuali diubah oleh semakin banyak negeri yang juga mulai mengubah struktur negerinya sendiri. Struktur global tak mungkin diubah dengan kekuatan gaib. Hanya bisa diubah oleh negeri-negeri yang sudah ada dan pemerintah masing-masing negeri harus berniat untuk mengubah struktur global. Memang negeri-negeri sekarang harus punya pemerintah yang percaya bahwa itu perlu.

Lalu bagaimana supaya Indonesia bisa membangun dan mengubah struktur negerinya?

Setiap negeri punya konteks masalahnya sendiri-sendiri. Tapi ada beberapa hal yang bisa dilakukan kalau mau mengatasi masalah-masalah yang ada. Ada beberapa syarat yang menurut saya harus dipenuhi. Cara dan proses memenuhinya bisa berbeda-beda dari setiap negeri. Di Indonesia persisnya seperti apa caranya, saya belum bisa jawab. Karena itu juga tergantung anda-anda. Pelaku-pelaku masyarakat mulai melakukan apa? Kelompok-kelompok harus bisa bersatu, melakukan sesuatu, menawarkan ide-ide. Tapi harus berakar pada realitas, bukan hanya merumuskan secara khayal, seharusnya begini begitu. Itu tidak ada gunanya.

Buat saya, syarat-syarat yang mesti dipenuh yaitu, pertama, harus semakin banyak masyarakat, khususnya non-elit, berorganisasi dengan tujuan memperbaiki situasi politik, ekonomi, dan budaya. Sebagain besar masyarakat jangan bergerak sendiri-sendiri, mereka harus berorganisasi dengan tujuan mengubah situasi. Masyarakat berorganisasi dan berusaha menyelesaikan masalah dan situasinya melalui kerja tambah lembur, tambah banyak kerja serabutan. Atau cari skema untuk masuk kelas menengah, tabung sedikit untuk punya modal. Tapi kalau masyarakat masih bergerak sendiri-sendiri tidak akan ada perubahan. Tidak bisa hanya berharap bahwa yang berkuasa kinerjanya bagus dan mimpi bahwa pemerintah akan selesaikan masalah. Kalau saya tidak setuju. Masyarakat dan rakyat harus terlibat dalam menentukan nasib sendiri di suatu negeri. Dan itu butuh rakyat berorganisasi. Bentuk organisasinya tergantung situasi dan keadaan. Untuk buruh seperti serikat buruh. Untuk petani seperti serikat petani. Organisasi yang memang berakar dari bawah.

Kedua, rakyat sendiri harus lebih banyak mengerti negerinya dan dunia. Itu masalah pendidikan politik yakni mengajak rakyat belajar dan membaca. Waktu Hugo Chavez dulu jadi presiden Venezuela, dia punya acara televisi setiap minggu. Dia pasti hadir, pegang satu buku, dan mengatakan “Saya baru baca buku ini”. Ditonton jutaan orang. Hugo mengajak, “Saya baru baca buku ini, isinya begini-begini, kamu juga harus baca”. Dan buku itu dicetak dalam jumlah banyak dan dibagikan gratis. Tidak mungkin satu negeri pada abad ke-21 bisa membangunkan diri, membangkitkan diri berhadapan dengan kekuatan-kekuatan elit Amerika Serikat maupun Uni Eropa tanpa rakyat sendiri mengerti dunia. Kita harus belajar.

Misal ada orang berkata, “Saya tamatan SMP”. Itu bukan masalah. Belajar bisa di manapun dan kapanpun. Indonesia itu suatu negeri, mungkin saya salah, tapi sepengetahuan saya, satu-satunya negeri di mana untuk jadi caleg (calon legislatif) harus tamat SMA. Bahkan menurut data, kebanyakan anggota DPR itu lulusan S1. Jadi Pramoedya kalau masih hidup tak bisa jadi caleg di Indonesia. Dia tidak tamat SMP. Buat saya itu sangat tidak demokratis. Rakyat mesti bebas kalau mau memilih wakilnya. Bisa saja orang yang tak sekolah, dengan baca sendiri, bisa pintar. Atau dari pengalaman hidupnya, bisa pintar. Presiden Venezuela sekarang, Maduro, itu bekas sopir bis. Tapi di sini jadi caleg harus tamat SMA.

Jika dilihat secara ekonomi di Indonesia, orang bisa tamat SMA secara aman dan baik, itu berarti kelas menengah. Mana ada masyarakat Indonesia yang bisa tamat SMA atau S1 kalau tidak dari keluarga yang cukup berada. Ya mungkin ada yang dari latar belakang miskin, tapi sedikit. Uang untuk jadi caleg dikeluarkan untuk sekolah sampai tamat SMA dan S1, lalu ada uang untuk kampanye, dengan sendirinya rakyat miskin tidak mungkin jadi caleg. Padahal mayoritas rakyat Indonesia masih miskin. Yang tamat SMP dan tak tamat SMA tidak bisa jadi caleg dan jumlahnya itu puluhan juta orang. Jumlah yang tidak sedikit. Jadi cara membuat perubahan yakni keterlibatan rakyat untuk berorganisasi dan belajar tentang negerinya dan dunia. Poin yang kedua bebannya cukup besar karena pendidikan yang mestinya didapat WNI di sekolah-sekolah negeri tidak cukup memadai. Jadi gerakanlah yang harus mendidik.

Bagaimana dengan anggapan anda tentang Indonesia sebagai bangsa yang belum selesai?

Ini kadang-kadang saya kena kritik. Misal ada yang bilang, “Kamu anggap Indonesia bangsa yang belum selesai. Sombong lu! Pasti kamu anggap Australia bangsa yang sudah selesai. Atau Amerika bangsa yang sudah selesai.” Kalau saya melihat masalah kebangsaan (nation), itu adalah penilaian tentang satu fenomena, situasi, dan realitas objektif. Kalau buat saya, kebanyakan negara imperialis, negara penjajah, Amerika Serikat, Kanada, negeri Uni Eropa, Australia, Jepang itu memang bangsa yang sudah selesai. Revolusi nasionalnya sudah lama selesai. Bahkan revolusi nasional Eropa, Amerika, Perancis selesai abad 18. Revolusi Belanda lebih dini lagi. Revolusi Inggris lebih dini lagi. Revolusi nasional mensyaratkan ada bahasa bersama. Bukan hanya bahasa, tapi ada sastra nasional yang dikenal semua orang. Sastra nasional yang menjadi basis kebudayaan nasional yang dipelajari di sekolah.

Kalau di negeri Barat, di negeri yang sudah jadi itu, di setiap sekolah, mulai SMP, orang akan baca sastra negerinya sendiri. Sepengetahuan saya Indonesia tidak melakukan itu, tidak ada mata pelajaran sastra di sekolah. Bahasa bersama maksudnya bukan hanya bahasa yang dipakai di pasar atau rumah tangga tapi bahasa nasional. Bahasa yang bisa dipakai untuk sastra. Semakin banyak sastra, novel, cerpen, sajak, drama, juga zaman sekarang film, semakin itu semua berkembang, semakin ketahuan budaya nasionalnya. Anak yang tumbuh bisa mengakses seluruh kebudayaan nasionalnya, karena ada di buku, komik maupun film. Dan ekonominya cukup berdaulat. Ketergantungannya terhadap ekonomi lain tidak ada. Kalau interaksi dengan ekonomi lain ada, seperti kadang-kadang perang dengan ekonomi lain. Tapi pada akhirnya semua negeri imperialis itu kedaulatan ekonominya berkembang sebagai ekonomi nasional.

Tapi bagi saya di dunia ini ada demokrasi global. Sebaiknya masing-masing nasion bisa menyelesaikan proses nation buildingnya dan character buildingnya, istilah yang dipakai Bung Karno. Bagus kalau itu bisa dituntaskan supaya masing-masing bangsa bisa berurusan dengan bangsa lain. Masing-masing negeri bisa berurusan dengan negeri lain dengan cukup setara (equal). Kalau satu negeri masih tergantung secara ekonomi dan kurang mengetahui sejarah kebudayaannya sendiri serta tidak mengetahui kondisi dunia, maka urusan dengan negara lain tak bisa setara. Tapi bagi saya pada akhirnya nasion memang dilahirkan di zaman kapitalisme. Kalau mungkin Amerika atau Australia, sebagai nasion, sudah jadi, peradabannya belum tentu baik.

Jangan menyamakan mengkonsolidasikan sebuah nasion (dengan bahasa bersama, ekonomi bersama, ada batas negeri, ada sejenis kebudayaan bersama) sebagai satu keberhasilan di bidang peradaban. Apakah Amerika Serikat negeri beradab? Di sana terjadi pembunuhan massal di sekolah, mereka membom negeri-negeri lain. Mereka malah bisa memilih pemimpin seperti Donald Trump yang secara terbuka melecehkan perempuan. Nasionnya sudah jadi, bahasa dan ekonomi bersama semua sudah solid, ekonomi tak tergantung, tapi tidak berarti peradabannya baik. Ingat sebelum zaman kapitalis nasion tidak ada. Mungkin sesudah zaman kapitalisme, nasion tidak ada lagi. Seperti dalam lagu John Lennon, “Imagine there will be no countries”.

Jadi jangan menyamakan mengkonsolidasikan proses nation building dengan selesainya masalah peradaban. Bisa saja negaranya solid tapi peradabannya justru turun. Peradaban itu berkaitan dengan soal sistem masyarakat yang berlaku. Bisa jadi nasion solid seperti A.S. atau Australia dengan sistem kapitalis yang neoliberal, peradabannya bisa tambah banyak masalah. Belum lagi soal merusak lingkungan, rasisme, xenophobia maupun jurang kaya-miskin. Bahasa dan budaya bersama, ekonomi berdaulat, bangsa yang solid dan berkembang itu membentuk kedudukan negara ketika berurusan dengan negara lain secara equal, tapi tidak menyelesaikan masalah-masalah peradaban.

Novel Spartacus karya Howard Fast. Buku Favorit Max Lane. Dok. YGP.

Apakah Sastra Indonesia sekarang bisa dikatakan Sastra Nasional?

Buat saya semua novel, cerpen, sajak, drama, esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan harapan dan asumsi bisa dibaca dari Sabang sampai Merauke, karena pakai bahasa nasional, itu bisa disebut sastra nasional. Masalahnya sejauh mana rakyat Indonesia menyerapnya atau bahkan sempat membacanya. Saya juga tidak mau meromantisir situasi di Barat. Semisal di Barat di Amerika atau Australia, di sekolah negeri SMP dan SMA, setiap tahun ada mata pelajaran Bahasa Inggris. Isi mata pelajarannya 90% adalah sastra. Kalau di tingkat sekolah dasar, isinya tentang tata bahasa. Anak di tingkat sekolah menengah, mereka membaca novel, sajak, esai, drama dan mendiskusikannya di kelas. PR (pekerjaan rumah) nya menulis bedah buku.

Anak sekolah menengah belajar sampai tamat SMA itu selama enam tahun. Selama itu anak belajar sastra. Tapi saya tidak mau meromantisir kondisi di Barat. Ada guru bagus ada guru malas. Ada murid bagus ada yang malas. Apakah sesudah enam tahun seluruh anak betul-betul sudah menghayati sastra nasional Australia atau Inggris? Belum tentu juga. Tapi kesempatannya sudah pernah ada. Mungkin orang baca sastra selama enam tahun, setelah tamat tidak baca lagi, bisa jadi begitu. Hal itu tidak menjamin. Tapi minimal landasannya disediakan. Ini tidak dilakukan di Indonesia. Di sinilah perbedaannya. Kalau kamu mengamati film-film Australia, A.S, Inggris, pertama, bahwa banyak sekali film-film itu berasal dari novel atau cerpen. Kedua, banyak sekali sebenarnya film baik dari Hollywood maupun independen yang menyampaikan gambaran tentang sejarah. Mungkin bukan dengan maksud mengajari sejarah, sejarah di sini hanya sebagai latar. Latar kerajaan ini, kerajaan itu, Perang Dunia I dan II, Perang Vietnam. Perang Korea, depresi ekonomi, skandal ini dan itu, Perang Sipil di Amerika, zaman perbudakan, zaman Ronald Reagan, dan Bill Clinton dan banyak lainnya.

Selain film ada serial televisi (TV series) seperti Mad Men yang disiarkan selama 2-3 tahun yang laku di Amerika dan Australia. Latar ceritanya dunia periklanan akhir tahun 1950an dan awal tahun 1960an. Itu sejenis melodrama. Bisa dikatakan sinetron tapi agak serius. Tapi orang nonton tahun 1950an dan 1960an, kondisinya seperti itu. Peristiwanya, gaya hidupnya, kebiasaan-kebiasaannya. Jadi di sekolah, anak baca buku sejarah, sastra, baik novel 100 tahun lalu dan 5 tahun lalu, kemudian nonton film-film seperti itu. Kesadaran sejarahnya menjadi tinggi. Mungkin isinya bisa saja salah. Film ini mungkin menawarkan versi sejarah yang keliru atau tendensius. Di Indonesia bagaimana? Memang ada beberapa film seperti tentang Tjokroaminoto, Soekarno, tapi berapa banyak film seperti itu? Dan ditonton berapa orang? Di TV bahkan mungkin tidak ada. Sinetron melulu.

Apakah itu yang disebut strategi kebudayaan?

Bagi saya ada dua jalur. Semua mengingat bahwa kelompok-kelompok progresif di Indonesia masih kecil. Banyak tersebar dan belum tergabung. Saya kira di setiap kota kabupaten, di setap kampus, pasti kelompok studi ada. Termasuk kelompok anda. Tapi mereka sendiri-sendiri. Yang harus diperjuangkan ada dua hal, pertama, buat gerakan dengan cara menarik. Saya tidak tahu cara menariknya bagaimana. Tapi ayo membaca tentang negeri dan dunia, ayo baca buku. Kalau kita ke toko buku, beli buku, dapat tas dengan slogan “Membaca adalah Melawan”. Itu menyemangati orang untuk membaca. Tapi butuh gerakan untuk menunjukkan pada publik buku-buku yang bagus. Baik tentang sastra maupun masyarakat. Itu satu jalur.

Jalur kedua. Saya juga heran, kadang juga geleng-geleng kepala. Mengapa ini belum terjadi, tapi maklum juga. Kawan-kawan gerakan masih kecil, organisasinya dan gerakannya masih sendiri-sendiri. Bagi saya pribadi, kita harus menuntut sebuah prioritas yang sangat penting sekali buat Indonesia yakni perubahan kurikulum sekolah. Dan ini tidak bisa diharapkan dari partai-partai politik yang ada. Perubahan kurikulum supaya ada mata pelajaran sastra, tanpa sensor. Pramoedya dibaca, Hamka dibaca, semua karya sastra yang penting dalam sejarah Indonesia harus dibaca. Kalaupun melakukannya dengan gerakan sendiri bisa, yakni dengan menawaran untuk bikin kelompok baca. Tapi itu tidak akan bisa mencapai atau menjangkau 200 jutaan orang. Ini harus dilakukan lewat sekolah. Harus menuntut pemerintah. Kalau saya jadi aktivis bidang budaya Indonesia, saya akan bikin demo di depan P dan K (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Setiap hari, seperti Aksi Kamisan dari ibu-ibu itu yang menuntut keadilan. Mata kuliah sejarah harus diajarkan tanpa sensor. Kalau melakukan sendiri sih bisa, malah harus melakukannya misal lewat reading group dll. Lakukan dengan mempropagandakan buku, bikin terbitan resensi buku, terus menerus. Itu penting tapi dengan negeri 250 jutaan orang, pada akhirnya hanya sekolah yang bisa.

Rakyat bisa membaca hanya karena dua hal, atau akibat dua situasi. Kalau situasi normal seperti di Indonesia atau Australia saat ini, anak hanya bisa mulai belajar membaca melalui sekolah. Melalui mata pelajaran, dengan membaca buku-buku yang menarik, novel, cerpen yang terbaik, menarik dan asyik dibaca. Kasih semua itu untuk dibaca. Memang ada situasi lain di mana rakyat akan baca banyak buku yakni dalam situasi revolusioner, penuh gejolak. Saya pernah melakukan penelitian asal-asalan, bukan serius. Ada satu atau dua orang tua yang cerita pada saya bahwa sebelum tahun 1942 mereka tidak bisa bahasa Indonesia. Mereka hanya bisa bahasa Belanda atau daerah. Orang ini cerita, tapi saya tidak sebut nama. Dulunya dia tak bisa, sekarang dia jadi orang yang bahasa Indonesianya luar biasa (karena situasi revolusioner).

Dia bilang, “Dulu saya hanya bisa bahasa Belanda, saya bisa baca bahasa Inggris dan bisa bahasa daerah, tapi tak bisa bahasa Indoensia.” Terus dia katakan, “Di zaman Jepang, saya sempat ke Medan Merdeka (Lapangan Merdeka), dengarkan Soekarno berpidato. Saya melihat puluhan ribu orang begitu asyik menghayati apa yang diomongkan Bung Karno, tapi saya gak ngerti. Saya baru sadar dengan Indonesia menuju revolusi, kalau saya tidak bisa berbahasa Indonesia, saya tidak bisa ikut jadi pelaku dalam proses revolusi.” Kalau kita lihat setiap revolusi di dunia, revolusi Perancis, Rusia, baik revolusi borjuis atau sosialis, kita akan menemukan data bahwa rakyat yang hari ini buta huruf tidak sabar untuk bisa membaca. Karena dunia lagi berubah secara exciting (penuh gairah). Jadi orang ingin tahu ini ide apa, si tokoh ini ngomong apa. Jadi rakyat harus bisa baca dalam suasana yang bergejolak seperti itu. Orang ramai membaca. Sekarang situasi tidak bergejolak. Untuk orang bisa dididik membaca kuncinya adalah sekolah. Akan repot jika situasi Indonesia tidak bergejolak dan di sekolah tidak diajarkan membaca bacaan menarik.

Tentang membaca buku, apa buku favorit Anda?

Kalau novel favoritku Spartacus oleh Howard Fast. Karya ini berdasarkan cerita nyata tentang pemberontakan kaum budak melawan kerajaan Roma di zaman kerajaan Romawi. Para budak berhasil mengalahkan tentara-tentara Roma yang pada waktu itu tentara terkuat di dunia. Pemberontakan budak itu berlangsung selama tujuh tahun sebelum akhirnya kalah. Waktu kalah, mereka yang masih hidup sesudah pertempuran, sekitar 7.000 orang, semuanya disalib. Dieksekusi mati dengan salib. Pemimpinnya bernama Spartacus. Pemimpin pemberontakan budak. Kalau buku Indonesia favorit saya karya Pram, Tetralogi Bumi Manusia sampa Rumah Kaca. Lalu sajak W.S. Rendra. Kalau Drama dari Faiza Mardzoeki: Nyai Ontosoroh dan Kembang Genjer. Kalau buku tentang Australia, saya suka buku The Power and the Glory.

Kalau musik dan film favorit?

Saya suka Sound of Silence oleh Disturbed dan The Ghost of Tomb Joad oleh Bruce Springsteen. Kalau satu genre tertentu tidak ada. Kalau musik Indonesia, sekarang saya jarang dengar. Dulu masih muda saya suka dengar Koes Plus dan Trio Bimbo. Untuk film, saya suka film jadul, contohnya Grapes of Wrath, tahun 1930an yang diangkat dari novel John Steinbeck. Lalu film Spartacus, skenario ditulis oleh Dalton Trumbo dan disutradarai oleh Kirk Douglas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *