Ratih Kumala: Gadis Kretek Lebih Bagus Filmnya, Novel bak Disobek-sobek Lalu Ditata Ulang

Brikolase.com – Ratih Kumala, penulis novel Gadis Kretek, berbagi pengalamannya dalam proses adaptasi karyanya ke bentuk serial film di Netflix. Proses ini melibatkan berbagai tantangan dan dinamika yang menarik, mulai dari kolaborasi dengan tim kreatif hingga penyesuaian dari format novel ke layar.

“Aku bekerja dengan seniman-seniman hebat seperti produserku, Mbak Shanty Harmayn, dan sutradara pasangan suami istri, Mas Ifa Isfansyah dan Kamila Andini,” ungkapnya, dikutip dari kanal YouTube Jalin.

Ratih juga menyebutkan bahwa penulisan skenario dilakukan oleh empat orang penulis, termasuk dirinya. “Menyatukan empat orang untuk bikin satu karya yang sama ternyata enggak gampang. Aku harus memberikan ruang kepada mereka dan mempercayakan proses kreatifnya,” ujarnya.

Proses alih wahana novel ke serial film Gadis Kretek juga tak bisa lepas dari sejumlah kendala, salah satunya adalah pandemi Covid-19 yang menghambat kemajuan proyek. “Gadis Kretek pertama kali dikembangkan sebagai serial di akhir tahun 2019, tapi pandemi melumpuhkan kami hampir satu setengah tahun,” kata Ratih. Setelah situasi membaik pada pertengahan 2021, tim kembali melanjutkan pekerjaan.

Baca juga: Modal Gede Clash of Champions, Ruangguru Mainkan Emosi dalam Strategi Pemasaran

Salah satu tantangan utama dalam adaptasi adalah menyederhanakan cerita yang luas dan kompleks. Novel Gadis Kretek mencakup tiga periode waktu: tahun 1940-an, 1960-an, dan 2000-an. “Kami harus memilih periode yang paling pas untuk diangkat ke layar, akhirnya kami fokus pada periode tahun 1940-an dan era modern,” ungkap Ratih. Penulis skenario harus memecah cerita menjadi beberapa episode, dengan setiap penulis bertanggung jawab atas episode tertentu, dan memastikan konsistensi dalam narasi dan gaya.

Penyesuaian dari novel ke film memerlukan fleksibilitas dan kerja sama. “Menjadi pemilik cerita asli, aku harus memberi ruang kepada tim kreatif untuk berimprovisasi. Aku harus merelakan beberapa elemen dari buku agar sesuai dengan medium baru,” kata Ratih. Dia mengaku bahwa proses ini seperti “menyobek-nyobek buku dan menatanya kembali,” dan terkadang membuatnya merasa seperti “melepaskan anak yang akan menikah” yang akan melahirkan sesuatu yang jauh berbeda.

Gadis Kretek bercerita tentang tokoh Dasiyah alias Jeng Yah, putri pemilik pabrik rokok Merdeka, yang berambisi membuat saus rokok andalan tapi terkendala karena itu bukan pekerjaan perempuan. Mimpinya lalu pupus karena tragedi 65 telah menghancurkan bisnis rokok keluarganya.

“Aku tidak pernah membayangkan bahwa Dasiyah itu akan pakai kebaya janggan warna hitam (di film). Itu kalau lihat cover-nya (di novel) Gadis Kretek itu kan pakai warna hijau. Ketika aku nulis aku tidak membayangkan dia pakai warna hitam atau pakai kebaya warna putih atau bentuk kebayanya gimana. Yang kubayangkan dia pakai baju kebaya tapi terserahlah warnanya apa gitu, tapi ternyata kan para seniman-seniman yang bekerja untuk (film) Gadis Kretek ini mereka punya visi dan misi sendiri dan aku harus mengizinkan itu dong ke mereka ya kan. Aku harus memberikan kebebasan itu,” tutur Ratih.

Namun Ratih merasa puas dengan hasil akhir adaptasi ke serial film ini. “Setelah melihat hasilnya, aku merasa lebih baik dari yang aku bayangkan. Tim seniman bekerja dengan skill dan visi mereka sendiri, dan aku senang bahwa semangat cerita tetap terjaga,” ungkapnya. Ratih juga mengakui bahwa perbedaan antara versi buku dan serial film merupakan hal yang wajar. “Pengalaman menonton dan membaca buku memang berbeda. Itu sah-sah saja, dan sering kali, audiens merasa diperkaya dengan salah satu versi, atau keduanya,” ujarnya.

Ratih Kumala menekankan bahwa proses adaptasi adalah tentang menjaga esensi cerita sambil beradaptasi dengan medium yang berbeda. “Kita harus memastikan bahwa semangat dan pesan dari novel tetap ada dalam film, meskipun ada penyesuaian yang perlu dilakukan,” ungkapnya.***