Pidato Sastra, Han Kang Beberkan Proses Kreatif Menulis Pembantaian Gwangju, ‘Kenapa Manusia Begitu Kejam?’

Brikolase.com – Pada 7 Desember 2024, di Akademi Swedia, Stockholm, Han Kang, pemenang Nobel Sastra 2024, menyampaikan pidato dengan judul Cahaya dan Benang (Light and Thread).

Dalam pidato tersebut, ia membagikan perjalanan kreatifnya, yang melibatkan kenangan masa kecil, proses menulis, hingga eksplorasi tema-tema mendalam seperti kekerasan, kemanusiaan, dan ketahanan hidup.

Mengenang Masa Kecil

Han membuka pidatonya dengan cerita tentang menemukan buku puisi buatan sendiri dari masa kecilnya.

Buku itu berisi puisi yang ia tulis saat berusia delapan tahun, termasuk satu puisi yang bertanya, “Di mana cinta?” dan menjawab, “Di dada yang berdebar-debar.”

Ia mengingat kenangan menyusunnya sebagai seorang anak yang penuh rasa ingin tahu, sebuah momen yang menjadi fondasi perjalanan kreatifnya.

Pertanyaan yang Memicu Proses Menulis

Han menjelaskan bahwa setiap karyanya dimulai dengan pertanyaan mendalam.

Saat menulis The Vegetarian, ia bergulat dengan pertanyaan tentang kepolosan manusia dan penolakan terhadap kekerasan.

Novel ini menggambarkan perjalanan protagonis, Yeong-hye, yang menolak kekerasan hingga memutuskan untuk tidak makan apa pun demi transformasi menjadi tanaman.

Dalam Ink and Blood, ia mengeksplorasi perjuangan bertahan hidup di tengah bayang-bayang kematian.

Sedangkan dalam Greek Lessons, ia mengangkat momen-momen lembut yang memungkinkan manusia untuk terus hidup di dunia yang singkat namun penuh kekerasan.

Baca juga: Gugah Sisi Kemanusiaan, Seniman Igor Doborowski Tampil Berlutut ala Tahanan Palestina

Gwangju dan Human Acts

Han mengungkapkan bahwa ia tidak pernah berniat menulis tentang pembantaian Gwangju tahun 1980.

Namun, kenangan masa kecilnya tentang kekerasan negara itu memaksa dirinya menghadapi pertanyaan sulit: “Bagaimana manusia bisa begitu kejam?” dan “Bagaimana mereka juga bisa begitu mulia?” kata Han dalam pidatonya, dikutip dari laman nobelprize.org.

Dalam Human Acts, Han menelusuri kisah Gwangju melalui pertanyaan: “Bisakah masa lalu membantu masa kini?” dan “Bisakah yang mati menyelamatkan yang hidup?”

Dengan mendalam, ia mencoba menjawab pertanyaan ini, menunjukkan bagaimana masa lalu dapat menerangi masa kini dan memberikan harapan bagi mereka yang hidup.

Novel Terbaru: We Do Not Part

Karya terbarunya, We Do Not Part, menggali luka pembantaian di Pulau Jeju pada tahun 1948.

Novel ini menggambarkan perjalanan dua sahabat, Kyungha dan Inseon, yang berusaha menyalakan lilin di dasar laut sebagai simbol harapan dan penyembuhan.

Han menutup pidatonya dengan refleksi mendalam tentang hubungan manusia, kekerasan, dan harapan.

Ia percaya bahwa melalui tulisan, manusia dapat menemukan benang emas yang menghubungkan hati mereka, memancarkan cahaya yang tak pernah padam, bahkan di tengah kegelapan sejarah.

Han Kang sebagai penulis tak hanya memotret kekerasan dan penderitaan, tetapi juga mencari cara untuk menemukan kehangatan dan kemanusiaan di dalamnya.

Karyanya berupaya untuk menyembuhkan dan menghubungkan dari ingatan serta pengalaman sejarah.***