Kontroversi Salman Rushdie, Sastrawan yang Diburu dengan Hadiah 14 Miliar karena Novel Ayat-ayat Setan

Brikolase.com – Salman Rushdie, seorang penulis kelahiran India yang berkewarganegaraan Inggris, terkenal dengan karya-karya sastranya yang memenangkan berbagai penghargaan. Salah satu novelnya yang paling kontroversial adalah  Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses).

Selama kariernya, Rushdie telah menulis 14 novel dan mendapatkan penghargaan bergengsi seperti Booker Prize. Pada tahun 2007, ia dianugerahi gelar kebangsawanan ‘Sir’ oleh Ratu Inggris atas kontribusinya terhadap dunia sastra. Sejak tahun 2000, Rushdie tinggal di Amerika Serikat.

Kontroversi Novel Ayat-ayat Setan

Novel Ayat-ayat Setan mengeksplorasi tema-tema yang kompleks melalui cerita yang berfokus pada dua tokoh utama, yaitu Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha, keduanya adalah Muslim India yang tinggal di Inggris.

Gibreel Farishta adalah seorang aktor film terkenal yang baru saja mengalami gangguan mental dan jatuh cinta dengan seorang pendaki gunung asal Inggris, Alleluia Cone. Sementara itu, Saladin Chamcha adalah seorang pengisi suara yang memiliki hubungan buruk dengan ayahnya.

Kisah mereka dimulai ketika keduanya bertemu dalam penerbangan dari Bombay (sekarang Mumbai) ke London. Pesawat yang mereka tumpangi dibajak oleh teroris Sikh, dan saat terjadi perdebatan, bom di pesawat tersebut meledak, menghancurkan pesawat di atas Selat Inggris. Gibreel dan Saladin adalah satu-satunya yang selamat, dan mereka jatuh ke Samudra Atlantik.

Baca juga: Ratih Kumala: Gadis Kretek Lebih Bagus Filmnya, Novel bak Disobek-sobek Lalu Ditata Ulang

Dalam perjalanan kejatuhannya, Gibreel berubah menjadi malaikat Gabriel (Jibril) dan mengalami serangkaian mimpi yang kemudian menimbulkan kontroversi besar. Salah satu karakter dalam mimpinya, Mahound, dianggap menyerupai Nabi Muhammad.

Dalam mimpinya, Mahound menerima wahyu yang memungkinkan penyembahan tiga dewi. Namun setelah menyadari bahwa wahyu tersebut berasal dari setan, dia menarik kembali perkataan tersebut. Mahound mengajarkan agama monoteistik (ber-Tuhan Esa) di kota Jahilia yang politiestik (ber-Tuhan jamak). Seperempat abad kemudian, salah satu murid Mahound berhenti menyakini ajaran agama gurunya namun masyarakat kota Jahilia sudah berubah keyakinan. Nama pelacur di rumah bordil juga mengambil nama istri Mahound, Ayesha, sebelum ia ditutup. Mahound lalu jatuh sakit dan mati dengan mimpi terakhirnya menjadi salah satu dewi.

Cerita ini menggambarkan Mahound sebagai sosok yang menempatkan kata-katanya sendiri ke dalam mulut malaikat Gabriel untuk mendukung tujuannya sendiri. Bahkan, seorang penulis bernama Salman dalam novel tersebut meragukan keaslian wahyu-wahyu yang disampaikan Mahound, tetapi tetap menuliskannya seolah-olah itu adalah firman Tuhan.

Dikutip dari laman Britannica, kontroversi terbesar dari novel ini adalah cara Rushdie menantang keyakinan inti dalam Islam. Dalam Islam, Nabi Muhammad diyakini menerima wahyu dari malaikat Jibril yang kemudian dituliskan menjadi Al-Quran. Namun, dalam novel ini, Rushdie melalui karakter Mahound, tampak meragukan keilahian wahyu tersebut dengan menggambarkan bahwa perkataan Mahoundlah yang menjadi sumber wahyu tersebut, bukan dari Tuhan. Nama istri Mahound, Ayesha yang digambarkan sebagai perempuan tuna susila juga mirip dengan nama Aisyah, istri Nabi Muhammad.

Bagi banyak umat Muslim, penggambaran ini dianggap sebagai penghinaan terhadap keyakinan agama mereka. Nama Mahound atau Mahoun yang digunakan oleh Rushdie juga memiliki konotasi negatif karena digunakan oleh para penulis Kristen di masa lalu untuk menjelek-jelekkan Nabi Muhammad.

Perburuan Salman Rushdie

Novel Ayat-ayat Setan mendapat reaksi kritis di Inggris dan memenangkan penghargaan Whitbread untuk novel terbaik pada tahun 1988. Novel ini juga menimbulkan kontroversi besar karena dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad oleh beberapa kelompok Muslim. Tuduhan penistaan agama ini memicu serangkaian protes di Inggris dan negara-negara lain, di mana ribuan Muslim Inggris turun ke jalan. Banyak dari mereka secara terbuka membakar buku tersebut.

Dikutip dari laman Independent, kontroversi ini mencapai puncaknya ketika pemimpin tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, melarang peredaran buku tersebut di Iran pada tahun 1989. Lebih dari itu, Khomeini mengeluarkan fatwa yang menyerukan perburuan Salman Rushdie, serta mereka yang terlibat dalam penerbitan buku tersebut. Dalam fatwa tersebut, Khomeini menyatakan bahwa novel ini menentang Islam, Nabi, dan Al-Qur’an, dan bahwa semua pihak yang terlibat harus segera dieksekusi.

Dikutip dari laman The Guardian, setelah fatwa dikeluarkan, sebuah hadiah lebih dari £2,5 juta ($3 juta atau sekira Rp 46 miliar) ditawarkan kepada siapa saja yang berhasil membunuh Rushdie. Akibatnya, Salman Rushdie terpaksa hidup dalam persembunyian dengan perlindungan polisi selama sembilan tahun. Meskipun demikian, Rushdie pernah mengatakan bahwa ancaman ini tidak terlalu mengkhawatirkan karena tidak ada bukti yang menunjukkan ada orang yang tertarik pada hadiah tersebut.

Pada tahun 2012, 15 Khordad Foundation, sebuah yayasan agama semi-resmi di Iran meningkatkan hadiah untuk pembunuhan Rushdie menjadi $3,3 juta. Pada tahun 2019, akun Twitter (sekarang X) yang terkait dengan Ayatollah Khomeini sementara waktu diblokir setelah mencuit, “fatwa Imam Khomeini terhadap Salman Rushdie didasarkan pada ayat-ayat ilahi dan sama seperti ayat-ayat ilahi, fatwa tersebut kokoh dan tidak dapat diubah.”

Sejak fatwa dikeluarkan, telah terjadi beberapa upaya pembunuhan terhadap Rushdie, serta serangan terhadap penerjemah dan penerbit novel tersebut. Pada tahun 1991, Hitoshi Igarashi, yang menerjemahkan The Satanic Verses ke dalam bahasa Jepang, ditikam sampai mati di kantornya di Universitas Tsukuba oleh pelaku yang tidak dikenal. Insiden ini adalah salah satu dari beberapa serangan yang menargetkan individu yang terkait dengan novel tersebut.

Buku The Satanic Verses telah dilarang di berbagai negara, termasuk India, Pakistan, Bangladesh, Sudan, Afrika Selatan, Sri Lanka, Kenya, Thailand, Tanzania, Indonesia, Singapura, dan Venezuela.

Setelah bertahun-tahun hidup dalam persembunyian, Rushdie akhirnya kembali muncul ke publik, meskipun ancaman terhadap dirinya tetap ada. Pada tahun 2022, Rushdie diserang dan ditikam berkali-kali saat menghadiri acara publik di Chautauqua, New York. Meskipun mengalami cedera serius dan kehilangan penglihatan di salah satu matanya, ia berhasil selamat dari serangan tersebut. Pengalaman hidup dalam persembunyian ini kemudian diceritakannya dalam memoar berjudul Joseph Anton yang diterbitkan pada tahun 2012.

Pada tahun 2024, Rushdie merilis buku Knife: Meditations After an Attempted Murder, yang menggambarkan kisah serangan tersebut dan proses pemulihannya.

Novel Ayat-ayat Setan bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga menjadi titik awal diskusi global tentang batasan kebebasan berekspresi, agama, dan pengaruh karya sastra terhadap keyakinan masyarakat.***