Mak Beti van Binjai: Konstruksi Subjek Emak-Emak dalam Tiga Mini Series YouTube

Siapa yang tidak kenal dengan Mak Beti? Mini-series YouTube yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang emak-emak bernama Berta, yang lebih dikenal dengan Mak Beti (emaknya Beti). Beti adalah putri Berta yang berusia belasan tahun. Lazimnya dalam kultur masyarakat Indonesia, nama ibu kerap kali lesap dan digantikan oleh nama anak mereka, terutama anak tertua. Itu pun yang dialami oleh Mak Beti.

Mak Beti berkisah tentang kehidupan perempuan paruh baya, emak-emak di suatu kampung di Binjai, Sumatera Utara. Emak-emak kelas bawah dengan segenap drama kehidupan seperti kehabisan sembako di rumah, suami menganggur dan kawin lagi, anak semata wayang yang asik mandi di sungai saja, tetangga yang kepo dan penggosip, tetangga yang pamer emas kemana-mana, eda-eda (perempuan) rentenir, serta berbagai kelakuan lainnya. Semua itu diceritakan dengan jenaka dalam video pendek dengan rata-rata durasi tak sampai setengah jam. 

Mak Beti dan belasan karakter lain dalam mini-series ini diperankan oleh satu orang yang sama yaitu Arif Muhammad. Ia kerap muncul dengan bermacam karakter seperti teman-teman Beti; Martha, Merlin, dan Joshua. Ada juga tokoh antagonis seperti Endang, Stella, dan mantan suami Mak Beti, Sutresno serta tokoh protagonis sebagai karib Mak Beti seperti Sri, Wak Keling, Pak RT, Cek Aseng dan Cici. Belum lagi karakter pendukung lain yang juga diperankan oleh Arif seperti kurir, supir bentor (becak motor), penjual durian, hingga banci salon.

Baca juga: Tilik, Bu Tejo dan Ruang Dialektika

Semua karakter tersebut hadir dengan latar belakang etnis, bahasa, agama, dan pembawaan yang beragam. Ada etnis Jawa dengan bahasa Jawa, Tionghoa dengan bahasa Indonesia dialek Tionghoa, Islam dan Kristen dengan simbol keagamaan masing-masing, serta tak ketinggalan ragam bahasa lokal Batak atau Medan yang khas yang dibawakan oleh Arif. Keragaman ini menjadi hal menarik dan menghibur dari serial Mak Beti yang membuat penonton semakin suka dan setia mengikuti cerita ini sejak lima tahun lalu.     

Per 1 Februari 2023, Arif Muhammad memiliki 15 juta subscribers di kanal youtube di mana serial Mak Beti bisa ditonton secara bebas. Mini-series ini termasuk serial populer di Indonesia yang terlihat dari jutaan penonton dan komentar pada setiap episode Mak Beti. Arif sendiri sejak 2019 lalu sudah disorot dan mendapat panggung dalam progam TV seperti Ini Talk Show dan Hitam Putih untuk menceritakan pengalamannya membesarkan serial Mak Beti di YouTube. Tentu saja ini berpengaruh terhadap tingkat popularitas Arif sebagai YouTuber dan serial Mak Beti sendiri. Tak heran, belakangan Arif meluncurkan Mak Beti Sketsa yang bisa dinikmati di Spotify. 

Mak Beti bukanlah satu-satunya serial YouTube emak-emak yang populer. Yang lain ada Mama Lela, serial emak-emak di Kampung Pojok dengan latar budaya Jawa di Jawa Timur. Serial ini bercerita tentang seorang emak-emak dengan kehidupan kesehariannya bersama anak, adik, suami, bestie (sahabat), dan tetangga. Mama Lela diperankan oleh Dika BJ, pemuda asal Malang yang kemudian menggaet teman-temannya untuk memproduksi serial Mama Lela di YouTube. Dika mengubah penampilannya menjadi seorang emak-emak dengan busana gamis dan jilbab. Mama Lela pun hadir dengan keseruan ceritanya mulai dari mengurus rumah, konflik dengan adik ipar, perselingkuhan suami, hingga hilangnya anak semata wayang di gunung.

Baca juga: Dewi Umaya: Kita Butuh Banyak Ruang untuk Menayangkan Film Kita (1)

Balik ke Sumatera Utara. Di sini selain ada Mak Beti, ada juga Warintil, serial emak-emak yang diperankan oleh sekumpulan laki-laki. Mengambil tempat di Gang Suparni di Kota Medan, mereka terdiri atas Bordir, Mumu, Ishaya, Tatik, Nining serta mendiang Rita. Cerita emak-emak kampung pada umumnya terlihat jelas di sini, sebut saja mengurus rumah, berjualan makanan kecil-kecilan, kredit keliling, janda terjerat lelaki hidung belang, perawan tua berdandan norak, hobi memamerkan emas-emas, serta saling sindir hingga berkelahi jambak-jambakan jilbab.

Domestifikasi dan Stereotipikal Emak-Emak dalam Tiga Mini-Series

Cerita emak-emak pada ketiga mini-series YouTube tersebut berkisah tentang ranah domestik yakni mengurus rumah, mempersiapkan makanan, mengasuh anak, dan melayani suami. Ini adalah pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab yang masih jamak terjadi pada masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat kelas bawah. Emak-emak bertugas mengurus rumah, sementara bapak-bapak bekerja di luar rumah. Kondisi ini menurut Amalia (2019) terjadi karena pengaruh budaya patriaki yang masih begitu kental berkembang di masyarakat. Dominasi budaya ini seakan-akan sudah begitu adanya sejak dulu kala hingga di/terwariskan sampai era YouTuber kekinian.

Infiltrasi pembagian kerja gender ini begitu kuat terjadi pada kognisi anak muda, lintas generasi, lintas gender, dan lintas medium. Penonton dapat menyimak Mak Beti, Mama Lela, dan Nining sebagai emak-emak yang sibuk dengan urusan rumah mulai dari sapu menyapu, melipat baju, cuci piring, dan belanja sayur. Kerja-kerja reproduksi lebih banyak dilakukan daripada kerja produksi pada setiap episode serial tersebut.

Baca juga: Hariadi: Bioskop Keliling Ujung Tombak Film Nasional

Mama Lela episode Hancur Malu Mama Lela!

Meski begitu, ketika situasi semakin memburuk seperti suami Mak Beti ogah-ogahan kerja dan marah-marah, Mak Beti pun turun tangan bekerja sebagai tukang bangunan guna menopang ekonomi keluarganya. Pun dengan Nining yang berjualan burger lima ribuan di depan kontrakannya dan Mama Lela yang bantu-bantu ibu-ibu tetangga. Dari sana sumber pendapatan diperoleh meski dengan nominal yang relatif kecil. Sayangnya, cerita ini hanyalah sebagian kecil dan penambah unsur dramatis dari cerita emak-emak dari serial tersebut. Isu-isu domestik tetap menjadi topik utama dalam keseluruhan cerita.

Dari sini kita juga tahu bahwa pembagian kerja gender tak lebih dari konstruksi sosial dan budaya yang masih langgeng dalam pikiran masyarakat luas. Pembagian kerja gender juga berkaitan dengan beban dan risiko kerja yang diambil. Perempuan dinilai cocok menjalankan kerja domestik dengan tingkat risiko kerja yang rendah yang dianggap sesuai dengan karakternya (Amir dan Suhartini, 2013). Paham ini diwariskan secara turun-temurun, kemudian direproduksi dalam konten-konten media seperti ketiga serial YouTube ini.  

Selain domestifikasi, stereotipikal juga muncul pada tiga mini-series ini. Sebut saja emak-emak penggosip, emak-emak gila emas, emak-emak cerewet, bahkan emak-emak yang tak segan berkelahi. Dalam serial Mak Beti, adegan yang kerap muncul seperti emak-emak bergosip sembari mencari kutu di teras. Gunjing dan gosip juga banyak ditemukan dalam Mama Lela dan Warintil. Topiknya bisa seputar rumah tangga, hutang piutang, serta anak dan menantu. Menurut Ayomi (2021), perempuan cenderung lebih dekat dan akrab dengan gosip dan hoaks. Meski banyak yang menentang tapi pernyataan ini dianggap merepresentasikan realitas kebanyakan masyarakat Indonesia. Kedekatan emak-emak atau perempuan dengan gosip juga berkaitan dengan promosi dan perlindungan diri (Inayaturabbani, 2020). Ini adalah panggung di mana emak-emak menampilkan diri mereka.  

Baca juga: Bajunya dirusak, dibikin kumal sebelum dipakai main film”, Kisah Saiful Rahman, Sang Penjahit Baju Willem Dafoe

Stereotip emak-emak penggila emas kerap muncul dalam serial Mak Beti yang hadir melalui tokoh Endang dan Warintil oleh tokoh Tatik. Ini praktik budaya yang banyak ditemukan di sekitar kita dan tidak hanya di Sumatera. Di Padang, orang melabelinya dengan toko emas berjalan. Di Madura, dalam hajatan seperti pernikahan atau sunatan, pasti ada saja emak-emak yang tampil dengan segepok emas yang melilit leher, pergelangan tangan, dan jari-jemari. Tak heran Cak Percil, komedian asal Banyuwangi, menjadikan ini sebagai cerita lawakannya di atas panggung. Kalau istri sakit, kata Cak Percil, jangan bawa ke dokter, tapi bawalah ke toko emas dan belikan emas sekilo, sudah pasti langsung sembuh. Penonton pun terpingkal-pingkal.

Emas, seturut dengan makna harfiahnya, juga merupakan simbol kesuksesan. Meski emas kerap dimaknai sebagai strategi menabung atau berinvestasi, ada pula yang memandang emas sebagai kebanggaan (Satria, 2016). Emak-emak kerap melakukan ini untuk mengatakan kepada umum bahwa ia atau suaminya atau anaknya sukses, berpunya, tidak melarat, naik kelas, dan seterusnya. Bagi sebagian orang, ini adalah puncak kompetisi sekaligus kemenangan. Cara menaikkan harga diri atau gengsi, cara mendapatkan penghormatan dan pengakuan: bahwa saya juga mampu punya emas!

Yang tak kalah menarik ialah keberanian dan kenekatan emak-emak berkelahi sesama mereka. Saling jambak-jambakan rambut dan jilbab. Tokoh Nining dan Kikiwati dalam Warintil bisa jambak-jambakan jilbab hanya karena diejek jajanan pasar buatan Nining yang pakai sari gula, atau tokoh Mama Lela yang juga saling jambak jilbab dengan adik iparnya perkara salah paham. Mak Beti jangan dikata lagi, saling labrak, saling jambak. 

Baca juga: Apa Itu Budaya Populer? Berikut Definisi dan Contohnya

Warintil Episode 463

Narasi emak-emak berkelahi dan saling jambak dalam ketiga mini-series ini sepertinya memang merujuk pada realitas sosial. Emak-emak terkenal dengan keberanian yang tiada tanding seperti yang kerap dikeluhkan netizen, “emak-emak bawa motor sein kiri belok kanan”. Dalam pemilu 2019 lalu, ada juga narasi emak-emak militan pendukung salah satu pasangan calon presiden. Emak-emak menjadi tim sukses sekaligus pagar betis jika sang calon dikritik miring. Emak-emak tidak hanya cerewet, tapi juga merupakan entitas paling berani untuk memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya. Kalau menurut Junaidi dan Pratama (2021), emak-emak juga bisa keluar dari ranah domestik menuju ruang publik yang produktif seperti pemilu 2019 lalu.  

Komunikasi populer belakangan membedakan rasa berbahasa antara emak-emak dengan ibu, baik dalam mini-series maupun politik. Emak-emak cenderung dianggap lebih berani dan apa adanya. Ini berbeda dengan ibu yang dinilai agak lebih kalem dan penyabar. Emak-emak merepresentasikan masyarakat kelas bawah yang berjuang lebih keras demi apa pun, sehingga ia terkesan lebih terbuka, tanpa basa basi. Ini ceruk yang diambil oleh ketiga mini-series tersebut dengan narasi domestifikasi dan stereotipikal emak-emak yang banyak ditemukan di masyarakat.

=====

Referensi

Amalia, Luky Sandra. (2019). Upaya Mobilisasi Perempuan Melalui Narasi Simbolik Emak-Emak dan Ibu Bangsa Pada Pemilu 2019. Jurnal Penelitian Politik. Vol 16, No 1. https://doi.org/10.14203/jpp.v16i1.779. 

Amir, Syaiful dan Suhartini, Elly. (2013). Mekanisme Pembagian Kerja Berbasis Gender. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/59025.

Ayomi, Putu Nur. (2021). Gosip, Hoaks, dan Perempuan: Representasi dan Resepsi Khalayak Terhadap Film Pendek Tilik. Rekam Jurnal Fotografi Televisi Animasi. Vol 17, No 1. https://doi.org/10.24821/rekam.v17i1.4910.

Inayaturabbani, Fakhirah. (2020). Memahami Fungsi Gosip dalam Masyarakat Melalui Film Pendek “Tilik”. Tonil Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema. Vol 17, No 2. https://doi.org/10.24821/tnl.v17i2.4353.

Junaidi, H., & Pratama, C. R. (2021). Women and Politics: Movement and Militance of “Emak-Emak” and “Srikandi” in the General Election 2019. Jurnal Studi Sosial Dan Politik, 5(1), 66-82. https://doi.org/10.19109/jssp.v5i1.6721.

Satria, Ardi Surya. (2016). Sikap Ibu Rumah Tangga terhadap Emas di Kecamatan Kutoarjo. Eksis Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol 11, No 1, April-September. https://doi.org/10.26533/eksis.v11i1.25.

Penulis: Adek Risma Dedees
Penyunting: Yongky

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *