Katanya, bagaimana keadaan orang saat mati adalah pertanda perilakunya selama hidup, kematian bagai sebuah cermin. Jika ada yang meninggal dengan buruk, mati ditempat yang dianggap tak baik, itu adalah cerminan perilaku tercela selama si mayat tinggal di dunia. Begitupula sebaliknya, jika orang itu hidup saleh, niscaya dia bakal mati dengan layak, khusnul khotimah.
Siang itu, matahari di Kauman seperti minuman Viagra dosis besar. Beberapa orang terlihat menjemur ikan di halaman mereka yang rata-rata cukup luas. Ikan-ikan itu akan diasinkan setelah sebelumnya dibelah melebar dan disumbat garam. Penduduk tempat ini, cukup rukun dan taat beragama, mayoritas islam. Ada beberapa pondok pesantren. Disini terkenal dengan kyai besar dan pengajaran Islam yang mumpuni. Sering pula beberapa santri dari luar pulau datang untuk memperdalam ilmu.
Tapi hari itu, benar-benar hari yang lain. Takdir memang tak selalu lurus, kadang membelok, berputar, tapi tak pernah kembali lagi, tak benar jika ada waktu berbalik arah, sejarah tak dapat di ubah. Termasuk dalam cerita ini, menjelang akhir ramadhan Kyai Tentrem si ahli Tauhid ditemukan mati di lokalisasi. Tempat itu lama berdiri, sudah ada sebelum semua pesantren didirikan. Konon di sanalah petilasan Jaka Tarub mengintip Nawangwulan yang sedang asyik mandi. Tapi kapankah pelacur-pelacur itu mulai ada disana, tak ada yang tahu. Mereka seperti datang tiba-tiba dan pergi mendadak pula seakan para pelacur itu turun begitu saja dari khayangan sebab selendangnya jatuh disana. Lokalisasi itu tak luas, arahnya seperjalanan dengan pantai, ada beberapa pohon kelapa disekitar. Tempat ini dibagi beberapa blok memanjang saling berhadapan sekitar dua puluhan kamar, pemandangannya bagus, dari jendela bisa terlihat biru laut. Tapi nampak tak terawat, temboknya berlubang, catnya menopause dan atapnya hampir roboh. Beberapa kali, rumah bordir itu dihampiri penduduk yang ingin menggusur. Tapi selalu ada masalah, yang pertama warga kampung memandangnya tidak bermoral, berikutnya, persoalanya juga tak seenteng itu, bagaimana harus menggusur tempat yang menjadi tulang punggung hampir enam puluh wanita. “Lagipula, pelacuran itu lebih dulu ada sebelum semua mesjid dan tetek bengeknya ini”, ujar kyai Tentrem.
“Jadi kyai ingin melestarikan tempat ini, sampeyan itu kyai sepuh” ujar kyai Bahrun sembari mengalungkan sorbanya ke pangkal leher.
“Tuhan memberi mereka hak hidup”, katanya sambil lalu.
Akhir-akhir ini, sikap kyai Tentrem memang kelewat aneh, hal itu juga disadari beberapa santri yang rutin datang ke pengajiannya. Si ahli tauhid yang mengakui ke-Esa-an Tuhan itu berkali-kali mengatakan “Tuhan tidak satu, Tuhan tidak satu”.
Sungguh, akhir ini, dia seratus derajat berbeda, sering melamun, kadang tertawa, kadang pula, kita tak harus ragu menyebutnya gila. Sering ia tanya, buat apa orang membaca kitab yang banyak, lalu berame-rame sibuk mencintai akhirat, Di akhirat tidak ada apa-apa, selain pikiran-pikiran konyol kita yang belum tentu. Jika di sana yang ada hanya surga dan neraka bagaimana kalian bisa mendapatkan kebahagiaan? Kita tak tahu rasanya senang jika tak tahu namanya susah, dan kalau surga dan neraka hanyalah satu sisi tentang senang dan tidak, kalian tak akan merasakan apapun.
Nadanya gempar menggelegar seperi badai, seakan-akan dia sadar pendapatnya tak salah. Tapi di bumi, memang tak ada pendapat yang sepenuhnya benar, yang paling menggelegar pun belum tentu jadi kebenaran.
“Kyai sudah edan, apa para sesepuh yakin dengan yang ia katakan” kyai Bahrun mengeluh, membicarakan persoalan itu pada para kyai senior yang berkumpul dibalai sidang.
“Iya, kemaren, salah satu santriku memergokinya datang ke pelacuran, apa mungkin ia ingin melampiaskan hasratnya disana, kau tahu kan istrinya cuman satu, dia juga tak berniat menikah lagi” sahut kyai yang lain.
“Jangan terlalu menuduh kyai, aku kenal kyai Tentrem lama, tak mungkin dia melakukan zina” kyai Bahrun membantah, “kalau begitu kita undang saja, dan tanyakan apa masalah sejatinya”
Kyai Bahrun lantas meminta seorang santri memanggilnya, dengan cepat dia berlari ke rumah kyai Tentrem yang memang tak jauh. Di halaman terlihat ia sedang mengelus-elus ayam jago kesayangan. Kyai Tentrem bukan orang yang rewel, perawakanya tak terlalu besar, kulitnya coklat petang, raut mukanya bersih dan tampak sifat yang sebetulnya kalem dan tenang, tak seperti nada bicaranya yang garang. Dia menurut saja, dia bukan wakil rakyat yang begitu repot jika diundang rapat, cepat ia berganti pakaian, penampilanya biasa saja, memakai kaos dan celana pendek, lebih mirip kuli daripada kyai.
“Begini kyai. Saya hanya ingin bertanya, apakah Kyai ingin menikah lagi”
“Ah, ngawur kamu, aku tak berniat menikah, selalu ku bilang dari dulu, istri itu sigarane nyowo, separuh nyawaku adalah miliknya. Nyawa inilah penghubungku dengan yang Maha Kekal” Kyai Tentrem terlihat seperti membentak.
“Iya kyai saya tahu, tapi saya pikir itu kok dulu, saat sampeyan masih berkoar tentang ke-esa-an Tuhan, Tuhan itu satu, jika istri adalah sebagian nyawa ke arah Tuhan, berarti ya harus satu. Saya ingat sekali kata-kata Kyai seperti itu dulu, sekarang menurut yang saya dengar, kyai sudah gak mengakui kalau Tuhan itu satu”, Ujar Kyai Bahrun sambil tersenyum.
“Tidak, bukan seperti itu, aku hanya, baru saja tahu jika esa, artinya bukan satu, tapi tak terhitung”.
“Mohon maaf Kyai, saya pikir Kyai agak sembrono, persoalan Tuhan bukanlah persoalan hitungan”
“Kalo begitu masalah apa”, Kyai Tentrem balik bertanya.
“itu masalah hati kyai, hitungan hanya simbol perantara”
“Begitulah, kalau kau sudah cukup mengerti, aku tenang”, Kyai Tentrem melangkah keluar, ke arah pintu gerbang depan balai. Dari dalam terdengar teriakan beberapa orang, dia ceroboh, kafir, dan sejenisnya. Ia berpura-pura tak mendengar itu, sembari tetap melaju dengan sedikit senyum, mukanya terang, benar-benar mirip kyai gila yang beriman. Dia berjalan terus, lurus kearah pantai, sampai hampir menjelang maghrib, kyai Tentrem tiba di pelacuran. Ada beberapa wanita memakai pakaian agak minim, bahkan dari arah selatan, terlihat beberapa tampil natural seperti Nawangwulan, mandi di sumber air sebelah pantai, kyai yang cukup uzur itu lagi-lagi hanya tersenyum. Ia bukan Jaka Tarub.
“Aku punya rezeki, tak banyak, tapi pergunakan dengan baik”. Mereka senang, mereka membaginya merata, lalu dibuatkanlah secangkir kopi buat kyai berbuka.
“Terima kasih kyai, kenapa kau baik pada kami. Yang lain kau tahu”,
“Tidak apa-apa, mereka orang baik dan saleh. Tuhan juga Maha Baik” kyai Tentrem menimpali dengan nada lembut, lalu sebentar tersenyum. Tak seperti biasanya saat berhadapan dengan para santri atau kyai lain. Tapi dalam senyum itu ada kekhawatiran mendalam. Mengapa para sahabat membenci pelacur ini serupa setan. Berapa banyak energi yang mereka habiskan untuk memusuhi mereka. Jika seandainya mereka bisa memakai tenaga itu untuk mencintai pelacur-pelacur ini, barang pasti setan akan pergi sendiri.
Dia melihat ke arah pelacur itu lagi, sebagian tampak lugu, mereka tak tahu akhirat, atau bagaimana kelak jika mati, yang mereka tahu, ada keluarga yang harus dihidupi. Tapi itulah hidup.
“Apakah kelak Tuhan masih memaafkan kami” tanya mereka kemudian.
“Tuhan Maha kuasa” Kyai Tentrem tersenyum lagi.
“Tapi jika Tuhan Maha Kuasa. Kenapa Ia tak mencarikan kami jodoh yang baik. Menurunkan kami di dunia dengan kecukupan”
“Aku tak tahu, tapi Tuhan pastilah sangat baik”
“Lalu akankah kami masuk surga jika ia sungguh baik”
“Itu aku juga tak tahu. Tuhan yang tahu segalanya. Kita disuguhkan kebebasan yang sekaligus rahmat juga beban”
Hati kyai Tentrem tenang, ia lihat pelacur, rumah yang atapnya hampir roboh, dia juga melihat, ada dzat Tuhan disana, dalam orang-orang ini dalam benda itu. Semua kehendak Tuhan. Tapi apakah Tuhan memang ada disana. Ia tatap lagi dalam-dalam. Ada batu tergeletak lemah, dedaunan menari ditimpa angin, pohon yang batangnya agak miring. Apa sebenarnya Tuhan tak di sana. Dia ada dimana-mana. Dia ada diantaranya, penghubung segala hal. Tuhan memang tak terhitung, ia Esa. Ingatanya menerawang jauh ke belakang, saat masih kecil dulu, rajin menghafal Al Qur’an, bekal saat dewasa untuk ke Mesir, namun belum sempat naik haji, bapaknya meninggal dan mesti pulang. Sebenarnya, saat ini dia ingin pergi sekali saja ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun islam kelima. Tapi dipikir-pikir lagi, semua itu hanya tujuan kecil, dari banyak tujuan yang sebenarnya tak pernah kita tahu. Sepanjang hidupnya ia selalu merindukan Tuhan. Dan disini, ternyata dia bisa mendengar Tuhan-Tuhan itu, seperti apa yang diceritakan para kyai sahabatnya saat mengelilingi kabah. Sekarang hatinya begitu tentram seperti namanya. Ada aura Tuhan mengisi sebagian dirinya yang paling suwung dan gelap. Apakah ini yang disebut kedamaian.
“Minumlah kopinya kyai, sudah berbuka”
“Iya, terima kasih”, kali ini suaranya lebih pelan, lalu ia seruput kopi itu, sedikit-demi sedikit sampai separuh gelas, dia terdiam, dari arah depan, seperti tampak muka bapaknya tersenyum, berbinar seperti saat menjemputnya selepas ngaji dulu. Matanya lelah dan mengantuk, suaranya berat, sampai-sampai ia tak sanggup untuk sekedar berkata.
“Ada apa kyai”, salah seorang wanita memegangi tubuhnya yang sedikit roboh. Kyai Tentrem terbatuk-batuk seperti ada yang mencekik kerongkongan, kemudian dari belakang, seorang lagi menepuk-nepuk tengkuk kyai. Mereka bingung, tak tahu harus bagaimana. Suara kyai semakin lenyap, sampai hampir tak terdengar, tapi lama-lama dia mampu bicara. Sangat pelan, lalu menghilang.
“Kami tak mengerti“ kata seorang dari mereka, “Dia seperti mengatakan sesuatu”.
“Jelas kau tak tahu, itu kalimat syahadat, lalu ada pesan lain” sahut seorang santri.
“Bukan, begini-begini juga, aku tahu syahadat”
“lalu apa pesanya”,
“Kalau tak salah dengar, kyai bilang, dia telah melihat kabah”
“Apa? melihat kabah”
“Iya, Kabah”
“Di tempat seperti ini”
“Itu kata Kyai”
“Hah, benar begitu. Jadi kyai tak bilang kalimat syahadat, masya allah, dia benar-benar mati dalam laknat”
“kyai orang baik, apa orang masuk surga gara-gara syahadat”, pelacur itu menyela.
“lalu apa bukan orang yang kufur jika matinya seperti itu”
“sudah-sudah, kyai Bahrun melerai, “tak usah bertengkar, lebih baik sekarang kita bawa pulang jenazahnya, dan segera dikubur, ini aib”.
Jenazah kyai tentrem dikubur didekat pusara bapaknya, baunya busuk seperti mayat yang mati tiga hari. Seluruh Kauman setelah hari itu dipenuhi bau. Dan seperti biasa, gossip baru pun dimulai. Kyai Tentrem sekarang resmi jadi ikon tercela, cerita kematianya ditebar kemana –mana. Anak kyai Tentrem pun, juga tak lantas bebas gosip. Tapi mereka mencoba berpikir positif, setidaknya bapak telah tentram di alam sana. Kini, hidup harus berlanjut, peristiwa datang silih berganti adalah bagiannya, masa depan memang tak tertebak, seperti cerita bapak.
Malam takbiran itupun akhirnya juga bukan hari yang paling menyenangkan buat keluarga kyai Tentrem. Tapi tidak buat para tetangga, paling tidak saat lebaran nanti, mereka punya cerita panas buat sanak saudara. Gosip adalah bekal berharga untuk memulai silahturami, apalagi cerita tercela, orang-orang lebih senang menyimaknya.
Di syaf paling depan itu, para kyai sepuh memberi komando bersiap salat ied. Saat yang paling ditunggu, sebuah kemenangan ketahanan hasrat, pembebasan dari beban puasa, yang juga berarti pelepasan kembali setan di tengah manusia.
“Asslamualaikum warah matullah”, terdengar suara imam menandakan berakhirnya shalat. Lalu dia berpaling kebelakang bersalaman dengan para makmun. Kyai Bahrun yang duduk persis dibelakang imam pun mengulurkan tanganya. Imam itu tersenyum. Senyum yang ia kenal, tapi jarang terlihat.
“Setaaaannn” teriak Kyai Bahrun kontan membuat geger seisi masjid.
“Aku bukan setan run, aku Tentrem, aku tak betah di akhirat, disana memang tak ada apa-apa”,
“jadi”,
“jadi apanya, ya jadi aku tak tentrem, padahal namaku kan Tentrem”,
Seisi kampung, hari itu, mendadak harum seperti melati yang baru mekar pertama kali. Dan, setidaknya, ini pun bisa jadi oleh-oleh berharga buat warga Kauman. Mereka tak usah repot-repot membeli minyak wangi dan secarik cerita buat sanak saudara. Jika ada keluarga jauh datang, cukuplah mereka mencium bau harumnya saja. Sejarah memang kadang kembali, sebuah kisah selalu berulang kali mati dan dilahirkan lagi, tapi tak usah lantang dibicarakan, karena kebenaran tak perlu disuarakan terlalu kencang. Orang cepat atau lambat bakal mendengarnya.
Malang, 4 Oktober 2011
Bacaan terkait
Alumni Sastra Inggris Universitas Jember dan seorang Nietzschean ortodoks. Kontributor media Brikolase.