Seno Gumira Ajidarma merupakan sastrawan sekaligus kritikus sastra yang lahir di Boston, 19 Juni 1958 dan besar di Yogyakarta. Ia juga sempat bekerja sebagai jurnalis. Banyak sekali karya yang lahir dari tangannya. Salah satu karya fenomenalnya adalah cerita pendek (cerpen) Saksi Mata yang mendapat penghargaan Dimny O’Hearn Prize for Translation, Australia, 1977; dan Penulisan Kreatif dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1995.
Salah satu cerpen Seno yang juga cukup menarik yakni Senja Hitam Putih. Cerpen ini termuat dalam buku kumpulan antologi cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku (2002) dan (2016), setelah sebelumnya terbit untuk pertama kali dalam bahasa inggris dengan judul ‘Twilight in Black and White’ dalam majalah Latitudes, (Denpasar, 2001), terjemahan John MacDougall. Cerpen ini berkisah tentang tokoh ‘aku’ yang merasa gelisah sebab dunia yang ia tempati itu berbeda dengan dunia yang ia kenal sebelumnya. Secara tiba-tiba saja semuanya menjadi serba hitam putih. Senja dengan semburat kemerah-merahan dan kekuning-kuningan emas yang hendak ia nikmati di pantai tiba-tiba saja menjadi kelabu setelah sebuah tirai transparan yang turun seperti menutup sebuah pertunjukan. Dunia baginya benar-benar aneh. Orang-orang menjadi hitam putih. Bahkan nama-nama seperti sebuah bar, Blue Moon menjadi Black Moon. Judul sebuah film, Blue Velvet menjadi Black Velvet. Minuman red wine (anggur merah) yang biasa ia pesan di sebuah bar tak ada lagi yang mengenalinya. Sang pelayan hanya mengenal dua jenis minuman anggur: white wine dan black wine. Air kencingnya pun, saat ia berusaha menyelidiki keadaan, juga berubah menjadi putih. Apapun serba hitam dan putih. Ia merasa asing di dunianya. Sebab, hanya dia satu-satunya yang merasakan perubahan itu. Tokoh ‘aku’ juga dipertanyakan oleh suatu hal, mengapa senja yang hitam putih masih saja dipuja-puja oleh banyak orang? Bukankah keindahannya berkat rona merah yang memancar darinya dan membias ke laut lalu menjadikannya kuning kemerah-merahan?
Dunia hitam-putih atau abu-abu yang disajikan dalam cerpen itu merupakan alam surealis. sebuah gambaran yang sulit diterima dalam dunia nyata. Penggambaran dunia yang sangat surealis dalam cerpen ini menimbulkan kekacauan pada logika pembaca, terutama bagi pembaca yang belum berpengalaman membaca karya sastra surealisme. Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, dengan melakukan konkretisasi antarkata dan kalimat, ada beberapa makna yang dapat ditangkap sebagai pesan.
Konkretisasi Makna
Senja dengan cahayanya yang semburat merah-kuning keemas-emasan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sangat berharga. Ini bisa dilihat dari kekesalan tokoh ‘aku’ ketika hal yang sangat berharga itu tiba-tiba saja hilang. Senja tidak lagi menyemburkan warna merah-kuning keemas-emasan, melainkan hanya sebuah struktur yang berwarna abu-abu. Tokoh ‘aku’ seakan-akan tak menerima ketika senja dengan warnanya yang mempesona hilang atau tak terwujud sebagaimana yang seharusnya saat sore hari ketika matahari hendak terbenam. Beberapa kali ia membuka-tutup matanya, beranggapan bahwa matanyalah yang bermasalah. Tak sampai di situ, ia mendatangi orang satu per satu. Ia masih tidak percaya bahwa senjanya itu dan segalanya di dunia telah berubah. Namun, jawaban-jawaban dari pelayan bar atau penjual kaset film tak membuatnya lega. Ia justru semakin kesal. Tak ada dari pelayan atau pun penjual kaset itu yang mengetahui warna selain hitam dan putih. Hal ini mengindikasikan bagaimana senja dan dunianya yang dahulu merupakan sesuatu yang sangat berharga. Ia tak rela kehilangan itu semua. Ia terus-terusan berusaha menolak itu dan meyakinkan dirinya bahwa ada sesuatu yang salah.
Namun, ketika melihat orang-orang yang masih biasa saja dengan keadaan dan mereka tetap asyik menikmati senja bersama pasangan mereka, seolah-olah tidak ada peristiwa besar yang terjadi, rasa kesal itu berangsur-angsur hilang, terutama kala bertemu dengan Maneka, sesosok perempuan dambaannya. Ia melihat Maneka yang masih indah dengan pesonanya. Akhirnya ia pun merasa bahwa sesungguhnya keadaan masih saja sama. Ketidak-terimaanlah yang membangun rasa kesal dan kecewa dalam diri seseorang.
“Maneka, Maneka, wanita impian, perempuan khayalan, dara yang diciptakan, berlari ke pantai dalam sebuah dunia hitam putih yang ternyata juga mempesona. Kalau kita bisa mencintai yang kita miliki saja, dan tidak selalu mengharapkan yang tidak ada, barangkali hidup juga akan menjadi lebih mudah. (Ajidarma, 2016, hal. 125)
…Dunia boleh berubah rupanya, tapi senja akan tetap seperti itu. …Senja yang hitam putih akan menjadi sama saja seperti semua senja yang lain di seribu tempat yang berbeda,” (Ajidarma, 2016, hal. 126-127).
Yang Tersirat dari Seno
Melalui cerpen ini, Seno sebagai penulis menyelipkan sebuah pesan yang tersirat, bahwa apa yang menjadi fakta tak bisa digugat. Segalanya yang berupa fakta atau takdir hanya untuk diterima. Sebuah tirai transparan yang entah dari mana datangnya dapat dimaknai, misalnya, sebagai sebuah cobaan atau ujian yang tiba-tiba saja datang. Ia tiba-tiba saja turun menutup pertunjukan senja yang semburat kemerahan sebagai simbol dari sesuatu yang berharga. Sesuatu yang berharga telah hilang, atau ia tak terwujud. Misalnya, harapan dari sebuah surat lamaran kerja agar diterima di sebuah perusahaan dan dengan itu ia dapat bekerja untuk bisa menafkahi keluarga. Namun sayangnya, lamaran itu ditolak. Ujian itu juga bisa berupa seseorang yang gagal dalam percintaan, bahwa ternyata perempuan atau laki-laki yang telah lama menjalin kasih dengannya selama ini bukanlah teman hidupnya dalam takdir yang digariskan. Ada pula, semisal, usaha seseorang yang tiba-tiba saja mendapat musibah. Di hadapan yang semacam itu semua, seseorang yang tak menerima fakta yang terjadi akan merasa kecewa, kesal, menyalahkan keadaan, bahkan orang-orang sekelilingnya. Sedangkan ia yang menerima sebuah fakta akan memahami keadaan, dan justru membuat hidupnya dalam hidup yang mutmainnatan, tenang.***
Penulis: D. Kurniawan
Penyunting: Yongky
Bacaan terkait
Mahasiswa S2 Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Email: dikialmuzakki@gmail.com