Jembatani Sastra Indonesia-Jerman, Berthold Damshäuser Ungkap Puisi Goethe Terinspirasi Islam

Berthold Damshäuser, Indonesianis asal Jerman (FB Berthold Damshäuser)

Brikolase.com – Berthold Damshäuser, seorang Indonesianis asal Jerman, telah menjadikan Indonesia sebagai bagian integral dari kehidupannya.

Dalam esainya berjudul “Second Home Indonesia. After Almost 40 Years,” ia menggambarkan perjalanan pribadinya yang kaya akan pengalaman, refleksi budaya, dan kontribusi dalam menjembatani sastra Indonesia dan Jerman.

Pertemuan Damshäuser dengan Indonesia bermula pada tahun 1976, saat ia pertama kali berkunjung bersama seorang teman Indonesia.

Sejak saat itu, ia merasa terhubung dengan budaya, masyarakat, dan bahasanya. Bahkan, pernikahannya dengan seorang wanita Indonesia, Dian Apsari, serta kehidupannya yang penuh dengan komunikasi dalam bahasa Indonesia, semakin memperdalam hubungan tersebut.

Dalam dunia akademik, Damshäuser telah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Bonn sejak 1986. Ia melihat perannya tidak hanya sebagai seorang pengajar bahasa, tetapi juga sebagai duta budaya Indonesia di Jerman.

Namun, ia menyayangkan kurangnya pelatihan penerjemahan bahasa Indonesia-Jerman di Jerman seiring dengan perubahan kurikulum akademik.

Damshäuser menjadi salah satu tokoh penting yang memperkenalkan sastra Indonesia kepada pembaca Jerman dan sebaliknya.

Ia telah menerjemahkan ratusan puisi modern Indonesia ke dalam bahasa Jerman, yang puncaknya adalah publikasi antologi sastra Indonesia menjelang Frankfurt Book Fair 2015, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan.

Ia percaya bahwa puisi, sebagai bentuk sastra yang padat dan mendalam, adalah medium yang ideal untuk mencerminkan keindahan bahasa dan budaya Indonesia kepada dunia internasional.

Baca juga: Nobel Sastra 2024, Transkrip Ceramah Han Kang, Cahaya dan Benang

Sebaliknya, Damshäuser juga memperkenalkan sastra Jerman kepada pembaca Indonesia. Melalui proyek Seri Puisi Jerman, ia bersama penyair Agus R. Sarjono menerjemahkan karya-karya penyair besar Jerman, seperti Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Nietzsche, dan Paul Celan, ke dalam bahasa Indonesia.

Proyek Seri Puisi Jerman ini bertujuan mengenalkan karya-karya besar penyair Jerman kepada pembaca Indonesia, sekaligus memperkuat hubungan budaya antara kedua negara.

Damshäuser termotivasi oleh kurangnya representasi sastra Jerman dalam bahasa Indonesia dan merasa terdorong untuk mengisi kekosongan tersebut.

Damshäuser turut berkolaborasi dengan penyair Indonesia seperti Ramadhan K.H. dan Agus R. Sarjono. Ia tidak hanya menerjemahkan karya-karya mereka, tetapi juga bekerja sama secara intensif untuk memastikan bahwa hasil terjemahannya tetap setia pada nilai estetika dan nuansa bahasa asli.

Misalnya, kerja samanya dengan Sarjono melibatkan ratusan jam diskusi mengenai ritme, makna, dan gaya dalam terjemahan.

Damshäuser memulai dengan membuat terjemahan literal, yang kemudian dipoles oleh Agus menjadi puisi yang indah dan bermakna.

Hasilnya, karya-karya seperti puisi Rilke, Brecht, Celan, hingga Goethe berhasil dihadirkan dalam versi Bahasa Indonesia dengan tetap menjaga nilai artistiknya.

Dampak proyek ini sangat positif, terutama setelah peluncuran dan pembacaan puisi di berbagai tempat, termasuk pesantren dan universitas Islam di Indonesia.

Salah satu acara yang paling berkesan adalah pembacaan puisi Goethe di Pesantren Al Amien Prenduan, Madura, yang dihadiri oleh ribuan santri.

Goethe dikenalkan tidak hanya sebagai simbol budaya Jerman, tetapi juga sebagai pemikir yang memiliki kedekatan dengan Islam.

“Pastinya banyak orang Indonesia yang tertarik dengan puisi-puisi penyair hebat Jerman. Kemungkinan besar Indonesia juga akan melihat, mengembangkan minat khusus pada Goethe setelah diketahui betapa
Goethe terhubung dengan Islam.

Dan untuk mencapai hal ini, kami memiliki volume puisi-puisi Goethe yang terinspirasi dari Islam dengan mendedikasikan satu bab khusus untuk puisi dari Antologi Puisi Barat-Timur (West-Östlicher Divan),” kata Damshäuser dalam wawancara yang dirilis di laman Universität Bonn.

Hal ini menambah daya tarik karya-karya Goethe, terutama bagian dari “West-Östlicher Divan,” bagi audiens Indonesia yang plural dan beragam.

Penerjemahan Damshäuser dalam sastra Jerman ke Bahasa Indonesia turut menginspirasi lahirnya beberapa karya seni.

Misalnya, karya Paul Celan yang diterjemahkan dalam Seri Puisi Jerman menginspirasi berbagai bentuk ekspresi seni, seperti musik, teater, dan seni visual.

Beberapa seniman Indonesia, seperti pelukis Herry Dim, bahkan menciptakan karya seni visual berdasarkan puisi Celan, yang kemudian dikembangkan menjadi karya multimedia.

Sebagai dosen di Universitas Bonn, Damshäuser turut mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia kepada mahasiswa Jerman, yang berkontribusi pada pembentukan Indonesianis generasi baru di Eropa.

Ia juga terlibat dalam dunia editorial sebagai anggota dewan redaksi Jurnal Sajak, sebuah majalah sastra Indonesia yang berpengaruh.

Melalui penerjemahan dan diskusi sastra, Damshäuser sering menyampaikan pesan toleransi dan pluralisme. Karya Nietzsche, Goethe, dan Celan, misalnya, digunakan untuk membuka ruang dialog tentang tema-tema seperti humanisme, kebebasan berfikir, dan persatuan dalam keberagaman.

Dalam refleksinya, Damshäuser melihat Indonesia sebagai negara yang terus berkembang dengan tantangan-tantangan kompleks, seperti korupsi, intoleransi agama, dan ketimpangan sosial.

Meski demikian, ia tetap optimis terhadap masa depan Indonesia, terutama karena potensi pluralisme dan toleransi yang diwarisi dari tradisi budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa.

Damshäuser melihat pentingnya pendidikan sebagai kunci masa depan Indonesia. Ia percaya bahwa penguatan sistem pendidikan dapat membantu Indonesia menghasilkan generasi muda yang kompeten dalam sains dan teknologi, sekaligus mempertahankan identitas budaya yang plural.

Bagi Damshäuser, Indonesia lebih dari sekadar objek studi. Ia menyebut Indonesia sebagai “rumah kedua” karena kedekatannya dengan bahasa, budaya, dan masyarakatnya.

Bahkan, di tengah lingkungan asing seperti Beijing, bertemu dengan seorang pengajar Indonesia menjadi momen penuh kelegaan dan keakraban, yang mencerminkan rasa keterhubungan mendalam dengan tanah air kedua ini.

Dengan dedikasinya terhadap bahasa dan sastra, Damshäuser telah menjadi jembatan antara Indonesia dan dunia internasional.

Pandangan dan kontribusinya tidak hanya memperkaya hubungan budaya antara Indonesia dan Jerman, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk menghargai keberagaman dan memperjuangkan nilai-nilai universal.***