Kuasa Kolonial, Dugaan Pelecehan Seksual Michel Foucault Terhadap Anak-anak Tunisia, Dampak Traumatis Harus Diperhitungkan

Michel Foucault (http://imagem.sian.an.gov.br/)

Brikolase.com – Kabar dugaan pelecehan seksual yang melibatkan filsuf Prancis terkemuka, Michel Foucault, mencuat setelah profesor dan penulis Prancis-Amerika, Guy Sorman, membocorkannya.

Sorman, yang merupakan teman dekat Foucault, menuduh bahwa filsuf tersebut melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak Arab saat tinggal di Tunisia pada akhir 1960-an.

Sorman mengungkap bagaimana Foucault memperlakukan anak-anak tersebut dan bagaimana media tampaknya menutup mata terhadap isu ini.

Dalam wawancaranya dengan Sunday Times, Guy Sorman mengatakan bahwa ia menyaksikan langsung perilaku Foucault saat berkunjung ke kediamannya di Tunisia.

Baca juga: Kisah Grigori Perelman, Ilmuwan Jenius Matematika yang Menolak Penghargaan Dunia dan Uang Jutaan Dolar

“Anak-anak kecil berlari mengejar Foucault sambil berkata, ‘Bagaimana dengan aku? Pilih aku, pilih aku.’ Mereka berusia 8, 9, 10 tahun. Foucault melemparkan uang kepada mereka dan berkata, ‘Nanti kita ketemu jam 10 malam di tempat biasa.’

Dia seperti biasanya akan bercinta di sana, di atas batu nisan, dengan anak-anak itu. Pertanyaan apakah anak-anak itu mau melakukannya bahkan tidak diajukan,” ungkap Sorman.

Sorman menyebut bahwa lokasi pertemuan itu adalah sebuah pemakaman di Sidi Bou Said, sebuah kota di utara ibukota Tunis.

Perbedaan kekuasaan antara Foucault, seorang intelektual Prancis kaya dan berpengaruh, dan anak-anak Tunisia yang miskin menciptakan situasi eksploitasi yang sangat tidak berimbang.

Sorman mengaku menyesal bahwa ia tidak melaporkan apa yang ia lihat kepada pihak berwenang, polisi, saat itu.

Sorman juga menyoroti bahwa Foucault mungkin tidak akan berani melakukan hal yang sama di Prancis. Ada dimensi kolonial dalam perilaku filsuf tersebut.

“Foucault tidak akan berani melakukan ini di Prancis. Ada unsur kolonial di sini. Ini adalah imperialisme kulit putih,” ujarnya.

Pernyataan ini mencerminkan kritik terhadap intelektual Prancis yang sering kali memanfaatkan status sosial dan ekonomi mereka untuk mengeksploitasi masyarakat di negara bekas jajahan Prancis.

Tuduhan terhadap Foucault bukanlah hal baru, namun hingga saat ini, media utama di Prancis tampaknya enggan untuk menyoroti kasus ini secara luas.

Beberapa surat kabar terkemuka seperti Le Monde dan Libération bahkan tidak melaporkan tuduhan yang diajukan oleh Sorman.

Hal ini berbeda dengan kasus-kasus pelecehan lainnya yang melibatkan tokoh intelektual Prancis. Sebagai contoh, penulis Gabriel Matzneff yang harus menghadapi tuntutan hukum atas tuduhan pelecehan seksual terhadap anak-anak Prancis dan Filipina.

Matzneff telah dipermalukan di depan umum atas tuduhan pedofilia terhadap anak-anak Prancis dan Filipina padahal ia banyak menulis dalam novelnya tentang pengalamannya dengan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki dan perempuan di Filipina.

Ia lalu disingkirkan oleh penerbitnya dan dicabut kolom dan penghargaan sastranya setelah terbit buku, Consent, karya Vanessa Springora, salah satu korban penulis di bawah umur berkulit putih.

Namun, perlakuan terhadap kasus Foucault tampaknya berbeda. Kritikus menilai bahwa karena korban Foucault adalah anak-anak Tunisia, kasus ini dianggap kurang relevan oleh publik Prancis.

“Kebenaran yang pahit adalah bahwa perbedaan dalam reaksi keras terhadap Matzneff, dibandingkan dengan dakwaan yang dijinakkan terhadap Foucault, adalah hasil dari sejarah panjang dalam memandang subjek (neo)kolonial sebagai tubuh yang bisa dibuang,” kata akademisi dan penulis Tunisia, Haythem Guesmi, dikutip dari laman Al Jazeera.

Selain itu, The Sunday Times juga dikritik karena menyajikan laporan ini dalam konteks kritik terhadap ideologi liberal progresif (woke) yang tengah berkembang di dunia akademik Prancis.

Hal ini membuat laporan tersebut terkesan bias secara politik dan mengaburkan fokus utama pada dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Foucault.

Michel Foucault adalah salah satu filsuf berpengaruh di abad ke-20, yang dikenal karena analisisnya tentang kekuasaan, sistem penjara, kesehatan mental, dan seksualitas.

Namun, meskipun ia banyak menulis tentang seksualitas dan konsep kekuasaan, ia mengabaikan persoalan eksploitasi seksual di negara-negara bekas jajahan Prancis.

Beberapa kritikus kini meninjau kembali gagasan-gagasan Foucault dalam konteks tuduhan ini. Mereka mempertanyakan apakah pengalaman pribadinya dengan anak-anak Tunisia ikut membentuk teorinya tentang seksualitas dan hubungan kuasa.

Selain itu, ada juga fakta bahwa Foucault pada tahun 1977 menandatangani petisi yang menyerukan legalisasi hubungan seksual dengan anak-anak berusia 13 tahun ke atas.

Petisi tersebut dikeluarkan setelah persidangan tahun 1977 di Prancis yang memenjarakan tiga orang pria karena pelanggaran seksual tanpa kekerasan terhadap anak-anak berusia 12 dan 13 tahun.

“Tiga tahun penjara karena belaian dan ciuman: sudah cukup,” bunyi salah satu petisi yang ditandatangani oleh Kouchner dan Lang.

“Hukum Prancis mengakui bahwa anak-anak berusia 12 dan 13 tahun memiliki kapasitas untuk menilai sehingga ia bisa dihakimi dan dihukum.

Namun, undang-undang tersebut menolak kapasitas tersebut jika menyangkut kehidupan emosional dan seksual anak.

Undang-undang tersebut harus mengakui hak anak-anak dan remaja untuk menjalin hubungan dengan siapa pun yang mereka pilih,” bunyi petisi kedua yang ditandatangani oleh Sartre, De Beauvoir, Michel Foucault, Roland Barthes, Jacques Derrida, Françoise Dolto, Philippe Sollers, Alain Robbe-Grillet, dan Louis Aragon, dikutip dari laman The Guardian.

Foucault telah meninggal pada tahun 1984, kecil kemungkinan akan ada pertanggungjawaban hukum atas dugaan pelecehan seksual ini.

Namun, banyak pihak menyerukan agar dunia akademik, terutama masyarakat Prancis melakukan refleksi lebih dalam mengenai kasus ini.

Prancis terlalu protektif terhadap tokoh-tokoh terkemukanya terutama bila menyangkut soal kejahatan seksual yang dilakukan terhadap korban dari negara-negara berkembang.

Jadi seruan untuk mempertimbangkan warisan perbuatan yang mengerikan ini tampaknya hanya akan direduksi menjadi catatan kaki dalam karya-karya akademis dan budaya.

Warisan Foucault sebagai pemikir tidak boleh menghalangi upaya untuk mengakui dampak buruk dari perbuatannya.

Anak-anak Tunisia yang menjadi korban Foucault telah kehilangan suara mereka dalam sejarah.

“Saya tidak menyerukan agar Foucault diboikot (cancel) atau laporan tentang pelecehan seksual terhadap anak-anak ini digunakan untuk menyerang karya ilmiahnya dan dunia akademis secara umum.

Namun, penting untuk mengakui bahwa kejahatan Foucault telah mempengaruhi kehidupan banyak anak Tunisia yang tidak dikenal serta menyebabkan dampak traumatis yang mendalam dalam kehidupan mereka.

Memperhitungkan pelecehan seksual yang dilakukannya di Tunisia berarti bahwa keadilan sosial akhirnya dapat diberikan kepada para korbannya,” kata Haythem.***