Brikolase.com – Dalam era digital saat ini, menonton konten di berbagai platform media sosial sudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak.
Namun, apakah kualitas tontonan berpengaruh terhadap perkembangan mereka?
Salah satu acara yang kerap menjadi perdebatan adalah CoComelon, sebuah serial animasi yang dikenal dengan lagu-lagu ceria dan animasi berwarna-warni.
Dengan karakter yang ceria, lagu-lagu pengantar tidur yang menarik, serta visual yang berwarna-warni, acara ini sering menjadi pilihan utama orang tua untuk menghibur anak mereka.
Namun, di balik popularitasnya, muncul kekhawatiran dari para pakar dan orang tua mengenai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh CoComelon terhadap perkembangan anak, terutama terkait dengan stimulasi berlebihan.
Kritik terhadap CoComelon berpusat pada cara penyajiannya yang dianggap terlalu cepat dan dapat menyebabkan overstimulasi pada anak-anak.
Menurut analisis, setiap adegan dalam CoComelon berubah setiap 1 hingga 3 detik, disertai dengan pergerakan kamera yang cepat, zoom in-out, serta suara-suara tawa dan lagu yang berulang-ulang.
Sebagian besar orang tua sebenarnya menghindari tayangan yang mengandung kekerasan, bahasa kasar, atau unsur yang tidak pantas bagi anak.
Namun, ada faktor lain yang lebih tersembunyi tetapi berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif dan perilaku anak, sebagaimana dikutip dari forbes.com.
1. Kecepatan Tayangan
Acara dengan tempo yang sangat cepat, seperti CoComelon, sering kali tampak menarik karena memiliki visual yang cepat berubah dan alur cerita yang bergerak cepat.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa paparan singkat terhadap tayangan cepat dapat mengganggu fungsi eksekutif anak, yaitu kemampuan untuk merencanakan, menyelesaikan masalah, dan mengendalikan impuls.
Sebuah studi dari American Academy of Pediatrics (2011) mengungkapkan bahwa hanya sembilan menit menonton kartun dengan ritme cepat dapat mengurangi kemampuan anak dalam mengatur perhatian dan mengendalikan diri.
Tayangan yang terlalu cepat membuat otak anak kesulitan memproses informasi dengan baik, sehingga mereka cenderung lebih impulsif dan mudah terdistraksi.
2. Kurangnya Stimulasi Seimbang
Menurut Dr. Susan R. Johnson, seorang dokter anak spesialis perilaku dan perkembangan, menonton televisi dalam jangka panjang bisa diibaratkan sebagai bentuk deprivasi sensorik tingkat tinggi.
Ini karena anak hanya menggunakan dua indera utama, penglihatan dan pendengaran, tanpa adanya pengalaman sensorik lainnya seperti sentuhan dan interaksi langsung dengan lingkungan.
Kurangnya stimulasi indera lain dapat berdampak buruk pada perkembangan otak anak, bahkan bisa menyebabkan penurunan ukuran otak hingga 20–30%.
Selain itu, paparan yang terlalu berlebihan terhadap suara dan warna-warna mencolok dalam tayangan seperti CoComelon dapat mengganggu perkembangan fungsi sensorik anak, membuat mereka lebih sulit berkonsentrasi dan beradaptasi dengan aktivitas di dunia nyata.
3. Rentang Perhatian yang Pendek
Anak yang sering menonton tayangan dengan ritme cepat cenderung sulit berkonsentrasi dalam aktivitas yang membutuhkan fokus, seperti membaca atau bermain kreatif.
Menurut penelitian, paparan jangka panjang terhadap acara dengan stimulasi tinggi dapat memengaruhi rentang perhatian anak dan menghambat perkembangan permainan kreatif.
“Perubahan visual yang cepat dapat menciptakan ketergantungan pada rangsangan eksternal, sehingga anak sulit untuk menikmati aktivitas yang lebih tenang seperti membaca atau bermain imajinatif.” kata dr. Kumar, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Kinder Bengaluru, dikutip dari laman onlymyhealth.com.
4. Ketergantungan Terhadap Stimulasi Tinggi
Anak yang terbiasa dengan tontonan cepat akan kesulitan menikmati aktivitas dengan ritme lambat, seperti mendengarkan cerita atau berinteraksi sosial.
5. Sulit Mengendalikan Emosi
Banyak orang tua melaporkan bahwa anak mereka menjadi mudah tantrum saat waktu menonton CoComelon dihentikan, yang menunjukkan adanya gejala “putus layar” akibat ketergantungan terhadap stimulasi tinggi.
6. Gangguan Perkembangan Sosial
Tayangan seperti CoComelon tidak memberikan cukup kesempatan bagi anak untuk belajar interaksi sosial yang alami, karena mereka lebih banyak menerima stimulasi pasif dibanding berpartisipasi dalam percakapan atau bermain dengan teman sebaya.
7. Gejala “Putus Layar”
Beberapa orang tua melaporkan bahwa anak mereka mengalami kemarahan berlebihan atau tantrum ketika CoComelon dimatikan.
Hal ini terjadi karena otak anak mulai terbiasa dengan tingkat stimulasi yang tinggi, sehingga mereka kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang lebih tenang.
8. Risiko Overstimulasi Sensorik
CoComelon menggunakan warna-warna yang sangat jenuh dan pola suara yang berulang untuk menarik perhatian anak-anak.
Namun, paparan berlebihan terhadap elemen ini dapat menyebabkan overload sensorik, di mana otak anak mengalami kesulitan memproses informasi secara efektif.
Akibatnya, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengatur perhatian, memahami interaksi sosial, atau bahkan menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional.
Namun beberapa ahli berpendapat bahwa tidak ada bukti ilmiah yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa CoComelon benar-benar berbahaya.
Dr. Rebecca G. Cowan, profesor di Walden University, menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada penelitian empiris yang membuktikan bahwa CoComelon menyebabkan overstimulasi.
“Setiap anak merespons tayangan dengan cara berbeda. Jika anak terlihat overstimulasi atau kesulitan mengendalikan emosi setelah menonton, orang tua sebaiknya membatasi atau mengganti tontonan mereka,” jelas Dr. Cowan, dikutip dari laman parents.com.
Bagaimana Cara Mengatasi Dampak Negatif CoComelon?
Meskipun CoComelon bukanlah tontonan yang sepenuhnya berbahaya jika ditonton dalam batas wajar, para ahli menyarankan untuk mengontrol durasi dan memilih konten yang lebih sehat bagi anak-anak.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry merekomendasikan bahwa anak usia 2 hingga 5 tahun tidak boleh menonton lebih dari satu jam per hari, dengan fokus pada konten yang berkualitas dan sesuai usia.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk mengurangi dampak overstimulasi dari CoComelon:
1. Batasi Waktu Menonton
Pastikan anak tidak terlalu lama terpapar layar dan berikan mereka waktu untuk melakukan aktivitas lain seperti bermain di luar atau membaca buku.
2. Pilih Tayangan dengan Ritme yang Lebih Lambat
Alternatif seperti Bluey atau Puffin Rock menawarkan pengalaman menonton yang lebih tenang, dengan fokus pada cerita yang menarik dan perkembangan sosial-emosi anak.
3. Pantau Reaksi Anak
Jika anak terlihat mudah marah, sulit fokus, atau mengalami tantrum setelah menonton CoComelon, pertimbangkan untuk mengurangi atau mengganti tontonan mereka dengan aktivitas lain.
4. Gunakan Transisi yang Halus
Jika anak sulit beralih dari menonton ke aktivitas lain, cobalah menggunakan transisi bertahap seperti membaca buku dengan lagu latar yang menenangkan atau melakukan aktivitas fisik ringan sebelum layar dimatikan.
Jika anak menunjukkan tanda-tanda overstimulasi setelah menonton CoComelon, seperti mudah marah, menangis, atau sulit berkonsentrasi, orang tua dapat melakukan beberapa langkah berikut:
1. Tetap Tenang
Anak akan meniru emosi orang tua, jadi penting untuk tetap bersikap tenang saat menghadapi tantrum.
2. Alihkan ke Lingkungan yang Tenang
Ajak anak ke tempat yang lebih tenang, seperti kamar atau halaman rumah, untuk membantu mereka menenangkan diri.
3. Biarkan Anak Mengungkapkan Emosinya
Validasi perasaan anak dan beri mereka ruang untuk mengungkapkan emosinya.
4. Ajarkan Teknik Relaksasi
Latih anak untuk bernapas dalam-dalam atau menghitung dengan jari untuk membantu mereka mengendalikan diri.***
Bacaan terkait

Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com