Di Balik Tragedi Althusser Mengakhiri Hidup Istrinya, Hélène Rytmann Jadi Simbol Perempuan Pejuang Lawan Patriarki

Brikolase.com – Kala itu, 16 November 1980, suasana di lingkungan École Normale Supérieure, jantung intelektual elite Prancis, mendadak terguncang.

Seorang pria tua bergegas keluar dari apartemennya, berteriak histeris, “Aku telah mencekik Hélène!”

Pria itu adalah Louis Althusser, salah satu filsuf Marxis paling berpengaruh pada masanya.

Tak seorang pun menyangka, pria yang namanya harum di dunia pemikiran itu menjadi pelaku dari tragedi yang akan membayanginya hingga akhir hayat.

Namun misteri tidak berhenti pada kejahatan itu saja. Sepuluh tahun kemudian, setelah Althusser meninggal pada 1990, sebuah memoar diterbitkan—L’Avenir dure longtemps (Masa Depan Bertahan Lama) yang bukan hanya pengakuan atas pembunuhan, tetapi juga kehancuran total citra seorang intelektual besar.

Memoar ini bukan sekadar catatan pribadi, melainkan pengakuan brutal seorang manusia yang menelanjangi dirinya habis-habisan di hadapan dunia.

Baca juga: Dugaan Pelecehan Seksual Michel Foucault terhadap Anak-anak Tunisia, Dampak Traumatis Harus Diperhitungkan

“Aku berlutut di samping tubuhnya, memijat lehernya. Aku telah sering memijatnya, di bagian tengkuk atau punggung…

Tapi kali ini, yang kupijat adalah bagian depan lehernya. Jempolku menekan lembut di atas tulang dada, perlahan naik ke bagian keras di bawah telinga. Lengan bawahku terasa lelah…

Lalu, tiba-tiba aku dilanda ketakutan: matanya kosong menatap langit-langit, lidahnya sedikit terjulur di antara gigi dan bibir. Aku tahu dia telah mati. Aku telah mencekiknya.” tulis Althusser dikutip dari laman independen.co.uk.

Begitulah Althusser membuka kisahnya. Tanpa metafora, tanpa belas kasihan.

Sebuah awal yang mengejutkan, tak ubahnya novel kriminal yang penuh ironi, ditulis oleh si pembunuh sendiri.

Hélène Rytmann, Perempuan Pejuang

Par Francis Dupuis-Déri, dalam artikelnya La banalité du mâle. Louis Althusser a tué sa conjointe, Hélène Rytmann-Legotien, qui voulait le quitter (2015) menjelaskan kehidupan istri Althusser.

Hélène Rytmann, lahir di Paris tahun 1910 dalam keluarga Yahudi, menjalani hidup yang penuh luka sejak remaja.

Di usia 13 tahun, ia terpaksa mengakhiri penderitaan ayahnya yang sekarat karena kanker dengan memberikan dosis obat mematikan, keputusan yang diinstruksikan dokter.

Setahun kemudian, ia mengulangi tindakan serupa untuk sang ibu.

Kegetiran ini membayangi hidupnya, namun tak menghalanginya menjadi pejuang.

Sebagai anggota Partai Komunis sejak 1930, Hélène, yang menggunakan nama samaran ‘Mademoiselle Legothien’ selama Perang Dunia II, aktif dalam gerakan perlawanan di Lyon.

K.S. Karol dalam artikelnya The Tragedy of the Althusser (1980) mengungkap bahwa Hélène, lahir dari keluarga Yahudi miskin, yang berjuang dari bawah.

Ia menekuni sastra dan sejarah, serta sempat bekerja di dunia film sebagai asisten Jean Renoir.

Lalu datang masa kelam pendudukan Nazi. Ia menolak mengenakan bintang kuning, simbol diskriminasi terhadap Yahudi.

Sebaliknya, ia memilih jalan perlawanan menjadi “Mademoiselle Legothien”, pejuang dalam kelompok Francs-Tireurs et Partisans Français, dan sempat bekerja sama dengan Albert Camus. Dari sinilah ia mengenal komunisme.

Louis Althusser, yang saat perang menjadi tahanan di kamp Jerman, sangat mengagumi keberanian dan idealisme Hélène.

Dari dialah benih-benih keterlibatan Louis dengan ideologi kiri mulai tumbuh.

Hélène, sebagai seorang sosiolog, tak pernah berhenti bekerja di lapangan, di tengah masyarakat, memetakan realitas kaum tani, pekerja kota, bahkan masyarakat Dunia Ketiga.

Bahkan setelah pensiun pada 1976, ia tetap melakukan riset. Ia tengah menyusun studi tentang keluarga pekerja di wilayah industri Fos.

Meski berbeda gaya, pengaruh Hélène atas pemikiran Louis tak bisa dipungkiri.

Banyak yang menduga bahwa ketika Althusser mengkritik Partai Komunis Prancis lewat artikel di Le Monde pada 1978, gaya bicara lugas Hélène turut mewarnainya.

Louis menyusun argumen panjang, mengkritik negara dan partai sebagai institusi kaku yang gagal memahami spontanitas massa dan ruang individualitas.

Namun, Hélène tetap di belakang layar, tak mencari panggung, meski perannya besar.

Lebih dari itu, ia adalah satu-satunya orang yang setia mendampingi Louis melewati badai jiwanya.

Sejak 1962, Louis kerap mengalami episode depresi berat, mengasingkan diri, lalu muncul kembali dengan karya dan semangat baru, hanya untuk kembali tenggelam dalam siklus penderitaan yang sama.

Di setiap momen itu, Hélène ada. Menjadi penjaga, penyangga, sekaligus korban dari penderitaan yang tak berujung.

Ia ikut terseret dalam kehancuran batin suaminya, tapi tak pernah benar-benar pergi.

Musim panas sebelum tragedi, Louis mengalami depresi paling parah. Di klinik, ia dihantui oleh bayang-bayang kematian dan kehampaan.

Ia bahkan kehilangan rasa akan identitas dirinya. Beberapa sahabat menyaksikan sendiri betapa dalam jurang yang ditapakinya.

Ketika ia dan Hélène pergi ke selatan Prancis sempat ada harapan. Namun sesampainya kembali di Paris, gejala kembali memburuk.

Louis menutup diri, tak menerima tamu, tak membaca, hanya diam, dan berencana masuk klinik lagi.

Menjelang akhir pekan itu, Hélène membatalkan semua janji. Ia cemas, tapi tak lebih dari biasanya. Ia khawatir pada Louis, bukan pada dirinya.

Hubungan mereka, yang berlangsung selama 30 tahun, penuh dinamika kekuasaan.

Althusser, meski jenius, kerap dihantui ketidakstabilan mental.

Ia berkali-kali dirawat di rumah sakit, sementara Hélène setia mengurusnya.

Namun, kesetiaan itu berakhir tragis pada 16 November 1980.

Pagi itu, di apartemen mereka di École Normale Supérieure, Althusser mengaku mencekik Hélène hingga tewas.

Sang suami, dalam keadaan delirium parah, menyatakan dirinya sebagai pelaku.

Dokter kampus, Etienne, bersama wakil direktur dan seorang petugas kebersihan, terpaksa melumpuhkan Louis.

Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Sainte-Anne, rumah sakit jiwa yang tak asing baginya.

Bagi teman-teman dekat dan kolega, kabar ini terasa mustahil. Louis, seorang yang lembut, penuh pikiran, dan dikenal setia pada dunia teori.

Namun hasil autopsi awal tak terbantahkan. Laring Hélène hancur, yang menjadi tanda nyata dari kekerasan fisik. Ia memang dicekik.

Kritik Feminis atas Hélène Rytmann

Tragedi ini, seintim apapun awalnya, tak mungkin tetap tersembunyi. Nama besar Althusser membuat berita ini menyebar cepat dan menjadi konsumsi publik.

Sayangnya, publikasi itu tak selalu adil. Beberapa media mengaitkan peristiwa ini dengan pemikiran filsafat Althusser, bahkan menyebut bahwa ideologi komunisnya berkontribusi pada tindakan brutal itu. Sebuah tudingan keji dan tak berdasar.

Louis Althusser bukanlah pria bebas dari luka batin. Ia telah berjuang selama hampir dua dekade melawan penyakit psikologis yang kronis.

Depresi berat dan fase-fase mania membuatnya keluar masuk klinik jiwa. Saat tragedi itu terjadi, ia berada di titik nadir kesadarannya.

Begitu parahnya kondisinya, hingga dua hari kemudian pun, penyidik harus mengurungkan niat untuk menuntut secara hukum.

Pasal dalam Kitab Hukum Pidana Prancis jelas menyebut: “Tidak ada kejahatan jika pelaku dalam keadaan gila saat kejadian.”

Louis bukan di atas hukum, tapi ia juga berhak atas perlindungan hukum yang berlaku untuk semua warga negara.

Namun ketidakadilan lainnya, yang lebih halus namun menyakitkan, adalah bagaimana Hélène seolah hanya disebut sebagai “korban” tanpa diberi ruang sebagai pribadi.

Padahal, hidupnya adalah narasi penuh keberanian, kerja keras, dan intelektualitas.

Tragedi ini tidak hanya mengakhiri kehidupan seorang perempuan bernama Hélène Rytmann, tetapi juga mengguncang kredibilitas moral salah satu filsuf Marxis.

Narasi media dan tanggapan akademisi kala itu justru menyoroti tragedi ini seolah sebagai akhir dari kehidupan intelektual Althusser, bukan sebagai tragedi pembunuhan terhadap Hélène.

Surat kabar Sunday Times bahkan menyebut, “Inilah akhir dari karier seorang intelektual Prancis paling berpengaruh di era pasca Perang Dunia II.”

Seolah kematian Hélène sekadar latar belakang dari jatuhnya seorang pemikir besar.

Reaksi publik dan kalangan akademik terhadap peristiwa ini memperlihatkan pola umum yang tidak asing dalam masyarakat patriarkis: menyalahkan korban dan membebaskan pelaku.

Hélène disebut sebagai perempuan yang “argumentatif,” “berlidah tajam,” dan “tidak disukai oleh teman-teman pasangan itu.”

Seolah karakteristik pribadinya menjadi faktor pembenar kematiannya.

Sementara itu, Althusser diposisikan sebagai korban gangguan mental, depresi, dan penderitaan psikologis yang berkepanjangan.

K. S. Karol, misalnya, menulis bahwa tragedi itu “membawa ke puncak penderitaan mengerikan seorang pria yang selama 18 tahun berjuang melawan gangguan psikologis berat.”

Dalam kerangka ini, pembunuhan terhadap Hélène diprivatisasi, dikemas sebagai drama domestik, bukan kejahatan, bukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, dan bukan pula konsekuensi dari struktur sosial yang lebih besar.

Tragisnya, seperti yang dikritik oleh sejumlah feminis, media dan kalangan intelektual lebih sibuk menyelamatkan reputasi “kecemerlangan intelektual” Althusser daripada menyuarakan keadilan bagi korban.

Kritik feminis terhadap kasus ini menekankan pentingnya untuk tidak memisahkan antara yang personal dan yang politis, antara kehidupan emosional seorang filsuf dengan ideologi yang ia usung.

Althusser bukan hanya individu yang menderita gangguan jiwa. Ia juga seorang tokoh intelektual yang hidup dan berpikir dalam struktur patriarkis dan ilmiah yang telah lama menormalisasi dominasi laki-laki atas perempuan.

Dalam kritik tajam terhadap pengagungan terhadap ilmu pengetahuan dan revolusi ilmiah yang diusung oleh para filsuf seperti Althusser, terungkap bahwa sains sendiri tidak netral.

Ia lahir dari struktur sosial yang sama dengan patriarki: struktur yang mengatur produksi dan reproduksi, yang memisahkan manusia dari alam, dan yang menjadikan perempuan sebagai “yang lain”, sebagai objek yang bisa dikendalikan, dibungkam, bahkan dimusnahkan.

Jika narasi bahwa Althusser hanya “hilang akal” dan bahwa Hélène adalah istri yang “problematik”, maka kompleksitas kekerasan yang sesungguhnya terjadi telah dikubur.

Narasi itu menormalisasi bahwa laki-laki, bahkan yang memegang kekuasaan moral dan intelektual, bisa melakukan kekerasan atas nama penderitaan pribadi.

Begitu berita pembunuhan tersebar, media dan publik Prancis segera menyederhanakan kasus ini: Althusser gila.

Psikiater dan jurnalis ramai-ramai mengutip riwayat depresi sebagai alasan tunggal. Narasi ini menghapus konteks sosial-politik, terutama relasi kuasa gender.

Seperti yang diungkap feminis Patrizia Romito, psikologisasi adalah taktik klasik untuk mendepolitisasi kekerasan laki-laki terhadap perempuan.

Dalam autobiografinya, L’avenir dure longtemps (1992), Althusser menggambarkan pembunuhan itu sebagai “kecelakaan” dalam keadaan blackout (gelap mata).

Ia mengaku tiba-tiba menemukan Hélène sudah tak bernyawa, seolah ada kekuatan tak kasatmata yang bertindak.

Narasi ini, seperti dikritik peneliti Vania Widmer, menghilangkan kehadiran Althusser sebagai pelaku.

Padahal, pengakuan Althusser sendiri mengungkap pola kekerasan: Hélène kerap menjadi sasaran amukannya, bahkan ia mengancam bunuh diri jika ditinggalkan.

Kasus ini bukan sekadar tragedi rumah tangga. Ia adalah cermin dari bagaimana patriarki bekerja, bagaimana sistem ini membungkam korban perempuan, melindungi pelaku laki-laki, dan menggunakan institusi filsafat, ilmu pengetahuan, dan media sebagai pelindung kekuasaan.

Althusser yang membunuh istrinya adalah Althusser yang sama yang menulis Pour Marx.

Praksis intelektual dan emosionalnya berakar dari tanah yang sama yakni kondisi sosial, historis, dan ideologis yang memungkinkan dan menentukan tindakannya.

Feminis seperti Mélissa Blais dan Jalna Hanmer mengingatkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah drama personal, melainkan cermin ketimpangan sistemik.

Data di Prancis menunjukkan rata-rata satu perempuan dibunuh pasangannya setiap dua hari, fenomena yang konsisten sejak 1970-an.

Namun, media kerap memojokkan korban. Dalam kasus Hélène, ia hampir tak disebut.

Pemberitaan justru fokus pada penderitaan Althusser, filsuf malang yang terbebani trauma masa kecil.

Padahal, jejak kekerasan Althusser sudah terlihat sejak lama. Ia mengaku kerap memukul teman sekelas dan perempuan, serta menjadikan Hélène “sandera” dalam hubungan yang tidak setara.

Dalam autobiografi, ia bahkan menyebut memiliki “cadangan perempuan” untuk memastikan tak pernah sendirian.

Sikap posesif ini, ditambah ancaman saat Hélène ingin meninggalkannya, adalah pola klasik femicide—pembunuhan perempuan oleh pasangan yang merasa hak kepemilikannya tergugat.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah dukungan tak bersyarat dari lingkaran intelektual Althusser. Bernard-Henri Lévy, muridnya, menyebut sang guru sebagai “korban kesepian filosofis”.

Direktur École Normale Supérieure bahkan memastikan Althusser tak pernah ditahan, hak istimewa yang mustahil didapatkan jika pelakunya bukan elite.

Media pun ramah. Le Monde memuat artikel panjang tentang “kegilaan kreatif” Althusser tanpa menyebut Hélène sekalipun.

Fenomena ini bukan unik. Kasus Bertrand Cantat (pembunuh aktris Marie Trintignant) dan Roman Polanski (pelaku pemerkosaan) menunjukkan bagaimana laki-laki berkuasa dilindungi oleh jaringan solidaritas maskulin.

Seperti dikatakan sosiolog Christine Delphy, ini adalah “pengkhianatan kasta”, elite intelektual yang lebih memilih membela sesama daripada mengakui kekerasan sistemik.

Hélène, sang pejuang perlawanan, kini hanya dikenang sebagai “istri Althusser yang dibunuh”.

Karyanya di bidang sosiologi dan esai di majalah Esprit nyaris hilang dari sejarah.

Padahal, dalam tulisannya tahun 1955, ia mengkritik film-film yang meromantisasi “pembunuhan atas nama cinta”. Ironisnya, ia sendiri menjadi korban dari narasi yang sama.

Kematian Hélène mengingatkan bahwa selama kekerasan laki-laki dilihat sebagai masalah psikologis individu, selama itu pula akar patriarki tak tersentuh.

Prestise dan harga diri laki-laki sering dibangun di atas penderitaan perempuan.

Kasus Althusser bukan sekadar tragedi personal. Ia adalah cermin masyarakat yang masih memaafkan darah perempuan demi menjaga reputasi sang algojo.

Kini, ketika kita menyebut nama Louis Althusser dalam konteks pemikiran Marxis strukturalis, kita juga wajib mengingat Hélène Rytmann, seorang perempuan pejuang yang tewas di tangan suaminya.

Tragedi ini harus menjadi pengingat bahwa kekerasan bukanlah penyimpangan dari pemikiran besar, melainkan bisa menjadi produk langsung dari struktur ideologis yang gagal diinterogasi secara kritis.

Hélène bukan catatan kaki dalam sejarah filsafat. Ia adalah pengingat bahwa kekuasaan, bahkan dalam bentuk pengetahuan, bisa membunuh.***