Di Balik Temuan Orbitofrontal Cortex, Kisah Perilaku Mahasiswi Universitas Tokyo yang Berubah Drastis, dari Anak Pintar Jadi Suka Dugem

Brikolase.com – Orbitofrontal cortex (OFC) adalah salah satu bagian penting dari otak yang berperan dalam pengambilan keputusan, moralitas, serta regulasi emosi dan perilaku sosial.

Penemuan fungsi spesifik OFC ini berkembang dari berbagai penelitian kasus, termasuk sebuah kasus menarik yang terjadi pada mahasiswi Universitas Tokyo.

Kasus Perubahan Perilaku Mahasiswi Universitas Tokyo

Dokter spesialis bedah saraf, Roslan Yuni Hasan, atau akrab disapa Ryu Hasan menceritakan proses penemuan orbitofrontal cortex dalam kasus di Jepang.

Ryu menyatakan bahwa temuan letak orbitofrontal cortex terjadi pada tahun 2004.

Baca juga: Riset Harvard: Anak yang Dilatih Melakukan Pekerjaan Rumah Cenderung Sukses di Masa Depan

Ryu menceritakan tentang kisah seorang mahasiswi di Universitas Tokyo, yang dikenal sebagai anak cerdas dan berprestasi, tapi tiba-tiba mengalami perubahan drastis dalam kepribadiannya.

“Awalnya ada salah satu pasien dari Tokyo University. Pasien ini sebenarnya bukan pasiennya (dokter) bedah saraf tapi dia dikonsulkan ke (dokter) bedah saraf oleh dokter psikiater.

Dia ini dari kecil juara, perempuan, pinter anak rumahan, anak baik,” kata Ryu, dikutip dari kanal YouTube DennyJA’s World.

Saking pinternya, anak perempuan ini bahkan sejak kelas 1 SMA ditawari beasiswa penuh dari Universitas Tokyo sampai ke jenjang S3.

Singkat cerita, dia akhirnya masuk jurusan matematika di Universitas Tokyo. Dia menjalani semester 1 dengan sangat baik.

Namun, setelah memasuki semester kedua, ia mulai menunjukkan perilaku yang tidak biasa.

“Semester kedua mendadak berubah anak ini. Dugem tiap hari, namparin temennya, do a lot of bad things,” ungkap Ryu.

Orang tuanya yang bingung dengan perubahan perilaku anaknya kemudian membawa mahasiswi ini ke psikolog, yang kemudian merujuknya ke psikiater.

Awalnya, hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak menunjukkan adanya kelainan pada otaknya.

Namun, ketika dilakukan pemeriksaan dengan positron emission tomography atau PET scan, ditemukan bahwa ada area di otaknya yang seharusnya aktif tetapi tidak menunjukkan aktivitas.

”Luas daerahnya itu cuma 2 mm hang seharunya aktif jadi tidak aktif. Itu orbitofrontal cortex.

Terus di-MRI lagi, ada tumor. Tumornya itu bukan di otak, tapi di selaput otaknya. Dia itu menekan bagian itu (OFC). Tumornya sebesar kacang hijau,” ujar Ryu.

Tekanan ini menyebabkan bagian otak tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang akhirnya memicu perubahan drastis dalam perilaku dan moralitas mahasiswi ini.

Akhirnya operasi pengangkatan tumor dilakukan dan setelah operasi mahasiswa ini berangsur-angsur kembali seperti semula.

Ia kembali menjadi individu yang cerdas, berprestasi, dan memiliki moralitas yang baik.

“Informasi ini dalam waktu 3 minggu langsung menyebar ke seluruh dunia. Langsung mereka berlomba-lomba cari, jangan-jangan memang di sini tempatnya moralitas. Betul,” kata Ryu.

Kasus ini memberikan bukti kuat bahwa orbitofrontal cortex memiliki peran penting dalam pengaturan perilaku sosial dan moralitas seseorang.

Fungsi Orbitofrontal Cortex

Dikutip dari laman Oxford Academic, orbitofrontal cortex bertanggung jawab dalam berbagai aspek fungsi otak, terutama terkait dengan regulasi emosi, pengambilan keputusan, dan persepsi reward (hadiah) serta non-reward (hukuman atau kehilangan sesuatu yang diharapkan). Beberapa fungsi utamanya meliputi:

1. Pengambilan Keputusan dan Moralitas

OFC membantu manusia dalam berpikir tentang konsekuensi dari tindakan mereka terhadap orang lain.

Area ini memungkinkan individu untuk mempertimbangkan nilai moral dan dampak sosial sebelum mengambil keputusan.

2. Regulasi Emosi

OFC berperan dalam memproses emosi dan mengatur respons terhadap stimulus lingkungan.

Gangguan pada area ini dapat menyebabkan perubahan suasana hati yang drastis dan bahkan depresi.

3. Persepsi Reward dan Non-Reward

Bagian medial OFC mengatur pengalaman reward atau kepuasan, sementara bagian lateral OFC bertanggung jawab atas persepsi non-reward dan hukuman.

Ketidakseimbangan dalam aktivitas OFC dapat berkontribusi terhadap gangguan mental seperti depresi.

4. Koneksi dengan Bagian Otak Lain

OFC memiliki koneksi erat dengan amigdala dan berbagai area kortikal lainnya yang memproses informasi sensorik dan emosi.

Hubungan ini membantu individu dalam menilai risiko dan manfaat sebelum bertindak.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa gangguan pada orbitofrontal cortex dapat berkontribusi terhadap berbagai kondisi mental, termasuk gangguan kepribadian, impulsivitas, dan depresi.

Beberapa studi menggunakan teknologi pencitraan otak seperti PET scan dan MRI untuk memahami lebih dalam bagaimana aktivitas OFC berhubungan dengan gangguan mental ini.

Dalam konteks pengobatan, terapi yang menargetkan aktivitas OFC telah menjadi pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi depresi.

Beberapa teknik, seperti stimulasi otak non-invasif dan terapi kognitif, bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan aktivitas di area ini.

Penemuan peran orbitofrontal cortex dalam regulasi perilaku sosial, moralitas, dan emosi merupakan temuan penting dalam ilmu saraf.

Kasus mahasiswi Universitas Tokyo menjadi salah satu bukti nyata bagaimana gangguan kecil di area otak ini dapat menyebabkan perubahan drastis dalam kepribadian seseorang.

Dengan pemahaman yang lebih dalam, penelitian di masa depan dapat membantu mengembangkan terapi yang lebih efektif untuk berbagai gangguan mental yang terkait dengan orbitofrontal cortex.***