Tak Hanya Kasih Makan Siswa, Makan Bergizi Gratis ala Sekolah Jepang Ajarkan Hargai Proses Produksi Makanan dan Pendidikan Kesehatan

Ilustrasi Makan Bergizi Gratis ala Sekolah di Jepang (Freepik)

Brikolase.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia telah diluncurkan di sejumlah daerah mulai pertengahan bulan Januari 2025.

Ada berbagai respons baik negatif maupun positif dari program pemerintah untuk anak sekolah mulai dari SD hingga SMA ini.

Beberapa siswa mengaku masih belum merasa menikmati makanannya karena rasanya kurang sesuai dengan selera.

Namun ada pula yang bersyukur karena bisa mendapatkan makan gratis di sekolah dan bisa menghemat uang jajan.

Program makan di sekolah sebenarnya sudah mapan dilakukan di Jepang dan Indonesia bisa belajar darinya.

Di Jepang, program makan siang sekolah, atau yang dikenal sebagai kyushoku, bukan hanya sekadar memberikan makanan kepada siswa, tetapi juga menjadi bagian penting dari pendidikan mereka.

Program ini dirancang untuk mengajarkan anak-anak nilai kesehatan, budaya, dan rasa hormat terhadap proses produksi makanan.

Menurut Atsushi Ebara, Kepala Sekolah SD Umejima di Adachi-ku, Tokyo, seluruh siswa dari kelas 1 hingga 6 memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendistribusikan makanan.

“Siswa dari kelas 1 hingga 6 semua memiliki tugas yang sama. Mereka membantu membagikan makanan, tetapi untuk kelas 1 dan 2, guru kadang membantu dan mendukung,” kata Ebara, dikutip dari video Kyushoku: The Making of a Japanese School Lunch di kanal YouTube Life Where I’m From.

Seiring bertambahnya usia, siswa menjadi lebih mandiri. Pada saat mereka mencapai kelas 6, mereka sudah mampu menangani semua tugas ini sendiri. “Saat mereka di kelas 6, mereka sudah mampu melakukan semuanya,” tambahnya.

Di samping itu, siswa juga terlibat dalam persiapan sederhana, seperti mengupas sayuran. Kuwabara, ahli gizi sekolah, menyebutkan bahwa siswa kelas 1 dan 2 membantu mengupas kacang polong, jagung, dan kacang panjang sebagai bagian dari kegiatan belajar.

Baca juga: Matinya Budaya Membaca, Menilik Masa Depan Buku dan Pola Pikir Kritis bagi Generasi di Era Digital

Peran Ahli Gizi dan Penggunaan Bahan Lokal

Dalam aturan Jepang, sekolah wajib memiliki ahli gizi yang mengatur tentang makanan anak. Rie Kuwabara, ahli gizi di SD Umejima, bertanggung jawab atas perencanaan menu makan siang.

“Setiap bulan, saya merencanakan menu satu bulan sebelumnya. Pertama-tama, saya mencatat sayuran apa yang sedang musim, sehingga saya bisa memasak makanan yang sesuai musim,” ungkapnya.

Kuwabara juga menjelaskan bahwa bahan-bahan makanan sebagian besar berasal dari daerah lokal.

“Sayuran pada dasarnya berasal dari domestik, seperti wilayah Kanto dan bahkan Shikoku. Sebagai contoh, hari ini kami memperkenalkan makanan dari Prefektur Kochi, seperti ayam jahe yang terbuat dari jahe khas daerah itu,” tambahnya.

Dalam program ini, aspek keseimbangan gizi sangat diperhatikan.

“Hal dasar yang harus saya lakukan adalah menawarkan jumlah nutrisi yang tepat. Hal ini diatur oleh kota, dan saya mencoba mencapai 100% target gizi yang diperlukan,” ungkapnya.

Pendidikan Melalui Makanan

Program makan siang di Jepang juga digunakan untuk mengedukasi siswa tentang pentingnya makanan sehat. Dalam sebuah kelas, guru menggunakan metode interaktif untuk mengajarkan fungsi nutrisi kepada siswa.

Johann Hari, seorang penulis dan jurnalis, menggambarkan pengalaman ini.

“Guru menggunakan tali untuk menggambarkan nutrisi. Misalnya, bagian putih tali mewakili karbohidrat, yang memberikan energi.

Guru mengikat tali-tali itu bersama dan menunjukkan bahwa kita membutuhkan semua nutrisi ini untuk membuat tubuh kita sehat,” kata Hari, dikutip dari kanal YouTube The Doctor’s Kitchen.

Anak-anak diajarkan untuk menghargai makanan sehat sejak dini. Dalam kunjungannya ke Jepang, Hari menyebutkan bahwa anak-anak sangat menyukai makanan sehat.

“Ketika saya bertanya kepada anak-anak tentang makanan favorit mereka, seorang anak menjawab, ‘brokoli,’ dan yang lain berkata, ‘ikan putih.’ Anak-anak ini diajarkan untuk menyukai makanan sehat,” imbuhnya.

Meski begitu, tidak semua anak langsung menyukai makanan yang disajikan.

“Ada banyak bahan makanan yang belum pernah mereka coba sebelumnya, sehingga banyak yang tersisa di hari pertama.

Namun, ketika mereka sudah terbiasa, mereka akan memakannya. Saya mencoba menawarkan makanan yang tidak mereka sukai kembali, tetapi dengan sedikit perubahan rasa atau cara memasaknya,” kata Kuwabara.

Program ini juga mencakup kegiatan khusus untuk membuat makanan lebih menarik, seperti makan siang ulang tahun.

“Setiap bulan, anak-anak yang berulang tahun mendapatkan jelly sebagai hidangan penutup khusus. Ini adalah cara untuk membuat mereka menantikan makan siang sekolah,” tambahnya.

Partisipasi Komunitas dan Kegiatan Musiman

Program kyushoku tidak hanya melibatkan siswa dan staf sekolah, tetapi juga orang tua dan komunitas. Salah satu kegiatan yang menarik adalah desain bento yang dibuat oleh orang tua dan anak-anak sebagai bagian dari pekerjaan rumah musim panas.

“Kami memilih yang terbaik dan memasukkan desain mereka ke dalam menu makan siang sekolah. Kami juga mengundang komunitas untuk makan bersama,” ungkap Kuwabara.

Selain itu, makanan sering kali disesuaikan dengan acara musiman.

“Bulan depan adalah Tanabata, jadi saya merencanakan makanan untuk perayaan itu,” ujar Kuwabara.

Buah-buahan segar, seperti semangka dan melon, juga digunakan untuk menandai pergantian musim.

Program makan siang di Jepang memiliki dampak yang jauh melampaui meja makan. Di Adachi-ku, program Oishi Kyushoku diperkenalkan untuk mengurangi angka obesitas dan diabetes.

“Melalui kyushoku, kami ingin mendidik anak-anak bahwa memiliki tubuh yang sehat memerlukan kebiasaan makan yang sehat,” kata Ebara.

Meskipun program ini menuntut kerja keras, hasilnya sangat memuaskan.

“Ketika anak-anak bereaksi dengan baik dan mengatakan makanannya enak, atau ketika mereka akhirnya memakan makanan yang sebelumnya tidak mereka sukai, itu membuat semua usaha saya terasa berharga,” kata Kuwabara.

Program makan siang sekolah di Jepang bukan hanya sekadar menyediakan makanan, tetapi juga menjadi bagian integral dari pendidikan dan budaya.

Dengan melibatkan siswa, staf, orang tua, dan komunitas, program ini berhasil membangun kebiasaan sehat, menghargai budaya makanan, dan menciptakan generasi muda yang sadar akan pentingnya nutrisi.***