Fenomena Pengangguran Terselubung, Terus Bekerja tapi Tetap Miskin, Ini Laporan Bank Dunia 2025

Ilustrasi Pengangguran Terselubung (Chat GPT)

Brikolase.com – Pengangguran sering dianggap sebagai indikator utama kesehatan ekonomi sebuah negara.

Semakin rendah angka pengangguran, semakin baik kualitas ekonominya, begitu teori umumnya.

Namun, laporan terbaru Bank Dunia justru membongkar kenyataan yang lebih kompleks.

Dalam laporan World Bank East Asia and Pacific Economic Update – October 2025: Jobs, Bank Dunia menyatakan bahwa angka pengangguran rendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik justru menutupi masalah besar lain yaitu kesenjangan pekerjaan dan kualitas kerja yang rendah.

Banyak orang di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang mencari pekerjaan memang mendapatkannya, tapi masalahnya pada kualitas pekerjaannya.

Persentase penduduk yang bekerja (employment rate) secara umum tinggi (145,77 juta orang per Februari 2025 di Indonesia) tetapi anak-anak muda bersusah payah untuk mendapat pekerjaan.

Meski banyak yang bekerja, banyak pula yang bekerja pada pekerjaan yang tidak layak, tidak produktif, bahkan tanpa perlindungan sosial.

Pekerjaan memang ada tapi tidak mengangkat kesejahteraan (working poor).

Tingkat pengangguran terbuka memang rendah, seperti Indonesia hanya 4,76 persen alias 7,28 juta orang per Februari 2025.

Namun pengangguran terselubung (disguised unemployment) justru sangat tinggi yang meliputi pekerja informal (pekerjaan rendah produktivitas), pekerja rentan (vulnerable workers) yakni ia yang bekerja tapi tanpa jaminan kerja dan perlindungan sosial, orang yang setengah menganggur (underemployed) seperti pekerja paruh waktu, serta orang-orang yang ingin bekerja.

Pengangguran terselubung inilah yang jadi ancaman nyata masa depan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Krisis Anak Muda: Generasi yang Gagal Masuk Dunia Kerja

Bank Dunia mencatat krisis pekerjaan terbesar justru dialami anak muda.

Masalah ini paling mencolok di dua negara ekonomi besar kawasan.

Satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan China menganggur, meski sudah masuk usia produktif.

Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini krisis sosial yang berpotensi meledak yakni lahirnya generasi tak bekerja, tidak sekolah dan tidak sedang ikut pelatihan (Not in Employment, Education, or Training – NEET).

ALSO READ  JEFFRY PONDAAG: TIDAK ADA SATU NEGARA YANG MEMBENARKAN KOLONIALISME SAMPAI SEKARANG

Di Indonesia, 20,30 persen dari 44,33 juta anak muda (15 – 24 tahun) tergolong NEET.

Dengan kata lain, anak muda yang menganggur, tak bersekolah dan tak sedang mengikuti pelatihan mencapai 8,9 juta orang per Agustus 2024.

Bank Dunia menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pengangguran dan jumlah pekerjaan, tapi kualitas pekerjaan.

Banyak orang di kawasan Asia Timur dan Pasifik bekerja di sektor informal dan rendah produktivitas.

Jutaan pekerja di Asia bekerja keras tetapi tetap miskin karena terjebak di pekerjaan informal berupah rendah seperti buruh lepas, pekerja toko, pengemudi ojek daring (ojol), buruh tani, hingga operator pabrik tanpa kontrak kerja.

Di Indonesia, jumlah pekerja informal mencapai 86,56 juta orang alias 59,40% dari total penduduk bekerja per Februari 2025.

Pengangguran Terselubung

Bank Dunia menggunakan pendekatan baru melihat masalah tenaga kerja, bukan sekadar tingkat pengangguran (unemployment rate) tetapi kesenjangan pekerjaan (jobs gap).

Kesenjangan pekerjaan merupakan keseluruhan jumlah orang yang ingin bekerja atau bekerja lebih baik, tetapi tidak memiliki kesempatan kerja produktif.

Di Asia Timur dan Pasifik, masalah terbesar bukan kurangnya pekerjaan, tetapi kurangnya pekerjaan layak.

Banyak orang kelihatan bekerja, tapi sebenarnya pengangguran terselubung yakni kerja tanpa produktivitas yang cukup, upah layak, dan perlindungan sosial.

Bank Dunia menyatakan kesenjangan pekerjaan lebih banyak berasal dari mereka yang tidak masuk data resmi tenaga kerja karena putus asa atau terpaksa tidak bekerja.

Banyak orang menganggur tetapi tidak tercatat sebagai penganggur, karena sudah putus asa mencari kerja, atau terjebak di pekerjaan serabutan demi bertahan hidup.

Generasi muda gagal masuk pasar kerja formal yang menyebabkan kesenjangan pekerjaan antargenerasi.

ALSO READ  SIAPA YANG DIUNTUNGKAN DARI PROYEK RISET BELANDA TENTANG MASA PERANG 1945-1950 DI INDONESIA?

Kesenjangan pekerjaan juga diperbesar oleh hambatan akses kerja bagi perempuan.

Laporan Bank Dunia juga menyoroti rendahnya tingkat partisipasi kerja perempuan dan di Pasifik.

Di Indonesia, jarak partisipasi antara laki-laki dan perempuan mencapai 15 persen.

Ini menunjukkan bahwa hambatan budaya dan struktural masih kuat membatasi perempuan untuk bekerja.

Saran dan Rekomendasi

Laporan Bank Dunia memberikan beberapa rekomendasi kebijakan utama untuk mengatasi kesenjangan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia.

Rekomendasi tersebut dikelompokkan dalam tiga pilar: opportunity (kesempatan kerja), capacity (kapasitas SDM), dan coordination (koordinasi kebijakan).

Beberapa poin rekomendasi untuk reformasi yakni:

1. Memperluas Kesempatan Kerja (Opportunity)

Bank Dunia menekankan pentingnya menghapus hambatan ekonomi agar lapangan kerja tumbuh produktif.

  • Buka lebih banyak kompetisi usaha dan hapus regulasi yang menghambat.
  • Reformasi sebaiknya dimulai dengan menghilangkan hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk dan berkompetisi, sehingga perusahaan yang dinamis dan produktif dapat tumbuh dan menciptakan lapangan kerja baru.
  • Reformasi perdagangan jasa dan industri untuk meningkatkan produktivitas seperti yang berhasil di Vietnam.
  • Mengurangi hambatan mobilitas tenaga kerja antarwilayah dan sektor. Di Indonesia, mengurangi hambatan mobilitas bisa meningkatkan produktivitas dan penghasilan pekerja sekitar 20 persen.
  • Mereformasi aturan pasar tenaga kerja yang terlalu kaku agar tidak menghambat perekrutan pekerja baru.

2. Meningkatkan Kapasitas SDM (Capacity)

Bank Dunia menilai fondasi keterampilan pekerja di kawasan ini belum cukup kuat.

  • Perbaiki kualitas pendidikan dasar dan guru sebagai fondasi keterampilan masa depan.
  • Arahkan pendidikan tinggi ke keterampilan masa depan, terutama STEM (sains, teknologi, engineering, matematika) akibat kebutuhan ekonomi digital.
  • Perkuat program reskilling & upskilling untuk menghadapi otomasi dan AI.
  • Tingkatkan kualitas manajemen perusahaan karena rendahnya mutu manajemen menjadi salah satu penyebab produktivitas rendah di negara berkembang.
ALSO READ  Peter Carey Belajar Jawa, Pecahkan Masalah Hidup dan Mati Manusia

3. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan (Coordination)

Banyak kebijakan ketenagakerjaan gagal karena tidak terhubung dengan kebutuhan dunia usaha.

  • Bangun kemitraan pemerintah–industri–kampus seperti model Korea Selatan untuk menyelaraskan kebutuhan pasar dan pendidikan.
  • Perluas platform digital tenaga kerja untuk mempertemukan tenaga kerja dengan lowongan kerja secara efisien.
  • Permudah migrasi tenaga kerja terampil antarnegara secara legal untuk mengatasi ketimpangan demografi di kawasan.
  • Perluas jaminan sosial pekerja informal & gig economy seperti ojek daring (ojol) dan pekerja lepas 

Fokus Rekomendasi untuk Indonesia

Dari contoh kebijakan negara, laporan Bank Dunia memberi catatan khusus untuk Indonesia.

  • Percepat reformasi birokrasi ekonomi dan penyederhanaan perizinan usaha (IKN, hilirisasi, industri EV) agar menciptakan lebih banyak pekerjaan produktif di sektor manufaktur dan agribisnis.
  • Perbesar investasi pada pelatihan vokasi dan keterampilan teknologi.
  • Permudah mobilitas tenaga kerja antardaerah untuk pemerataan ekonomi wilayah.
  • Naikkan partisipasi kerja perempuan dan anak muda.
  • Perkuat perlindungan sosial untuk pekerja informal.***