Histori Bersama, 29 januari 2019
Pasca kritik atas proyek 4 tahun penelitian “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950“, sebuah diskusi meja bundar secara tertutup akan dilaksanakan pada hari Kamis 31 Januari 2019. Kelanjutan dari pertemuan ini akan diadakan press conference pada pukul 16.00 didepan gedung NIOD, Herengracht 380, Amsterdam.
Setelah penelitian ini resmi diluncurkan pada September 2017, Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy mengirimkan Surat Terbuka yang berisi keberatan mereka kepada pemerintah Belanda. Surat ini, yang telah ditandatangani 137 individu dan organisasi, mempertanyakan dari sekian banyak hal diantaranya yang perlu digarisbawahi adalah tiga setengah abad penjajahan dan rasisme tidak menjadi pembahasan. Para kritikus memandang ini adalah hal yang problematis ketika penelitian hanya membahas masalah kekerasan oleh kedua belah pihak seakan-akan pemerintahan “Hindia Belanda” adalah sebuah pemerintahan dengan dasar hukum yang sah.
Kekerasan anti kolonial di Indonesia dikenal dengan sebutan “Periode Bersiap” yang digambarkan sebagai faktor penting penyebab terjadinya kekerasan dan hilangnya kontrol. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa seakan-akan kesalahan dilakukan oleh kedua belah pihak. Dari sudut pandang dekolonial, kita tidak bisa membenarkan tidak adanya garis batas yang jelas oleh pihak peneliti akademis untuk membedakan antara penjajah dan yang terjajah. Seperti yang Francisca Pattipilohy tegaskan dalam Surat Terbukanya: “Mengapa penelitian ini hanya terfokus pada kekerasan? Kekerasan itu sendiri terjadi dari sebuah sebab: kolonialisme Belanda.”
Konflik Kepentingan
Akan ada konflik kepentingan ketika sudut pandang dari pihak yang terjajah tidak dijadikan sebagai pedoman dasar. Penelitian ini hanya dilakukan berdasar kepentingan pihak yang menyerang dan bukan pihak korban dari kolonialisme Belanda. Pada akhir 2016, Pemerintah memutuskan akan mendanai penelitian tentang masa 1945-1949 di Indonesia. Hasil penelitian disertasi dari Remy Limpach, seorang berdarah Swiss-Belanda diberitakan sebagai faktor utama dijalankannya program ini.
Namun, para pendukung Surat Terbuka berpendapat bahwa Pemerintah bersama tiga institusi yang menindaklanjuti penelitian Limpach sangat layak untuk dipertanyakan. Setidaknya, karena tidak adanya tanggapan kritis dari Indonesia. Buku dari Limpach tidak banyak memuat fakta baru dan ditulis dari sudut pandang penjajah. Terlebih lagi, dia adalah pegawai dari NIMH yang berada dibawah kontrol Kementerian Pertahanan Belanda.
Pada kenyataannya, adalah pengadilan kejahatan perang yang dimotori oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) yang berhasil memaksa Pemerintah Belanda dan publik Belanda untuk melihat fakta sejarah sejak 2008. Bagaimana tim peneliti ini menjauhkan K.U.K.B. telah memberikan gambaran. Sebagai contoh, pemerintah tidak melakukan pendekatan dan diskusi kepada K.U.K.B. Juga bagaimana Jeffry Pondaag selaku direktur K.U.K.B. tidak diundang dalam pertemuan untuk berbagi pemikiran, apa yang mendasari dia untuk begitu aktif bergerak selama bertahun-tahun untuk membela hak para korban kekerasan Belanda di Indonesia.
Bagian yang menjadi masalah dari partisipasi NIMH dalam penelitian ini adalah Limpach dan timnya bertanggungjawab memverifikasi klaim sejarah yang telah disodorkan oleh Pondaag. Dengan begitu maka penelitian ini menempatkan sisinya pada pihak penjajah, bukan korban. Hal yang luar biasa juga ketika seorang mantan Jenderal diminta untuk bergabung dalam komite dewan penasehat.
Seperti yang diduga, pemerintah mengabaikan Surat Terbuka yang dibuat. Kementerian Luar Negeri menyampaikan kepada Histori Bersama pada Februari 2018 bahwa surat itu tidak akan membuat Menteri turun tangan.
Gert Oostindie, selaku Direktur KITLV, pimpinan proyek dan orang yang nantinya menulis sintesis, menggambarkan kritik tersebut terlalu mengada-ada dan menyatakan bahwa “pemikiran untuk dasar hukum sebuah penjajahan adalah absurd“. Oostindie berpendapat hendaknya sejarawan berdiri dipihak yang netral “Kami tidak akan mengatakan apakah kami ini pihak yang baik atau jahat. (sic)”
Pertukaran Email Yang Melelahkan
Setelah saling berbalas email yang panjang dan melelahkan, Jeffry Pondaag akhirnya diundang pada September 2018 untuk hadir dalam pertemuan terbuka yang kedua. Namun Ibu Pattipilohy yang berusia 92 tahun sebagai orang yang turut menyiapkan Surat Terbuka bersama Pondaag rupanya tidak mendapat undangan.
Karena hal ini maka Pondaag terpaksa memangkas waktu 5 menitnya untuk bicara agar pesan video dari Ibu Pattipilohy dapat diputar untuk para hadirin di Pakhuis de Zwijger. Diskusi meja bundar hari Kamis nantinya juga merupakan hasil dari saling berbalas email antara Pondaag dengan tim peneliti. Bersama dengan Ibu Pattipilohy dan beberapa orang penandatangan surat terbuka, mereka akan bertemu dengan pimpinan tiga institusi dan beberapa peneliti.
Pada mulanya, para peneliti tidak mau pertemuan ini dilakukan didepan publik maupun direkam. Namun setelah mendapat tekanan bertubi-tubi dari kritikus, mereka akhirnya menyetujui sebuah pertemuan tertutup dan tetap direkam. Pondaag, yang juga meminta sesi diskusi sepanjang siang agar bisa membahas banyak poin, mendapatkan penolakan. Para peneliti hanya berkenan memberikan dua jam waktu mereka untuk bertemu dengan para kritikus.
Unduh Surat Terbuka