Intelejensi seniman dapat disebut sebagai “rangkuman pengetahuan” seseorang. Hal ini membantu seniman dalam memilih metafora yang akan dihadirkan dalam sajian karya seninya. Saussure mengartikan tanda sebagai metafora yang sengaja dihadirkan untuk mewakili ungkapan yang tidak sekedar diucapkan dengan kalimat, namun juga dipandang lebih efisien dalam menyampaikan maksud kepada lawan bicara. Namun, perumpamaan berupa metafora ini tidak untuk dipahami secara harfiah. Misal, kata “buaya darat”, kata ini tidak digunakan agar dipahami sebagai buaya sesungguhnya yang hidup di darat. Tetapi, berfungsi untuk memperhalus dan memperindah ungkapan yang bermakna lelaki penggoda yang suka mempermainkan perasaan perempuan.
Menurut Lono Simatupang dalam Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya (2013), pemahaman dan penggunaan tanda sebagai wujud kreativitas menciptakan tanda yang dibuat seniman dalam karya seni. Tanda (majas/gaya) ini dapat dibagi menjadi tiga macam: simile, personifikasi, dan metafor (metafora). Simile dipahami sebagai gaya perumpamaan atau perbandingan. Untuk mengenali simile dalam karya sastra, dapat dilakukan dengan mencari kata “seperti” dalam susunan kalimat. Sedangkan dalam karya non tulis, keberadaan simile dapat dipahami dengan mengamati bentuk yang ada. Misal dalam karya seni rupa, apabila bentuk tersebut masih nampak mewakili beberapa ciri khusus suatu hal, wujud itu dapat disebut simile. Namun, apabila sudah menunjukkan perwakilan seutuhnya, wujud tersebut dapat disebut metafora.
Metafora dipahami sebagai gaya dengan perbandingan yang singkat dan padat, tanpa membandingkan. Metafora dalam karya seni rupa lebih mudah diketahui karena diungkapkan secara utuh mewujudkan bentuk yang dipilih untuk mewakili gagasan seniman, Berbeda lagi dengan personifikasi. Personifikasi dipahami sebagai gaya dengan menyebmatkan sifat hidup manusia atau hewan pada benda mati. Misal pada kalimat, “angin pun ikut berlari bersamaku”. Personifikasi dalam karya seni rupa dapat diamati dengan pemberian alat indera pada wujud benda mati. Seperti gambar meja yang diberi mulut, sepatu yang diberi mata manusia yang melotot, dan lain sebagainya.
Terdapat banyak bentuk kiasan yang dipilih pelukis dalam mewujudkan ide dan gagasannya. Dari sekian banyak kiasan tersebut, buaya cenderung kerap digunakan sebagai metafora, personifikasi, maupun simile dalam karya seni lukis. Hewan predator ini banyak di pilih oleh pelukis di Indonesia untuk menggambarkan atau menjelaskan kondisi dan suatu wacana dalam karya lukis mereka. Selain ungkapan “buaya darat” dalam karya tulis atau percakapan kita kerap juga mendengar kata “mulut buaya” (tamak), dan seterusnya.
Meskipun kata buaya banyak digunakan untuk mewakili sifat manusia yang tidak baik, kata buaya dalam budaya Betawi tidaklah demikian. Pada budaya Betawi, buaya dimaknai sebagai simbol kesetiaan. Budaya Betawi terkenal dengan roti buayanya yang dihidangkan ketika prosesi atau pesta pernikahan. Menurut peneliti sejarah Betawi, JJ Rizal, masyarakat Betawi yang sejak lama hidup berdekatan dengan aliran sungai, sering bertemu dan mengamati cara hidup buaya. Buaya dikenal sebagai hewan yang bersetia pada satu pasangan. Simbol buaya sebagai hewan yang setia, tidak hanya dipahami ketika menjalin hubungan dengan pasangan semata, tetapi juga dipahami sebagai kesetiaan pemerintah kepada rakyatnya. Akan tetapi, kecenderungan penggunaan kata “buaya” yang berkonotasi negatif tampak lebih melekat dan akrab pada masyarakat Indonesia secara umum.
Buaya dalam karya seni lukis juga kerap digunakan sebagai metafora. Misal pada karya Djoko Pekik dengan judul Go To Hell Crocodile, Yuga Hermawan dengan judul ABG, Ayam Baru Gede, dan Sulton Hadi Wiyono dengan judul Dunia Egois. Pada karya Djoko Pekik, buaya digunakan sebagai metafora yang mengancam manusia dan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat melalui perwujudan buaya yang digambarkan seutuhnya. Bentuk buaya yang digambarkan bermata garang, mulut berapi yang menyerang manusia yang melawannya, dan ekor panjang bersisik yang berusaha menyentuh ujung lukisan. Buaya dipilih sebagai metafora untuk mewakili ketamakan manusia dalam menguasai alam dan seisinya.
Lukisan 1: Go To Hell Crocodile. Pelaku Seni: Djoko Pekik.
Dimensions: 275 cm x 600 cm. Tahun: 2014.
Medium: Cat minyak di atas kanvas.
Sumber Gambar : Katalog Pameran ART JOG 14, hal 45, 2014.
Penggunaan buaya sebagai metafora juga dilakukan seniman asal Tulungagung, Yuga Hermawan. Menurut Hartanto Ardi Saputra, bentuk buaya tersebut merupakan perwakilan dari peran laki-laki buaya darat atau laki-laki hidung belang. Laki-laki hidung belang tidak ditampilkan dengan wujud “manusia yang seperti buaya”, namun sudah benar-benar berbentuk buaya dengan tatapan nakal, gerak jari, dan mulut terbuka yang sedang menanti mangsa untuk masuk dalam jebakannya. Laki-laki hidung belang dinilai berbahaya dan patut dijauhi. Pemilihan warna hijau yang lembut dengan nuansa ungu yang polos semakin memperjelas ajakan seniman untuk berhati-hati dengan “buaya darat”. Meskipun sama-sama menggunakan buaya sebagai metafor, gestur buaya milik Yuga ini terlihat berbeda dengan bentuk buaya milik Djoko Pekik yang ditampilkan garang, kuat, dan berusaha menyerang.
Lukisan 2: ABG (Ayam Baru Gede). Pelaku Seni: Yuga Hermawan.
Dimensions: 170 cm x 90 cm. Tahun: 2015.
Medium: Cat minyak di atas kanvas.
Sumber Gambar: Katalog Pameran “Hmangku”.
Tidak seperti dua karya seniman di atas yang menggunakan buaya sebagai metafora, Sulton Hadi Wiyono tampak memakai buaya sebagai simile. Hal ini dapat dilihat dari wujud manusia yang dilebih-lebihkan pada bagian mulut. Struktur bentuk mulut yang memanjang dengan gigi tajam semacam ini tidak dapat ditemui pada mulut manusia, tapi mulut buaya. Wujud mulut manusia yang dihadirkan seperti mulut buaya, seakan hendak menyantap alam dan segala isinya.
Buaya dalam lukisan Sulton digambarkan dengan warna oranye kecoklatan. Warna ini menggambarkan kehangatan dan suasana tenang nan ceria. Warna ini tampak tidak menunjukkan adanya permasalahan mendesak yang harus segera diselesaikan oleh buaya ala Sulton. Buaya di sini mewakili perumpamaan keegoisan manusia dalam menempati alam. Bahwa, dalam kenyamanan menempati dunia, manusia seperti tidak sengaja sudah mengambil ruang hidup pihak lain tanpa mengidahkan sikap toleransi sesama makhluk hidup.
Lukisan 3: Dunia Egois. Pelukis Seni: Sulton Hadi Wiyono.
Dimensions: 160 cm x 60 cm (4 panel. Tahun: 2015.
Medium:Cat akrilik di atas kertas.
Sumber Gambar: Dokumentasi Ananditya Gustiani.
Melihat karya ketiga seniman ini, buaya tidak hadir sebagai perumpamaan sikap setia, tapi lebih pada keegoisan manusia. Pemilihan gagasan ini juga bisa dimungkinkan karena ketiga seniman tersebut tidak berasal dan berkebudayan Betawi yang menempatkan buaya sebagai simbol kesetiaan. Penciptaan tanda kreatif seorang seniman tidak dapat dilepaskan dari budaya yang menghidupi cara berfikir seniman dalam proses kreatif penciptaan karya seni. Selain itu, metafora dan simile tentang buaya yang banyak digunakan dalam karya sastra, juga mengalami peralihan wahana ke karya lukis.
Menurut Sapardi Djoko Damono, media hanya semacam alat angkut yang memuat gagasan. Gagasan ini akan berpindah sesuai kehendak manusia, akan dibawa kemana, diletakkan di mana dan ditampilkan seperti apa. Hal ini juga mengakibatkan adanya bentuk-bentuk baru dalam mewujudkan gagasan tersebut. Dalam ulasan ini, gagasan itu diwakili oleh keegoisan yang dianggap milik buaya. Jika dalam karya sastra buaya ditampilkan sebagai laki-laki yang suka menggoda dan mempermainkan perempuan, dalam seni lukis, buaya ditampilkan sebagai wujud yang sebagian maupun seutuhnya memuat karakter struktur bentuk tubuh buaya untuk mewakili keegoisan manusia.
Referensi
Liep, John. 2001. Locating Cultural Creativity. London: Pluto Press.
Sudjiman, Panuti dan Zoest, Aart Van (ed). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Tanpa Kota: Penerbit Editum.
Art Jog 14. 2014. Legacies of Power. Yogyakarta: Art Jog 14
Bentara Budaya Yogyakarta. 2015. Hmangku. Katalog pameran seni rupa pada 16-24 Juni 2015. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta.
CNN Indonesia. 2015. Liputan Khusus Ultah Jakarta: Roti Buaya, Sejatinya Simbol Kesetiaan. (http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150622111040-262-61510/roti-buaya-sejatinya-simbol-kesetiaan/). Diakses pada 23 Juni 2015.
Daniel, Chandler. 2014. Semiotics For Beginners, (http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem01.html). Diakses pada 19 Juni 2015.
Kabar Kampus. 2015. Merekam Trauma Anak Lewat Lukisan Ayam Baru Gede, (http://kabarkampus.com/2015/06/merekam-trauma-anak-lewat-lukisan-ayam-baru-gedhe/). Diakses pada 20 Juni 2015.
Bacaan terkait
Mahasiswa Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Kontributor media Brikolase.