Brikolase.com – Ekonom umumnya sepakat bahwa demokrasi merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara.
Pemerintahan perwakilan melalui pemilihan umum reguler dianggap sebagai salah satu metode terbaik yang telah ditemukan manusia untuk mengendalikan negara yang bersifat predatoris.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa di seluruh dunia, demokrasi perwakilan dan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan.
Namun, fakta ini justru membuat Singapura menjadi sebuah anomali yang unik.
Singapura menunjukkan perpaduan antara kekuasaan politik yang diskresioner (kewenangan pembuatan kebijakan dan keputusan atas penilaian pejabat politik) dengan penerapan hukum dalam pasar.
Dengan kata lain, ada sekelompok kecil orang yang sangat berkuasa secara politik atau elit yang dapat dan benar-benar membentuk undang-undang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Baca juga: Ppalli-ppalli: Suksesnya Industrialisasi Korea Selatan Karena Budaya Buru-buru
Meskipun demikian, elit ini mendefinisikan, menegakkan, dan mematuhi undang-undang yang menciptakan ekonomi pasar yang relatif adil dan kompetitif.
Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa kekuasaan politik diskresioner ini tidak merembes ke dalam pasar?
Mengapa elit Singapura tidak seperti elit di beberapa negara Amerika Latin atau Afrika Sub-Sahara, atau Korea Utara, yang mengambil sebanyak mungkin dari rakyat mereka?
Bagaimana suatu negara dapat mempertahankan pemerintahan yang oleh banyak orang disebut sebagai “otoritarianisme yang baik hati” dan ekonomi pasar secara bersamaan?
Dikutip dari laman asianstudies.org, ada satu faktor penting yang berkontribusi yakni Dana Kekayaan Negara (Sovereign Wealth Funds atau SWF) Singapura.
Elit Singapura menjadi lebih kaya dengan menjaga ekonomi pasar yang kuat daripada melakukan penjarahan, terutama melalui mekanisme SWF Singapura.
Elit lebih memilih melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan daripada keberhasilan industri atau perusahaan tertentu, karena mereka memiliki saham di hampir semua perusahaan, serta sebagian besar tanah dalam portofolio SWF.
Fakta ini memberi insentif kepada mereka untuk membangun institusi pasar yang kompetitif.
Otoritarianisme Politik Singapura
Meskipun secara formal Singapura adalah negara multipartai, sebuah koalisi kecil dari keluarga penguasa telah memerintah negara ini yang secara kolektif disebut sebagai elit.
Partai yang berkuasa, People’s Action Party (PAP), memenangkan pemilihan umum secara telak pada tahun 1965 ketika Singapura pertama kali menjadi negara merdeka.
Sejak saat itu, mereka menggunakan kekuasaan barunya untuk memastikan bahwa tidak ada oposisi politik yang berarti yang dapat terbentuk.
Ada tiga saluran utama di mana koalisi penguasa kecil ini mempertahankan kekuasaannya.
Pertama, Konstitusi Singapura memberikan kekuasaan eksekutif kepada Kabinet Menteri yang merupakan badan kecil yang anggotanya ditunjuk oleh presiden.
Namun, presiden hanya berperan sebagai simbol, karena penunjukan menteri harus berdasarkan “nasihat” Perdana Menteri (PM).
Dengan kata lain, kabinet dan perdana menteri saling memilih menteri.
Kedua, pemerintah Singapura menerapkan kontrol ketat dalam pemilihan umum.
Misalnya, seorang kandidat harus menyetor sejumlah deposit yang besar untuk dapat mencalonkan diri, dan deposit ini hanya dikembalikan jika kandidat tersebut memperoleh persentase suara tertentu.
Selain itu, kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara, pers, dan berkumpul dibatasi secara ketat, yang membuat sulit bagi partai oposisi untuk terbentuk.
Pemerintah juga sistematis mendiskriminasi distrik yang dikendalikan oleh oposisi dalam hal penyediaan “barang publik” seperti pengumpulan sampah.
Ketiga, Partai PAP dikendalikan oleh Komite Eksekutif Pusat (CEC), yang berfungsi memilih pemimpin partai dan calon anggota parlemen.
Kandidat PAP tidak dipilih melalui pemilihan pendahuluan, melainkan langsung ditentukan oleh CEC.
Oleh karena itu, CEC memiliki kontrol penuh atas parlemen. Sebagian besar anggota kabinet juga merupakan anggota CEC, sehingga mereka memiliki kekuasaan diktatorial atas Singapura.
Kebebasan Ekonomi dan Dana Kekayaan Negara
Yang membuat Singapura menarik adalah sejauh mana masyarakatnya menikmati kebebasan ekonomi.
Singapura secara konsisten dinilai sebagai salah satu pemerintah yang paling sedikit korup di dunia, dengan pengadilan yang adil dan perlindungan hak milik yang kuat.
Tingkat kejahatan sangat rendah, pajak relatif rendah, dan tidak ada tarif atau kuota impor/ekspor.
Ini semua berkontribusi pada tingginya pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi Singapura.
Yang lebih menarik adalah ketimpangan di Singapura relatif rendah dan cenderung menurun.
Pendapatan merata di berbagai kalangan, bahkan di kalangan yang paling miskin sekalipun.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat ini membuat kebanyakan warga Singapura merasa puas dengan kehidupan mereka.
Namun, jika elit memiliki kekuasaan yang begitu besar, mengapa mereka tidak menggunakannya untuk memperkaya diri sendiri?
Jawabannya adalah mereka memang melakukannya, tetapi dengan cara yang sejajar dengan kepentingan umum melalui mekanisme SWF Singapura.
Singapura menciptakan dua SWF awal dalam sejarahnya: Temasek Holdings dan Government of Singapore Investment Corporation (GIC).
SWF adalah semacam dana investasi pemerintah yang memegang tiga jenis aset: saham di perusahaan besar Singapura, saham di perusahaan multinasional besar, dan tanah Singapura.
Harga saham suatu perusahaan akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Kebijakan yang memberikan hak istimewa kepada perusahaan tertentu akan meningkatkan keuntungan perusahaan tersebut, sehingga elit lebih memilih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan daripada mengeksploitasi kekuasaan mereka.
Dengan demikian, melalui SWF, elit Singapura memiliki insentif untuk melindungi kebebasan individu di pasar dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Model ini, yang disebut sebagai “otoritarianisme yang baik hati,” berhasil memadukan kekuasaan politik otoriter dengan kebebasan ekonomi yang tinggi, yang menciptakan fenomena yang unik dalam perkembangan ekonomi dunia.***
Bacaan terkait
Pemred Media Brikolase
Editor in chief
Email:
yongky@brikolase.com / yongky.g.prasisko@gmail.com